Mohon tunggu...
Sanaha Purba
Sanaha Purba Mohon Tunggu... Penulis

Selamat datang di kolom Yohanes Sanaha Purba, ruang inspirasi bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis. Saya adalah seorang penulis, pendidik, dan pencinta filsafat yang berkomitmen menghadirkan wawasan bernas dalam dunia filsafat, bahasa, dan edukasi. Kunjungi juga youtube saya, https://www.youtube.com/@Sanahapurba Untuk ngobrol serius, silahkan email saya di sanaha.purba@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

ARTHUR SCHOPENHAUER | Tentang Kekuatan & Kelemahan Kehendak

10 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 24 September 2025   08:04 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Nama Arthur Schopenhauer selalu menghadirkan nuansa gelap tetapi toh juga penuh daya tarik dalam sejarah filsafat. Ia lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig. Dia berasal dari keluarga kaya raya yang justru tak memberinya kebahagiaan batin. Hubungan dengan ibunya yang merupakan seorang penulis terkenal sering kali kurang harmonis, sementara ayahnya menginginkannya untuk menjadi pengusaha meneruskan bisnis keluarga. Namun, Schopenhauer punya jalan hidupny sendiri, yaitu filsafat. Sejak muda, dia sudah terpikat oleh pemikiran Immanuel Kant. Dalam perjalanan intelektualnya, dia justru mengembangkan gagasan yang jauh lebih radikal daripada Kant. Dari gagasannya itulah, Schopenhauer mendapat tempat istimewa sebagai filsuf pesimis paling berpengaruh di abad ke-19.

Pokok pemikiran Schopenhauer dapat diringkas dalam satu katas, yaitu 'kehendak'. Baginya, inti realitas bukanlah rasio, bukan pula ide-ide abstrak, melainkan dorongan buta yang disebut 'will'. Kehendak itulah yang mendorong manusia untuk bertahan hidup, berjuang, mengejar dan terus menginginkan sesuatu. Ironisnya, justru dari kehendak itulah lahir penderitaan. Sebab, setiap keinginan yang terpenuhi akan segera digantikan oleh keinginan baru, sehingga manusia tidak pernah mencapai kepuasan sejati. Hidup, dalam pandangan Schopenhauer, adalah lingkaran tanpa akhir dari harapan, pencapaian lalu kekecewaan.

Karya besar Schopenhauer, 'The World as Will and Representation', menegaskan pandangan tersebut. Dunia yang kita alami hanyalah representasi, sedangkan hakikatnya adalah kehendak yang buta. Pemikiran dan karyanya itulah yang membuatnya dikenal sebagai filsuf pesimis. Baginya, hidup adalah penderitaan yang tak terhindarkan. Kebahagiaan hanyalah jeda singkat sebelum kita kembali dilanda keinginan baru. Schopenhauer bahkan menilai bilamana budaya modern, dengan segala kemewahan dan ambisinya, hanya memperparah penderitaan manusia.

Namun, Schopenhauer tidak lantas menutup pemikirannya dengan pandangan yang gelap nan muram. Dia masih menyisakan pintu kecil menuju kedamaian. Pintu itu adalah seni. Baginya, seni adalah salah satu jalan untuk melampaui penderitaan. Saat kita mendengarkan musik atau larut dalam karya seni, kita seakan keluar sejenak dari jerat kehendak, melihat dunia tanpa keterikatan pada keinginan pribadi. Musik, menurutnya, adalah bentuk seni paling murni, karena langsung berhubungan dengan inti eksistensi tanpa perlu perantara.

Apakah hanya seni? Selain seni, Schopenhauer menekankan belas kasihan sebagai nilai moral yang tertinggi. Hanya dengan merasakan penderitaan orang lain, kita bisa keluar dari egoisme yang lahir dari kehendak. Lebih jauh lagi, ia mengajukan gagasan penyangkalan kehendak, sebuah sikap untuk berhenti mengejar keinginan duniawi. Namun, dia menyadari bahwa menyangkal kehendak adalah jalan sulit untuk ditempuh. Dengan menahan diri, manusia bisa meraih kedamaian batin dan terbebas dari siklus penderitaan.

Meski di masa hidupnya Schopenhauer tidak terlalu dihargai, pengaruhnya kemudian menyebar luas. Nietzsche, Wagner, bahkan Tolstoy pernah mengakui jejak besar pemikirannya. Dalam filsafat modern, gagasannya tentang penderitaan, kehendak, dan seni sebagai pelarian masih menjadi topik yang relevan. Schopenhauer memang filsuf yang pesimis, tetapi justru lewat pesimismenya, dia membantu kita memahami arti hidup dengan lebih jujur.

Hari ini, di tengah dunia yang penuh ambisi, suara Schopenhauer menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati mungkin bukan soal menambah daftar pencapaian, melainkan belajar melepaskan diri dari jeratan keinginan yang tak pernah ada habisnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun