Di antara para pemikir gereja awal, nama Origen selalu menghadirkan kekaguman sekaligus perdebatan. Ia hidup pada abad ketiga di Alexandria, sebuah kota yang kala itu menjadi jantung intelektual dunia kuno. Dari sana, lahirlah Origen, seorang pemikir yang berusaha mempertemukan iman Kristen dengan filsafat Yunani. Harus diakui, apa yang dilakukan Origen tergolong berani pada masanya, bahkan nekat. Pada masa itu, gereja sangat kuat menyensor pemikiran-pemikiran Yunani yang sering kali dianggap 'menggangu iman'.
Kehidupan Awal
Origen lahir sekitar tahun 185 M. Ayahnya, Leonides, wafat sebagai martir Kristen. Peristiwa itu membekas dalam hidup Origen muda dan membuatnya bertekad untuk memahami imannya dengan lebih mendalam. Sejak remaja dia menekuni Kitab Suci. Tidak berhenti di situ, dia juga bergulat dengan filsafat Platonisme dan Stoikisme. Kedua arus besar pemikiran itu memang sedang mendominasi dunia intelektual kala itu.
Hermeneutika Tiga Tingkat
Salah satu warisan terbesar Origen adalah metode penafsiran Alkitab. Origen membagi pemahaman teks Kitab Suci ke dalam tiga tingkatan:
1. Harafiah -- makna permukaan, langsung sebagaimana tertulis.
2. Moral -- pelajaran etis untuk kehidupan sehari-hari.
3. Spiritual -- makna simbolis dan terdalam yang menunjuk pada misteri ilahi.
Menurut Origen, "Sebagaimana manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh, demikian pula Kitab Suci harus dipahami dalam tiga tingkat tersebut" (On First Principles, I. Preface.8).
Kristologi dan Apokatastasis
Origen mengajarkan bahwa Kristus adalah Anak Allah yang unik. Menurutnya, Kristus adalah pencipta sekaligus penyelamat dunia. Namun, pandangan yang paling banyak menuai kontroversi adalah gagasannya yang bernama apokatastasis. Apa itu? Apokatastasis adalah keyakinan  bahwa pada akhirnya semua makhluk, termasuk yang jahat, akan dipulihkan kepada Tuhan. Ide Origen dianggap terlalu optimistis dan akhirnya ditolak Gereja pada Konsili Konstantinopel II (Evans, 2004:112).
Dipengaruhi Filsafat Yunani
Filsafat aliran Platonisme memberi Origen semacam kerangka berpikir bahwa dunia material hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi. Tetapi berbeda dengan Plato, ia tidak melihat dunia ini sebagai sesuatu yang buruk. Baginya, segala sesuatu yang diciptakan Tuhan tetap baik adanya.
Dari Stoikisme, Origen menyerap gagasan mengenai kebebasan kehendak. Ia percaya manusia tetap memiliki kemampuan untuk memilih, antara kebaikan atau kejahatan. Kebebasan memilih itulah yang membuat manusia bertanggung jawab atas keselamatan hidupnya.
Karya-Karya Penting
Origen menulis banyak sekali karya, meski banyak pula yang hilang. Dua yang paling berpengaruh adalah:
- Peri Archon (On First Principles), sebuah refleksi sistematis tentang penciptaan, Kristus, dan tatanan semesta.
- Hexapla, edisi paralel Kitab Suci dalam enam versi berbeda, yang menunjukkan kedalaman studi biblisnya.
Seluruh karya yang dibuat Origen menunjukkan semangatnya untuk menyatukan iman dengan akal, sebuah sikap yang jarang ditemui di zamannya.
Warisan Pemikiran
Meski sebagian ajarannya akhirnya ditolak, pengaruh Origen tetap terasa hingga berabad-abad kemudian. Ia dihormati di Gereja Timur, terutama dalam tradisi Ortodoks, sebagai seorang pemikir yang berani membawa iman ke ranah intelektual.
Dalam salah satu tulisannya, ia menegaskan: "Kita harus percaya agar dapat memahami, dan kita harus memahami agar dapat percaya" (Contra Celsum, VII.39). Kalimat tersebut merangkum dengan indah bagaimana ia melihat hubungan antara iman dan akal. Baginya, iman dan akal bukanlah dua kutub yang berlawanan, melainkan dua jalan yang saling melengkapi.
Penutup
Origen adalah bukti bahwa untuk menguatkan iman, kita tidak harus menyingkirkan akal. Dari dirinya kita belajar tentang keberanian untuk berpikir lebih dalam, mempertanyakan, dan terus mencari. Meski pemikirannya kerap dianggap kontroversial, warisan Origen tetap menjadi bagian penting dalam sejarah filsafat dan teologi.
Daftar Pustaka
Evans, R. (2004). The Legacy of Origen. Oxford: Oxford University Press.
Origen. (1936). On First Principles, trans. G.W. Butterworth. New York: Harper & Row.
Origen. (1980). Contra Celsum, trans. H. Chadwick. Cambridge: Cambridge University Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI