Mohon tunggu...
Samurai Jagoan
Samurai Jagoan Mohon Tunggu... Penulis - Tukang Makan Enak

Seorang Entrepreneur, Tukang Jalan, Tukang Makan Enak, Praktisi & Owner Wenmit Pecel Bento, Penulis Buku, Provokator Entrepreneur, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional di bidang Entrepreneurship \r\n\r\n> HP 0818377811\r\n> FB Samurai Jagoan\r\n> Twitter @sa_murai

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Penderitaan Berkelanjutan

8 Januari 2014   08:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hawa dingin menusuk tulang, tapi situasinya rame banget sampe mau jalan aja susah apalagi mau cari tempat buat duduk. Walaupun akhirnya setelah berjuang desak sana desak sini akhirnya dapat juga tempat sempit yang bisa kami pake untuk duduk, tapi tetep harus berjuang keras dulu.

Bisa duduk di tanah berdesakan itu baru bisa saya nikmati setelah sekitar 15 menit naik tangga dengan nafas ngos-ngosan bukan hanya karena capek tapi juga karena oksigen yang tipis akibat udara yang sangat dingin, akhirnya saya bisa juga mengistirahatkan kaki saya yang pegel-pegel ini.
Padahal saya tadi dari tempat berhentinya jeep sudah memilih naik ojeg sampe ke anak tangga yang paling bawah, itupun begitu sampe puncak nafas saya masih ngos-ngosan baget, nah gimana yang pada jalan kaki dari parkiran jeep yang lumayan jauh jaraknya sampe ke anak tangga paling bawah. 
Mereka yang gak naik ojeg mesti jalan dulu mendaki trus harus meniti lagi selama sekitar 15 menit-ananak-anak tangga untuk sampe kepuncak dan pasti mereka lebih capek dari saya walaupun saya mungkin lebih gendut dari mereka.
Setelah sekitar 1 jam berhasil duduk berdesakan dalam udara yang dingin banget maka di ufuk timur mulai muncul cahaya terang perlahan tapi pasti, rupanya matahari mulai terbit.
Seiring dengan itu puluhan orang yang tadinya duduk berdempetan kedinginan serentak berdiri untuk menyaksikan terbitnya matahari sambil merekam momen ini dengan kamera masing-masing.
Karena puluhan orang serentak berdiri, dalam kerumunan yang padat dan berdesakan rapat tentu sulit sekali bisa menyaksikan pemandangan terbitnya matahari ini secara leluasa, apalagi buat mereka-mereka yang gak terlampau tinggi maka yang kelihatan bukan pemandangan indah matahari terbit tapi kepala-kepala orang yang ada didepannya.
Rupanya perjuangan bukan hanya pada saat mendaki saja tapi sudah sampe di lokasipun untuk bisa menyaksikan matahari terbit saya harus berjuang lagi...
Puncak gunung pananjakan...
Pagi itu menjelang subuh saya sampai di puncaknya untuk bisa melihat matahari terbit.
Dingin banget ... 
Cerita ini dimulai ketika kami sekeluarga pingin liburan ke Bromo. Kalo liburan ke gunung pasti yang dicari adalah bisa sampe puncak dan bisa lihat sunrise alias matahari terbit yang memang hanya bisa dilihat dari puncak gunung. 
Untuk itu kami harus berangkat kesana menjelang tengah malam agar bisa sampe ke desa terakhir tepat waktu agar tujuan melihat matahari terbit itu bisa terealisasi.
Jam 3 pagi kami sampe ke kaki gunung bromo, disini dari naik mobil sendiri kami harus berganti jeep karena hanya jeep milik warga setempat yang diijinkan naik sampe atas demi keamanan dan keselamatan. Jeep itu harus kami sewa dengan harga sekitar 700rb untuk paket perjalanan wisata puncak gunung Pananjakan, padang pasir Bromo, padang savana, dan pasir berbisik. 
Paket wisata ini dimulai dari pukul 2-3 dini hari sampai sekitar jam 10-11 siang. Kami diantar berangkat, ditunggu dan dikembalikan ke tempat kami memarkir mobil kami di desa terakhir itu (saya lupa nama desanya).
Perjalanan menuju puncak gunung Pananjakan selama 30 menit dimulai di pagi buta itu dengan naik jeep yang menempuh jalan sempit mendaki berkelok-kelok dibatasi oleh jurang yang curam tanpa pagar jalan dan gelap gulita tanpa lampu jalan sama sekali. 
Untung aja jalanan yang kami tempuh selama 30 menit itu sudah diaspal dan kondisi jalan aspal ini cukup bagus. Jadi gak bikin perut mual akibat jalanan yang jelek berlubang-lubang walaupun kepala cukup pusing karena jalan yang berkelok-kelok curam itu. 
Situasinya walaupun gelap, dan berkelok-kelok serta menyusuri pinggiran jurang serta tebing tidak terlalu menyeramkan sebab pada jam segitu puluhan jeep yang mengangkut wisatawan berangkat serentak konvoi beriring-iringan.
Tepat 30 menit kemudian jeep berhenti ditepi jurang setelah bersusah payah mencari posisi untuk parkir sebab jalanan yang sempit dan puluhan jeep lainnya juga berlomba mencari parkir ditempat yang sama. 
Akibatnya kami terpaksa harus turun dari jeep sekian kilo dari lokasi tangga yang akan kami naiki menuju puncak Pananjakan. 
Dari pemberhentian jeep ini untuk menuju ke anak-anak tangga yang harus kami naiki menuju puncak Pananjakan itu kami harus berjalan dulu di kegelapan pagi yang dingin banget selama sekian kilo dengan jalan yang mendaki terjal.
Emang sih kami nggak sendirian karena disekitar kami ada puluhan wisatawan yang juga mengalami nasib serupa seperti kami, harus menempuh jalan terjal dan mendaki di kegelapan untuk mencapai lokasi anak tangga terbawah saja.
Untung kemajuan tehnologi cukup membantu saya yang malas, ada puluhan tukang ojeg yang bersedia mengantarkan kami ke batas anak tangga terbawah dengan naik motornya asal memberi mereka imbalan ongkos 10rb per orang yang diangkut sekali jalan. 
Tentu saja tawaran ini saya terima, maka naiklah kami menuju ke lokasi anak tangga tangga terbawah dengan diantar ojeg, cukup menghemat tenaga tapi tetep aja angin dingin bener-bener menusuk tulang dan bikin gigi gemerutuk kedinginan walaupun sudah pake jaket tebal dilengkapi dengan kupluk dan sarung tangan.
Sampe di lokasi anak tangga terbawah perjalanan harus dilanjutkan dengan mendaki puluhan anak tangga lagi sambil berdesak-desakan dengan para wisatawan lain sekitar 15 menit di kegelapan. 
Menaiki anak tangga satu persatu dalam kegelapan, dipandu oleh hanya cahaya senter buat yang membawanya dan di tengah hawa dingin serta hembusan angin yang bikin hawa bertambah dingin aja. Buat yang gak bawa senter seperti kami ya siap tersandung-sandung aja ketika melangkah :)
15 menit kemudian sampailah kami di puncak gunung Pananjakan yang ternyata sudah di buatkan semacam pelataran yang cukup luas untuk menampung puluhan orang, disitu juga tersedia kursi-kursi batu untuk beristirahat.  
Puncak gunung Panajakan menjelang subuh bener-bener rame banget sampe mau jalan aja susah apalagi mau cari tempat buat duduk beristirahat. 
Kalo saya sebut dengan istilah 'penderitaan' maka ernyata gak berakhir ketika saya sampai di puncak.
'Penderitaan' saya ketika menempuh perjalanan melelahkan dan didera hawa dingin menusuk-nusuk, 'penderitaan' yang saya alami masih berlanjut ketika saya sampai dipuncak, sebab untuk mencari tempat agar saya bisa beristirahat saja sulitnya bukan main. 
Saya terjepit diantara puluhan orang yang berdiri berdesakan, sama-sama kedinginan dengan tujuan yang sama pingin menyaksikan matahari terbit.
Setelah sekitar 1 jam menunggu ditengah lautan manusia, di tengah kungkungan hawa dingin yang menusuk-nusuk apa yang kami semua tunggu terjadi. Matahari yang kami nanti bersama perlahan mulai terbit memancarkan cahaya merahnya yang indah itu.  Indah memang tapi keindahan itu terhalangi oleh puluhan kepala yang sama-sama pingin melihat keindahan itu. Mereka semua pingin mengambil foto dan merekam keindahan itu. 
Akibatnya 'penderitaan' saya berlanjut lagi, keinginan untuk menikmati keindahan tadi jadi sulit dirasakan oleh mata saya, jadi sulit direkam oleh kamera saya karena terhalang oleh puluhan tubuh dan puluhan kepala.
Bergerak mencari posisi yang lebih nyaman untuk menikmati keindahan sunrise di puncak pananjakan juga sulit karena desakan puluhan orang yang punya kepentingan dan keinginan yang sama seperti saya.
Karena 'penderitaan' yang berkelanjutan ini maka saya bilang ke ibunya anak-anak "udah bayar maha-mahal sewa jeep, ongkos ojeg, kedinginan, gak tidur, kaki pegel mendaki dan nanti harus turun lagi, gak bisa duduk istirahat, laper dan kalo mau beli makanan harganya 10x harga di surabaya eh gak bisa juga nyaman lihat sunrise dan gak bisa foto-foto dengan asik pula disini karena pasti ada orang-orang yang gak kita inginkan terekam saat berfoto karena begini banyak orang seperti sarden dalam kaleng"
Saya bilang lagi " kok mereka mau sih berjuang sedemikian rupa, sebenernya apa sih yang mereka cari?"
Istri saya menjawab kalem "mereka cari kepuasan, dengan bisa lihat keindahan matahari terbit mereka sudah senang, hatinya puas sebab apa yang dicari bisa terwujud dan kalo puas maka semua biaya dan capek serta resiko ilang dari pikiran mereka"
Istri saya bilang lagi " kamu gak puas dang ngomel-ngomel sebab kamu gak punya tujuan, coba lihat anak-anakmu yang kedinginan dan capek serta kelaparan ini gak ada yang ngomel sebab mereka puas karena tujuan melihat matahari terbit tercapai"
Buat apa capek-capek? Ternyata hanya untuk mencari kepuasan hati, saya pun diam terpekur dan merenung ...
Jadi supaya puas dan tidak mengeluh maka saya harus punya tujuan, apalagi jika saya punya tujuan dan tujuan itu tercapai ...
@sa_muraiwenmit.comsamuraijagoan.comFB = samuraijagoan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun