Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Valentine Tak Terlupakan: Menemukan (Kembali) Cinta Murni Keluarga di Tengah Hitam Pekatnya Masalah

6 Maret 2018   20:29 Diperbarui: 7 Maret 2018   16:34 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (berdiri berkacamata) dan ketiga kakak saya bangga pada ibu kami yang penuh kehebatan dan kekuatan cinta, berkumpul pada hari ulangtahun beliau ke-79 di tahun 2016 lalu (Foto: koleksi pribadi)

Hari Valentine, atau lebih dikenal sebagai Hari Kasih-Sayang, dirayakan semua bangsa di dunia setiap tanggal 14 Februari. Saya berpendapat, begitu mudahnya mayoritas dari kita, manusia di muka bumi ini, menerima dan ikut merayakannya bukanlah akibat dari kuatnya pengaruh budaya Barat secara global. Melainkan, karena memang manusia secara global dan universal tidak mungkin dipisahkan dari konsep cinta-kasih. Dan juga, karena cinta-kasih itu sendiri memiliki globalitas dan universalitas yang tak terbatas. Sebab, cinta dapat membuktikan eksistensi dirinya di tengah-tengah hal yang secara umum kita pikir takkan mungkin bisa memberi celah peluang untuk cinta muncul. Misalnya, di tengah masalah yang rumit dan memalukan sekalipun, ketika seorang anggota keluarga melakukan suatu aib besar. Bukankah seringkali di saat para sahabat dan kenalan dari yang bersangkutan mendadak menjauh sejauh-jauhnya lantaran tak sudi kecipratan masalah, malu, dan kesulitan, justru keluarga, terutama orangtua dan saudara kandung, masih tetap mau berada di dekat si pembuat aib itu, bahkan mendukungnya penuh lahir-batin?

Dan itulah yang akan saya ceritakan di sini secara garis-besar. Yaitu, suatu peristiwa yang teramat tak mengenakkan dan termasuk noda paling besar dalam sejarah keluarga kami, namun yang sekaligus juga justru membuat kami sadar sendiri, betapa besarnya cinta-kasih di antara kami satu sama lain. Terjadi di seputar Hari Valentine, tetapi bukan pada tahun 2018 ini, melainkan tiga tahun lalu, 2015.

Salah satu dari kami berlima kakak-beradiklah yang menjadi penyebab masalah ini. Dalam rangka tidak menyingkap aib keluarga kami lebih jauh, saya tidak akan merinci siapa orangnya. Dan untuk selanjutnya, saya hanya akan menyebut oknum dari kami itu sebagai "insan tersebut" saja. Sejak satu-dua tahun sebelum kejadian puncak, "insan tersebut" sudah memperlihatkan tanda-tanda permasalahan dalam hal uang dan materi. Gaya hidup terlampau tinggilah penyebab utamanya, karena pada waktu-waktu sebelumnya memang "insan tersebut" telah terbiasa dengan penghasilan yang besar. Sedangkan, setelah bisnisnya berkendala hingga akhirnya terhenti total, ia memulai usaha baru di bidang lain yang pendapatannya jauh lebih kecil. Sayangnya, "insan tersebut" tak bisa langsung move-on dari nikmatnya gaya hidup berselera mahal yang ia jalani sebelumnya. Kejomplangan yang sangat besar itulah yang menyebabkan "insan tersebut" akhirnya makin lama makin terjerat utang ke banyak pihak. Termasuk utang ke anggota keluarga kami sendiri.

Sampai kemudian, ada salah satu pihak pemiutang tidak bisa terima gara-gara "insan tersebut" bukan cuma terlalu lama melunasi, tetapi tindakannya sudah dirasa oleh si pemiutang sebagai itikad untuk menipu. Celakanya, si pemiutang adalah anggota keluarga dari seorang polisi. Maka, singkat cerita, sempatlah "insan tersebut" ditahan di salah satu kantor polisi sektor, dengan tuduhan tindakan penipuan. Dan itu terjadi pada malam Valentine, 13 Februari, 2015.

"Insan tersebut" pertama-tama menelepon ibu kami untuk mengabari hal tersebut sekaligus meminta pertolongan. Beliau pun menelepon seluruh anaknya. Sebetulnya, walaupun ibu kami dan anak-anaknya teramat kaget dan malu atas penahanan anggota keluarga kami oleh polisi, semua tidak terlalu terpukul dan syok juga, mengingat gejala-gejala yang ditunjukkan "insan tersebut" memang semakin parah dari hari ke hari. Sehingga, secara tidak langsung, antisipasi ibu kami dan anak-anaknya terhadap kemungkinan terburuk semacam penahanan tersebut sudah terbentuk. Cuma, persoalannya, kami berlima bersaudara tinggal saling berjauhan, malahan kebanyakan berbeda kota dan bahkan berlainan provinsi. Sementara, "insan tersebut" ditahan di kota yang sama dengan kota tempat tinggal ibu kami. Itu berarti, harapan bagi "insan tersebut" untuk mendapatkan bantuan paling cepat ya memang beliau.

Persoalannya, ibu kami sudah tidak muda lagi. Namun, umur 77 (tujuh-puluh-tujuh) tahun yang beliau sandang kala itu seakan-akan tidak dihiraukannya atau tidak disadarinya karena ingatan beliau akan usia sendiri tertutupi naluri keibuannya untuk sesegera mungkin membebaskan anaknya dari masalah. Itulah yang anak-anaknya sadari dan sekaligus kuatirkan. Dan ternyata, kekuatiran tersebut terbukti.

Di telepon konferensi antara ibu kami dengan anak-anaknya di tengah larut malam itu juga, beliau menyatakan, beberapa jam kemudian, yaitu pagi-pagi sekali, beliau akan langsung ke kantor polisi tempat sang "insan tersebut" ditahan. Tentu saja anak-anaknya segera melontarkan segala keberatan lantaran tidak mau terjadi apa-apa dengan ibu kami yang sudah lanjut usia sekali itu, baik di perjalanan maupun di kantor polisi. Lagipula, ketika dikonfirmasi via telepon, pihak kepolisian sudah menyatakan kepada keluarga kami, si pemiutang hanya akan mencabut semua tuntutannya apabila piutangnya dilunasi oleh "insan tersebut", yang artinya, cuma dengan syarat itulah "insan tersebut" bisa betul-betul dibebaskan dari tahanan oleh polisi. Sementara, jumlah utang yang harus dilunasi itu bukan main besar untuk ukuran keluarga kami. Dan bilamana ibu kami dan semua anak-anaknya mengumpulkan semua tabungan pun, jumlahnya masih kurang. Jadi, semua anak mengatakan kepada ibu kami, kalaupun beliau ke sana, beliau tetap takkan bisa membantu "insan tersebut" keluar dari tahanan. Tetapi, beliau bergeming. Dan anak-anak Ibu tahu, jika beliau sudah punya tekad, semakin dilarang atau mendapat resistensi dalam bentuk apapun, maka justru akan semakin bulat dan kuat tekad itu.

Akhirnya, pada dini hari di Hari Kasih-Sayang 2015 itu, secepat dan sepagi yang bisa dilakukan, berangkatlah semua anak Ibu dari kota masing-masing menuju kantor polisi tersebut. Sudah pasti, yang tiba paling pertama ialah Ibu. Dari antara anak-anaknya, yang pertama kali sampai ke kantor polisi itu datang sesudah Ibu berada di sana lebih dari sejam. Yang terakhir, tiba hampir dua jam kemudian. Jadi, seluruh keluarga kami berkumpul di "ground zero" dari "lembah kelam" yang menjadi lokus permasalahan besar keluarga kami itu setelah ibu kami berada di sana selama 3 (tiga) jam! Bukan perkara yang nyaman untuk siapapun, terlebih bagi orang lanjut usia, lebih-lebih lagi ketika orang lanjut usia itu adalah seorang ibunda!

Berikutnya, sekian negosiasi terjadi di antara ibu kami dan anak-anaknya di satu pihak dengan polisi di pihak lain. Namun, sia-sia. Pasalnya, pihak pemiutang, yang saat itu tidak berkenan ikut hadir karena mungkin sudah saking kesalnya dengan "insan tersebut", tak bersedia melonggarkan tuntutannya sedikitpun. Pula, banyak diskusi yang dilakukan keluarga kami. Yang dibarengi juga dengan menelepon ke pihak sana-sini untuk mencari pinjaman uang. Dan semua upaya itu tak membuahkan hasil juga dalam waktu yang cukup lama.

Sampai akhirnya, salah satu saudara ipar kami, yakni saudara kandung dari pasangan hidup salah satu dari kami berlima, yang memang terbilang berkecukupan, menghubungi lewat telepon. Orang itu sudah mendengar kabar tentang masalah yang melanda "insan tersebut" dan keluarga kami. Dan, di telepon, dia meminta kami sekeluarga agar tetap ada di kantor polisi, sebab ia sendiri sedang dalam perjalanan ke tempat itu. Mendengar itu, kami sekeluarga hanya bisa berdoa, semoga harapan yang timbul di hati kami karena ucapan ipar kami tersebut tidaklah sia-sia. Mudah-mudahan, dia memang datang untuk memberikan bantuan riil yang benar-benar bisa membebaskan total "insan tersebut". Tidak sekadar datang untuk ikut bersimpati, walaupun memang kami tetap menghargai ipar kami itu setinggi-tingginya seandainya memang itu saja yang dapat dilakukannya.

Benar saja, kira-kira hampir setengah jam kemudian, orang tersebut sampai di kantor polisi. Dia tidak sendiri, melainkan membawa seorang pengacara. Dan memang mereka datang sebagai jawaban pengabulan atas doa dan harapan kami sekeluarga! Sewaktu sang pengacara mengambil-alih urusan dengan pihak kepolisian dan berkomunikasi dengan si pemiutang, ipar kami memanfaatkan momen penantian untuk bercakap-cakap dengan keluarga kami. Ternyata, kabar yang ia dengar lebih banyak lagi. Sebab, dia juga mendengar, betapa kompaknya keluarga kami bersatu demi membebaskan salah satu anggota keluarga dari masalah. Ia pun memperoleh informasi bahwa kendati kami sudah bersatu-padu dan berusaha keras semaksimal mungkin, jalan keluar tetap belum ketemu. Itulah yang akhirnya menggerakkan hatinya untuk urun menolong! Dan katanya lebih lanjut, saat ia dan pengacaranya melihat kami ketika mereka masih di dalam mobil, keduanya pun langsung terharu. Cinta dan kehangatan keluarga yang sedemikan murni, ujarnya, belum pernah mereka berdua lihat seindah itu. Bagaikan sinar lilin pembawa harapan di tengah tempat yang luar biasa gulita, begitu menurut ipar kami itu. Sesudah melihat itu, keduanya pun langsung kuat hati: mereka tidak ragu lagi ingin membantu kami sampai "insan tersebut" bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun