Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi, Introspeksi, dan Kontemplasi Mewarnai Kompasiana Saya Sepanjang 2017

20 Januari 2018   12:49 Diperbarui: 20 Januari 2018   13:18 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tetapi, di dalam tulisan ini, saya mengajak kita semua mengintrospeksi diri, apakah arah perkembangan kita sudah tepat dan apakah paradigma kemajuan yang melatarbelakanginya sudah benar. Kita semestinya berhenti sejenak untuk memandang kondisi ketidakadilan yang dialami mayoritas bangsa kita, karena itu adalah cermin dari kesalahkaprahan kita selama ini. 

Kita terlalu berorientasi kepada kuantitas pendapatan, sementara mengabaikan aspek pemerataan, istimewanya pemerataan dalam pemenuhan kebutuhan. Termasuk kebutuhan untuk mencicipi kekayaan alam negeri kita sendiri. Bangsa-bangsa asing telah lama menikmati kekayaan alam kita, kopi Toraja umpamanya, sedangkan sebagian besar anak negeri kita sendiri justru belum pernah mendengarnya sama sekali!

Karena itu, kita harus memikirkan lagi untuk mengubah paradigma kita akan kemajuan. Kemajuan haruslah berlandaskan keadilan yang merata dan pemerataan secara adil. Itulah Revolusi Mental yang sesungguhnya! Hanya itulah yang memungkinkan bangsa kita benar-benar berkepribadian dalam kebudayaan dan mandiri dalam perekonomian sehingga kita pun bisa sepenuhnya berdaulat secara politik. Tiga kehebatan bangsa yang dikenal dengan nama “Trisakti” inilah yang harus menjadi satu-satunya tujuan dan visi peluncuran Satelit Telkom S3!

3. Rumah adalah Istana Kedamaian dan Monumen Kemandirian Kita

Melalui pengalaman keluarga saya sendiri dalam hal memiliki rumah tinggal, di dalam tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk meninjau kembali ke titik awal. Apa sebetulnya tujuan kita mempunyai rumah sendiri? Tentunya, rumah adalah tempat kita bernaung, melepas penat, beristirahat, menikmati hidup, serta membangun keluarga. Singkatnya, tempat kita menemukan ketenangan dan kedamaian. Selain itu, dengan mempunyai rumah sendiri, kita jadi mampu secara paripurna membentuk dan menjalani kehidupan kita sendiri. Artinya, rumah adalah pertanda paling utama bagi kemandirian kita secara mental maupun finansial. Seutuhnya sudah tidak lagi bergantung pada orangtua.

Untuk itu, patut kita kaji kembali, apabila kita memiliki rumah dengan cara pembayaran kredit. Apakah kedamaian kita tidak menjadi berkurang gara-gara selama bertahun-tahun dalam masa angsuran, pikiran dan emosi terkuras habis hanya untuk mencari cara melunasinya? Karena, bagaimanapun, kredit tetaplah utang. Lagipula, bukankah selama kredit masih berjalan, kita bisa dikatakan belum benar-benar merdeka akibat masih ada beban? Dan bagaimana seandainya kita sudah meninggal dunia sebelum kredit rumah tersebut benar-benar terlunasi? Bukankah jadinya keluarga kita yang ketimpa beban itu?

Maka, jika memang berniat membeli rumah, jenis apapun rumah itu, dengan cara kredit, seyogyanya kita introspeksi diri dulu untuk benar-benar memastikan bahwa apapun yang terjadi, kredit tersebut bisa kita lunasi tanpa macet dan bermasalah sedikitpun.

4. Digitalisasi Idealnya Merekatkan dan Menyemestakan

Kehidupan kita di era pascamodern saat ini sudah tidak bisa dilepaskan lagi dari digitalisasi. Namun, melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua merenung sejenak untuk kembali mengingat bahwa perkembangan teknologi, termasuk dan teristimewa digitalisasi, dimaksudkan hanya semata-mata untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan dan kehidupan. Dalam hal digitalisasi, kualitas yang idealnya kita peroleh darinya ialah lebih aktual dan nyatanya lagi ikatan antara satu manusia dengan manusia lain di seluruh dunia.

Tetapi, kalau bercermin dari pengalaman hidup kita sendiri sebagai pengguna teknologi digital, kita akan mendapati sebuah ironi berupa “paradoks digitalisasi”! Kalau digitalisasi mendekatkan kita dengan semua orang lain di seluruh dunia ini, masakan hal yang sama justru malah menjauhkan kita dari orang-orang terdekat kita dan yang kita kasihi?

Karenanya, saya ingin kita bersama-sama memeriksa diri kita sendiri, apakah kita sudah bijaksana menggunakan gawai digital di tangan kita. Seharusnya, semua itu harus tetap menjadi alat bantu, di mana kitalah yang menjadi tuannya. Bukan sebaliknya: menjadi tuan dan kita menjadi budaknya! Dan sebagai alat bantu, gawai digital kita mesti kita fungsikan untuk membantu kita dalam bekerja dan untuk berkomunikasi dengan orang tercinta kita sendiri. Sehingga, ketika kita sedang berada dekat secara fisik dengan orang-orang yang kita kasihi, semua gawai tersebut tidak boleh menjadi penghalang, apalagi menjadi perebut atensi dan waktu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun