Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rumah adalah Istana Kedamaian dan Monumen Kemandirian Kita

17 Oktober 2017   16:28 Diperbarui: 17 Oktober 2017   16:34 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keluarga intiku termasuk keluarga yang konservatif dan religius dalam hampir semua hal. Termasuk dalam mencari, memilih, membeli, dan menempati rumah. Dari ketujuh anggota keluarga intiku itu, yang terdiri dari Ayah, Ibu, keempat kakakku, dan aku sendiri, cuma aku sendirilah yang belum memiliki rumah sendiri. Lalu, dari mereka berlima yang telah memiliki rumah sendiri, hanya kakakku yang nomor dua (perempuan) yang pernah membeli rumah dengan cara mencicil lewat Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Itu pun lebih karena kemauan suaminya.

Keluarga kami memang amat sangat menghindari membeli apapun secara kredit, termasuk dan terutama barang yang nominalnya tinggi seperti rumah. Alasannya adalah seperti ini. Sebagai orang Kristen yang hampir bisa dikatakan "puritan", kedua orangtua kami sepenuhnya meyakini adanya ajaran di dalam keimanan Kristen yang mengatakan bahwa manusia tidak boleh berutang dalam bentuk apapun. 

Sebab, menurut ajaran dan keyakinan tersebut, jika kita meninggal dunia dalam keadaan masih meninggalkan utang, maka Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban dari kita di alam akhirat. Apa bentuk pertanggungjawabannya, apakah kita tetap bisa masuk ke sorga namun harus menerima posisi dan kondisi yang kurang mulia, ataukah sementara ditempatkan dulu di suatu lokasi semacam tempat penyucian dosa sebelum akhirnya bisa dianggap layak untuk diterima di sorga, ataukah langsung dimasukkan ke neraka selamanya, ataukah ada bentuk pertanggungjawaban lainnya, aku sendiri pun sampai sekarang belum pernah mendapatkan penjelasan yang betul-betul paripurna dan komprehensif. 

Yang pasti, orangtua kami sangat mewanti-wanti kami, anak-anak mereka, agar tidak berutang. Kalaupun terpaksa berutang, harus diupayakan semaksimal mungkin supaya sesegera mungkin dilunasi. Karena itu, ibu dan ayah kami cukup kecewa ketika kakak perempuanku itu mengambil kredit rumah, walaupun kekecewaan mereka sebenarnya bermanfaat juga karena berhasil memotivasi kakakku dan suaminya untuk bekerja sekeras-kerasnya sehingga akhirnya mampu melunasi KPR jauh-jauh hari sebelum jatuh tempo.

Dengan paradigma semacam itu, kami semua sekeluarga, tentunya minus kakak keduaku itu, jauh lebih suka mengontrak rumah daripada membeli rumah dengan cara kredit. Sebagai orang-orang yang berpikiran konservatif, keluargaku memang teguh memegang prinsip bahwa seseorang yang sudah menikah harus keluar dari rumah orangtuanya, menempati tempat tinggal sendiri bersama keluarga barunya. Ibu dan ayahku sendiri dengan senang hati pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya sesudah mereka menikah, berhubung pada waktu itu mereka belum punya cukup uang untuk membeli rumah sendiri. Dan "gerakan nomaden" itu pun rela mereka tekuni selama lebih dari sepuluh tahun. Sampai akhirnya mereka pun berhasil memiliki rumah sendiri yang mereka beli dari hasil mengumpulkan jerih-payah mereka berdua, tepat pada tahun di saat aku lahir.

Yang patut kami syukuri, dari kami berlima anak-anak orangtua kami, hanya kakakku yang ketiga (laki-laki) yang "mengikuti jejak" ayah-ibu kami, yaitu berpindah-pindah rumah kontrakan selama bertahun-tahun sembari mengumpulkan uang sebelum akhirnya berhasil membeli rumah sendiri. 

Kakakku yang pertama (perempuan), ketika menikah, langsung menempati rumah yang memang telah dimiliki suaminya sebelum mereka menikah. Sedangkan kakakku yang keempat (laki-laki), ketika dia menikahi isterinya, selama beberapa tahun tinggal di rumah yang dipinjamkan paman dari sang isteri, untuk kemudian akhirnya mampu membeli rumah sendiri. Dan kakak-kakakku yang lelaki itu membeli rumah tanpa kredit. Mereka semua membeli secara tunai.

Sementara, aku sendiri sampai saat ini juga masih menabung untuk dapat membeli rumah pribadiku sendiri. Untungnya, aku belum menikah. Lagipula, aku tinggal di kota yang berbeda dengan orangtuaku. Jadi, pilihan terbaik bagiku ialah kos, karena belum perlu aku mengontrak sebuah rumah.

Sebenarnya, dalam hal alasan keimanan yang berkaitan dengan utang, termasuk utang dalam bentuk KPR, aku mempunyai prinsip yang sedikit berbeda dengan yang diajarkan orangtuaku. Sama dengan yang dipercayai ayah, ibu, dan saudara-saudaraku, aku sendiri mengimani dan mengamini bahwa Kekristenan mengajarkan manusia untuk menghindari berutang dalam bentuk apapun dari siapapun. Hanya saja, dari hasil perenungan dan pembelajaranku sendiri, aku berkesimpulan bahwa ajaran tersebut tidaklah bersifat soteriologis sebagaimana yang diyakini orangtuaku dan mungkin juga kakak-kakakku (keterangan: "soter" artinya keselamatan jiwa secara kekal di akhirat kelak). Melainkan, jauh lebih berkaitan dengan keselamatan hidup kita di dunia saat ini.

Karena, bagaimanapun, utang adalah sebuah beban. Orang yang berutang terbebani kewajiban untuk melunasi, orang yang berpiutang pun pasti terbebani pikirannya sebelum piutangnya itu dibayar lunas si pengutang. Berarti, jika kita berutang, kita tidak hanya membebani diri kita sendiri, tetapi membebani orang lain juga. Bukan cuma orang yang memiutangi kita, namun keluarga dan orang-orang terdekat kita pun jadinya ikut menanggung beban kalau harus ikut membayari utang yang kita buat, entah karena kita kepayahan membayarnya sendiri ataupun karena kita sudah meninggal duluan sebelum utang kita lunas.

Maka, hal itu berlaku pula ketika kita mengambil KPR. Dan beban utang KPR itu menjadi sebuah ironi. Bukankah tujuan kita memiliki rumah ialah agar kita mempunyai tempat berlindung? Bukankah kita menginginkan perlindungan supaya kita damai dan tenang? Jadi, bukankah itu artinya kalau rumah kita seharusnya menjadi tempat untuk kita bisa mendapatkan kedamaian dan ketenangan sehingga kita bisa beristirahat serta memulihkan kesehatan, kebugaran, dan kekuatan? Kalau begitu, bagaimana mungkin rumah kita itu sanggup menjadi tempat yang demikian kalau tempat tinggal kita itu justru malah menjadi pangkal dari beban pikiran dan hati kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun