Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASBUN: Seni Menampilkan Kebodohan Diri

3 April 2016   14:51 Diperbarui: 3 April 2016   15:09 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: faktajabar.co.id"][/caption]

Bila di era Orde Baru dulu banyak politikus menampilkan gaya pencitraan yang berlebihan, mulai dari pengumpulan massa yang besar, janji kampanye yang berjibun, tapi sekarang keadaan sepertinya sudah berubah banyak. Memang masih ada satu dua gaya lama yang dipergunakan, tapi yang lagi trend adalah gaya ASBUN alias asal bunyi.

Jika anda sering mengamati panggung politik Indonesia baik dari sejak Jokowi  mulai populer menjadi calon presiden sampai sekarang ketika Ahok jadi bulan-bulanan partai dan anggota Dewan di Senayan, maka anda akan merasakan pola perubahan ini. Semua berlomba mengeluarkan statement. Sayangnya statement sekarang relatif sangat berbeda dengan dulu. Jika dulu terkesan santun dan formal, maka kini cenderung blak-blakan dan vulgar. Bahkan amburadul dan membuat kita tersenyum miris.

Kita bisa mengambil banyak contoh, namun artikel ini tidak mungkin membahas semua tokoh yang ASBUN tersebut. Jadi kita pilih beberapa saja. Dan untuk menggambarkan betapa model ini sudah melebar ke berbagai pihak baik yang terkait langsung maupun tidak maka kita pilih tokoh yang bervariasi.

Satu hal sebelum kita melihat beberapa contoh nyata, hal yang paling mengganggu benak saya adalah: apakah ini adalah wajah politikus kita? Sosok yang mewakili suara dan keinginan publik? Kalau tidak lalu kenapa bisa seperti ini? Kalau pun iya, mampuslah kita! Karena saat ini saja rasanya sudah menjijikkan, apalagi nanti.

Tokoh Intelektual & Melek Hukum

Tanpa menyebut nama, anda pasti sudah bisa menebak siapa tokoh yang saya maksudkan. Selain pernah menjabat posisi menteri pada kabinet pemerintahan sebelumnya, tokoh ini juga sukses dalam karirnya sebagai pengacara. Terlepas dari siapa yang dibelanya, karena secara hukum memang seorang pengacara harus bertugas seperti itu, penampilannya dalam kancah pemilihan DKI1 nampak sangat berbeda sekali.

Yusril lebih sering melempar statement yang bernada menyerang tokoh lain. Sebagai ahli hukum tentu diberi bumbu hukum. Jika statement dinyatakan sesuai konteks mungkin publik bisa paham. Tapi ketika statement dilakukan berkali-kali dan cenderung memuat rasa ketidaksukaan tanpa data yang akurat maka pendapat publik pun terpecah. Masalahnya adalah: sebagai intelektual seharusnya selalu mengedepankan fakta dan data. Misalnya hasil survey yang membuat posisinya jauh tertinggal (baca beritanya disini). Sebaiknya tim penasehat Yusril sudah berpikir dan mengkalkulasi berbagai kemungkinan. Mengubah strategi menjelekkan lawan serta mengumbar tudingan sudah saatnya diubah. Apalagi hasil dari penyidikan KPK sudah menjawab tudingan. Sebagai orang hukum harus selalu menghormati hukum dan menaati hasilnya. Tapi sepertinya kedua hal itu tidak ada pengaruhnya. Ketika keinginan tidak tercapai maka kekerasan hati yang dikedepankan.

Pertanyaan saya: apakah kemenangan harus dilakukan dengan cara seperti itu? Mengingkari jati diri dan profil intelektual yang selama ini sudah tertanam di benak banyak orang? Betapa sayangnya. Hanya demi jabatan 5-10 tahun, rela merusak image yang selama ini susah payah dicapai.

Tokoh Politik

Yang fresh dari oven. Tadinya saya mau mengambil Fadli Zon dengan contoh berbagai statementnya yang ngaco. Tapi yang paling fresh dan gress adalah Sanusi. Kasusnya yang melibatkan banyak pihak membuatnya cocok jadi contoh terkini dari wajah Senayan, atau mungkin lebih spesifik wajah Gerindra. Mungkin dari anda ada yang menolak tudingan wajah senayan, tapi coba ingat bulan lalu siapa yang dicekok yang berasal dari kalangan Dewan? Sepertinya masalah hukum selalu jadi jatah mereka?

Betapa Sanusi menjadi tokoh cetar membahana sekarang. Selain bergaya membawa aturan agama dalam pemerintahan, ternyata dalam kenyataan membawa kong kalikong. Wow banget. Benar-benar sinetron politik yang ciamik sekaligus membuat jijik. Posisinya yang dari Gerindra membuat siapapun tokoh pilihan Gerindra untuk DKI1 nanti tidak akan dipercayai publik lagi. Dalam istilah sepakbola disebut bunuh diri dengan menggolkan ke gawang sendiri.

Yang sialnya bagi senayan adalah dugaan keterlibatan anggota dewan juga yaitu wakil ketua DPR M.Taufik (beritanya disini dan disini). Walau masih dugaan, namun terjadi efek domino dari penangkapan Sanusi. Tapi fokus kita adalah profil Sanusi yang menggambarkan dirinya sebagai tokoh yang bersih dan amanah. Sampai muncul sindiran istilah SANUSI (santun tapi korupsi).

Untuk ini muncul pertanyaan di benak saya: Seperti inikah model politikus partai? Lain dibibir lain dihati dan lain pula dikantong? Tidak pernah belajar dari kasus partai sebelumnya yang selalu membawa tema agama tapi dalam kenyataan banyak masuk bui?

Tokoh Selebritis

Dari kalangan bintang ada 2 yang sangat menonjol belakangan ini. Ahmad Dani dari industri musik dan Ratna Sarumpaet yang kini jauh lebih populer dibanding karirnya didunia teater dan film.

Mungkin industri berbasis pelaku selebritis seperti itu memungkinkan mereka untuk lebih ekspresif dalam menyampaikan suaranya. Tapi sayangnya sering keblinger dan terkesan bodoh. Silahkan tanyakan beberapa teman anda dan ukur sendiri bagaimana respon mereka. Saya tidak mengada-ngada. Saya mencoba menanyakan lebih dari 10 orang dan semuanya kebanyakan tertawa dan mencemooh. Wow.. mungkin di industri dimana mereka berasal mereka mempunya penggemar tapi tidak pada dunia politik.

Mencoba meniru kesuksesan berbagai tokoh selebritis di panggung politik Amerika misalnya, bukanlah menjadi jaminan kesuksesan di Indonesia. Apalagi dengan melontarkan pernyataan dengan gaya tudingan, kasar bahkan rasis. Apa yang didapat? Persetujuan publik? Hehehe... Memanfaatkan keseruan tema DKI1 bukanlah jalan yang tepat untuk populer. Ya, mungkin media senang hati meliput dan meneruskan ke publik tapi hasilnya apa? Pada kedua tokoh yang didapat adalah bahan tertawaan dan diremehkan (baca beritanya disini atau disini). Nampaknya memang urat malu kedua tokoh itu sudah putus. Ya monggo.. dilanjutkan saja.

Sebagai bagian dari publik, tentu kita melihat rekam jejak bukan? Lalu rekam jejak apa yang bisa kita dapatkan dari kedua tokoh ini? Hal baik dan mulia serta bermanfaat bagi khalayak ramai yang bisa diunggulkan?

Kantong kelebihan belum ada terisi malah sudah mengumbar kebencian terhadap tokoh lain. Terlepas dari benar atau tidak, orang akan menilai bahwa inilah kepribadian mereka. Inilah wajah asli mereka. Nanti ketika menduduki jabatan tertentu lalu siapa yang akan diserang lagi?

Tokoh Yang Merasa Dirinya Pakar

Hahaha... maaf kalau saya ikutan menyindir. Tapi sejak dulu saya sudah mengamati tokoh IT ahli penilai gambar artis telanjang ini. Sukses sebagai tokoh wakil ketua umum partai dan mantan menteri di era pemerintahan sebelumnya bukan jaminan untuk selalu digemari. Malah sejak dulu tokoh yang mengaku atau diakui ahli IT ini memang sudah kontroversi. Kami sendiri dari kalangan dunia IT sejak dulu menertawainya. Yah... lebih sering karena pernyatannya sih. Tapi no hurt feeling-lah.. tiap orang punya gaya masing-masing kok.

Masalahnya adalah ketika dia sampai sekarang masih belum bisa menyimpan rasa bencinya. Nampak ketika dia menyerang akun palsu dari anak Jokowi (baca beritanya disini). Segitunya bapak pakar IT? Hebatnya gaya ngelesnya itu lho.. keren banget. Tetap pede walau tidak ada yang percaya. Ya udah deh.. reputasi ASBUN sejak dulu memang sudah disematkan pada tokoh ini. Silahkan baca artikel Kompas itu dan jangan lupa bahwa dia juga pernah terkena tipu online shop.  Wow again... pakar bisa dikibulin jualan online abal-abal?

Kesamaan Dari Mereka

Mungkin contoh tokoh diatas belum memuaskan anda. Tapi saya membatasi kepada tokoh yang paling baru dari panggung politik agar artikel ini relevan dengan kondisi saat ini tentunya.

Saya mencoba melihat kesamaan diantara mereka. Sebagian besar memang anggota partai dan ada yang mencoba mendekatkan diri tapi masih gagal (bisa anda tebak siapa?).  Suka atau tidak, suara asbun mereka ini ikut serta menanamkan persepsi terhadap partai pengusungnya. Lihat kasus Sanusi misalnya.

Disisi lain, karir dan portofolio dari tokoh pun ikut dihitung tapi alih-alih mendukung malah menjelekkan diri sendiri. Lihat kasus hukum yang ditangani Yusril dan tudingan sebagai pengacara yang sukses melindungi tersangka koruptor. Atau Ahmad Dani dengan kasus anaknya dan perkawinan. Kenapa bisa terjadi? Ketika kita menuding dan menjelekkan seseorang maka otomatis akan muncul tudingan ke arah kita sendiri bukan? Nah, seharusnya sudah diantisipasi sejak awal.

Bisakah anda lihat kesamaan lain dari semua tokoh diatas? TIDAK ADA YANG MENGUSUNG PROGRAM KERJA!

Bayangkan? Mencalonkan diri untuk menduduki sebuah jabatan yang mengurus publik, alih-alih mengajak kita agar tertarik dengan visi misinya, malah yang ada adalah ajakan membenci dan menuding tokoh lain. Jadi yang difokuskan adalah kesalahan orang lain. Bukan mengajak publik lebih yakin dengan dirinya. Bukan membuat publik sadar akan kemampuan dan potensi yang bisa diraih jika dia memimpin. Tidak. Yang ada adalah pijak kepala lawan agar aku naik keatas! Betapa dungunya gaya seperti itu.

Kita sama-sama tahu kalau tokoh politik bisa dan memang ditujukan agar memahami dan mengarahkan kemauan publik agar sesuai dengan visi dan misi yang dituju. Terlepas dari gaya dan model tampilannya, ada faktor yang ikut berperan agar ajakan itu dapat dipercayai dan mempunyai pengaruh yaitu: BUKTI. Dengan kata lain ada jejak rekam yang bisa ditunjukkan.

Mari sejenak kita bandingkan dengan kondisi politik di negara lain. Dengan Amerika misalnya. Karena saat ini lagi ramai dan riuh untuk kampanye presiden, semoga anda pernah melihat penampilan Donald Trump. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos plus menohok tanpa tedeng aling-aling cukup membuat panggung poltik Amerika ramai. Mengapa dia bisa masuk ke peringkat seperti saat ini? Salah satu argumen yang dipercayai adalah kemampuan bisnisnya yang sangat hebat. Dia dianggap tokoh yang sukses dan dihormati. Terlepas dari kontroversi pendekatan politiknya, bukti jejak rekamnya yang positif membuat orang berpaling dan mengamati. Setidaknya untuk sekarang. Belum tahu nanti.

Cobalah cari video penampilan pidatonya. Anda pasti paham. Jika ingin tahu contoh pendapatnya yang kontroversial, bisa dibaca disini. Namun anda akan lihat juga bahwa rekam jejak yang hebat pun tidak bisa menutupi masalah persepsi orang terhadap kita jika kita menggunakan taktik membenci dan menyerang tokoh lain. Saya pribadi sendiri percaya bahwa tokoh Donald Trump ini hanya populer sesaat dan kepopulerannya tidak akan bertahan lama. Pada masanya akal sehat tetap akan menang.

Bisa jadi gaya Donald Trump masih aman digunakan di Amerika, negara yang sudah lebih lama menerapkan aturan demokrasi. Namun bagaimana dengan Indonesia. Bukan maksud saya merendahkan negara kita, tapi seharusnya kita bisa belajar dari kesalahan dan kekurangan negara lain, termasuk Amerika. Model politikus asbun seharusnya bisa diminimalkan setidaknya. Seharusnya semua pamer program kerja, visi dan misi. Bukan pamer statement asbun yang hanya membuat suasana gegap gempita tapi minim makna.

Belajar Berhitung

Ada pandangan saya bahwa kita sering sekali lebih tertarik membahas isu berdasarkan gosip dan bukan data. Bukan maksud memamerkan diri atau sok pintar, tapi saya rasa hitungan sederhana pun bisa digunakan untuk melihat potensi kemungkinan seorang tokoh untuk berhasil atau tidak. Atau sebaliknya angka tertentu bisa menceritakan kisah dibalik kesuksesan maupun perlambatan dari seorang tokoh pula. Sebelumnya saya sudah menulis sedikit mengenai hal itu di artikel saya: Dampak Media Sosial Dalam Politik. Otak atik angka yang menjelaskan mengenai kenapa tokoh anu lebih populer dan tokoh anu lebih tengkurap.

Betul sekali jika anda mengatakan bahwa peran media ikut serta. Tapi anda jangan lupa, media juga banyak menyorot trend dan salah satu penggerak trend adalah sosial media. Siapakah yang ada disana? Klonengan yang dibayar atau para pemuja atau malah penghujat?

Salah satu argumen saya bahwa kita harus menghindari gaya politik membenci dan menuding ini bisa anda baca di artikel DPR vs Ahok: Kenapa Tidak Pernah Belajar dari Sejarah? Itulah sebabnya kenapa ketika muncul isu bahwa Ustad Mansur hendak dicalonkan, saya merasa tokoh ini bisa dijadikan kompetitor yang lebih layak daripada tokoh yang ada saat ini. Namun silahkan baca kerendahan hati beliau mengenai posisi gubernur atau cagub di artikel berita ini. Kesan apa yang anda dapatkan? Kalau saya jadi simpati dengan kejujurannya. Jika dia bisa jadi nomor 2 nanti, setelahnya bisa jadi nomor 1 bukan? Mengapa tidak ada tokoh lain yang bisa merendah seperti ini? Padahal kita tahu bagaimana sepak terjang Ustad Mansur. Seharusnya partai-partai saat ini mulai berhitung. Jika tidak mau mendukung pilihan yang ada sekarang maka sebaiknya mencari tokoh positif seperti profil Ustad Mansur misalnya.

Oke, kembali ke hitungan sederhana tadi. Saya mencoba menghitung data pengumpulan KTP dari situs TemanAhok.com. Saat artikel ini ditulis ada 416.447 KTP terkumpul. Dari target 7.500 KTP per hari, ternyata didapat 15.225 KTP atau lebih dari 200%. Bahkan saya pernah melihat pencapaian 25.000 lebih atau 333% lebih. Dengan perkataan lain, sejak awal Maret 2016 lalu sampai sekarang (saya asumsikan 34 hari) tiap hari rata-rata dikumpulkan 12.248 KTP. Jika angka 1 juta KTP menjadi target, maka dalam waktu sekitar 81 hari angka itu akan tercapai. Dengan kata lain, sebelum Mei 2016 berakhir sepertinya target sudah bisa didapat. Kalau dihitung dengan batas pencalonan 500.000 KTP maka dalam jangka 40 hari sebenarnya bisa dicapai.

Pasti ada yang menuding hitungan saya ini abal-abal. Hehehe... seperti yang saya sebutkan diatas, kalau tidak sesuai dengan keinginan hati maka keras kepala yang ditonjolkan. Saya tidak bermaksud mencuci otak anda agar pro Ahok. Tiap tokoh ada kelebihan dan kekurangan sendiri. Tapi yang diperlukan saat ini adalah strategi bagaimana agar "data & hitungan" bisa menunjukkan dukungan yang nyata.

Suka atau tidak, situs seperti TemanAhok.com membuat persepsi yang berbeda. Baik pendukung maupun lawan politik akan sering berkunjung dan melihat progress statistik disana. Persepsi yang muncul adalah hasil dari penampilan situs itu. Hal seperti ini yang seharusnya ikut dipikirkan oleh tim politik dari tokoh lain. Berbagai argumen dan tudingan bisa menjadi senjata politik untuk menyerang lawan. Tiap kali menang atau kalah maka akan menjadi "angka yang akan dihitung". Survey politik dan berbagai polling lainnya tetap menjadi rujukan penting walau saat ini banyak dari kita senang mengklik link baik dari portal berita besar maupun abal-abal.

Menggiring opini publik dengan statement hanya bisa berhasil jika ada data pendukung dan hitungan yang menunjukkan bahwa selain timing yang tepat, isu yang dilontarkan pun haruslah sudah dikalkulasi terlebih dahulu. Perhatikan angka dari statement Ahok? Lebih banyak positif atau negatif? Hal ini nampak dari polling yang ada. Dengan asumsi survey dilakukan dengan jujur dan terukur baik, kita bisa menebak hasil akhir sebenarnya. Metode seperti ini: penggunaan statistik dan model peramalan sudah menjadi gaya biasa di luar negeri. Mungkin perlu lebih dipopulerkan di Indonesia. Kalau tidak akan muncul tudingan seperti Gerindra Sebut Survei yang Menangkan Ahok Itu Kalahkan Dukun Super.

Penting Mana: Konteks atau Konten?

Menurut pengamatan saya, terlepas dari gaya dan model pernyataan para tokoh diatas termasuk Ahok, banyak diantara mereka masih HANYA bermain dalam tahap konten baik dari segi isi dan teknis penyampaian statement. Isu politik dan argumen sepihak masih menjadi titik sentral sebagian besar. Bahkan sebagian dari tokoh yang kita bahas bahkan lebih bersifat egosentris. Mungkin itulah mengapa mereka belum bisa merebut hati publik.

Sebaliknya, mengambil sosok Ahok yang terkesan kasar dan tidak sesuai nilai kesantunan formal, mengapa bisa berhasil? Saya menduga karena tokoh ini sudah bermain di level konteks yaitu garis besar (bigplan). Betul sekali bahwa konten itu penting. Konten didasarkan pada isi, cara dan teknis. Jadi kesantunan, formalitas, etika masuk kedalamnya. Sementara konteks sebagai garis besar itu lebih bersifat utama dan melebar. Dalam hal ini Ahok memnberikan penawaran bigplan yang jauh lebih menarik yaitu pemimpin yang dipercaya dan tegas.

"Cacat" dari konten Ahok ternyata tidak mempengaruhi elektabilitasnya. Ya, saya juga melihat ada kekurangan dari Ahok namun jujur juga saya melihat perbaikan dari cara komunikasinya saat ini. Publik lebih melihat konteks yang ditawarkan daripada konten semata. Hari demi hari data dan angka semakin menunjukkan dukungan kepada Ahok dan ini adalah sebagian gambaran dari konteks yang ada.

Kita ingin memilih pemimpin yang baik. Salah satunya adalah melihat jejak rekam yang terbukti dan terukur. Survey tidak menjamin karena hanya diukur dalam jangka pendek (baca berita seputar hasil survey elektabilitas), namun dapat menjadi acuan sementara. Jadi, daripada sibuk melempar statement yang asbun, lebih baik para tokoh membuat pendekatan kepada partai. Mengusung visi dan misi yang akan diperjuangkan. Sementara partai sebaiknya menghindari statement bodoh yang lebih sering membuat keramaian daripada meredakan ketegangan.

Mungkin selain konsultan politik, saat ini, selain partai dan para tokoh politik juga membutuhkan tim PR (public relation) agar statement lebih nyambung dan tidak asbun.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun