Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASBUN: Seni Menampilkan Kebodohan Diri

3 April 2016   14:51 Diperbarui: 3 April 2016   15:09 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisakah anda lihat kesamaan lain dari semua tokoh diatas? TIDAK ADA YANG MENGUSUNG PROGRAM KERJA!

Bayangkan? Mencalonkan diri untuk menduduki sebuah jabatan yang mengurus publik, alih-alih mengajak kita agar tertarik dengan visi misinya, malah yang ada adalah ajakan membenci dan menuding tokoh lain. Jadi yang difokuskan adalah kesalahan orang lain. Bukan mengajak publik lebih yakin dengan dirinya. Bukan membuat publik sadar akan kemampuan dan potensi yang bisa diraih jika dia memimpin. Tidak. Yang ada adalah pijak kepala lawan agar aku naik keatas! Betapa dungunya gaya seperti itu.

Kita sama-sama tahu kalau tokoh politik bisa dan memang ditujukan agar memahami dan mengarahkan kemauan publik agar sesuai dengan visi dan misi yang dituju. Terlepas dari gaya dan model tampilannya, ada faktor yang ikut berperan agar ajakan itu dapat dipercayai dan mempunyai pengaruh yaitu: BUKTI. Dengan kata lain ada jejak rekam yang bisa ditunjukkan.

Mari sejenak kita bandingkan dengan kondisi politik di negara lain. Dengan Amerika misalnya. Karena saat ini lagi ramai dan riuh untuk kampanye presiden, semoga anda pernah melihat penampilan Donald Trump. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos plus menohok tanpa tedeng aling-aling cukup membuat panggung poltik Amerika ramai. Mengapa dia bisa masuk ke peringkat seperti saat ini? Salah satu argumen yang dipercayai adalah kemampuan bisnisnya yang sangat hebat. Dia dianggap tokoh yang sukses dan dihormati. Terlepas dari kontroversi pendekatan politiknya, bukti jejak rekamnya yang positif membuat orang berpaling dan mengamati. Setidaknya untuk sekarang. Belum tahu nanti.

Cobalah cari video penampilan pidatonya. Anda pasti paham. Jika ingin tahu contoh pendapatnya yang kontroversial, bisa dibaca disini. Namun anda akan lihat juga bahwa rekam jejak yang hebat pun tidak bisa menutupi masalah persepsi orang terhadap kita jika kita menggunakan taktik membenci dan menyerang tokoh lain. Saya pribadi sendiri percaya bahwa tokoh Donald Trump ini hanya populer sesaat dan kepopulerannya tidak akan bertahan lama. Pada masanya akal sehat tetap akan menang.

Bisa jadi gaya Donald Trump masih aman digunakan di Amerika, negara yang sudah lebih lama menerapkan aturan demokrasi. Namun bagaimana dengan Indonesia. Bukan maksud saya merendahkan negara kita, tapi seharusnya kita bisa belajar dari kesalahan dan kekurangan negara lain, termasuk Amerika. Model politikus asbun seharusnya bisa diminimalkan setidaknya. Seharusnya semua pamer program kerja, visi dan misi. Bukan pamer statement asbun yang hanya membuat suasana gegap gempita tapi minim makna.

Belajar Berhitung

Ada pandangan saya bahwa kita sering sekali lebih tertarik membahas isu berdasarkan gosip dan bukan data. Bukan maksud memamerkan diri atau sok pintar, tapi saya rasa hitungan sederhana pun bisa digunakan untuk melihat potensi kemungkinan seorang tokoh untuk berhasil atau tidak. Atau sebaliknya angka tertentu bisa menceritakan kisah dibalik kesuksesan maupun perlambatan dari seorang tokoh pula. Sebelumnya saya sudah menulis sedikit mengenai hal itu di artikel saya: Dampak Media Sosial Dalam Politik. Otak atik angka yang menjelaskan mengenai kenapa tokoh anu lebih populer dan tokoh anu lebih tengkurap.

Betul sekali jika anda mengatakan bahwa peran media ikut serta. Tapi anda jangan lupa, media juga banyak menyorot trend dan salah satu penggerak trend adalah sosial media. Siapakah yang ada disana? Klonengan yang dibayar atau para pemuja atau malah penghujat?

Salah satu argumen saya bahwa kita harus menghindari gaya politik membenci dan menuding ini bisa anda baca di artikel DPR vs Ahok: Kenapa Tidak Pernah Belajar dari Sejarah? Itulah sebabnya kenapa ketika muncul isu bahwa Ustad Mansur hendak dicalonkan, saya merasa tokoh ini bisa dijadikan kompetitor yang lebih layak daripada tokoh yang ada saat ini. Namun silahkan baca kerendahan hati beliau mengenai posisi gubernur atau cagub di artikel berita ini. Kesan apa yang anda dapatkan? Kalau saya jadi simpati dengan kejujurannya. Jika dia bisa jadi nomor 2 nanti, setelahnya bisa jadi nomor 1 bukan? Mengapa tidak ada tokoh lain yang bisa merendah seperti ini? Padahal kita tahu bagaimana sepak terjang Ustad Mansur. Seharusnya partai-partai saat ini mulai berhitung. Jika tidak mau mendukung pilihan yang ada sekarang maka sebaiknya mencari tokoh positif seperti profil Ustad Mansur misalnya.

Oke, kembali ke hitungan sederhana tadi. Saya mencoba menghitung data pengumpulan KTP dari situs TemanAhok.com. Saat artikel ini ditulis ada 416.447 KTP terkumpul. Dari target 7.500 KTP per hari, ternyata didapat 15.225 KTP atau lebih dari 200%. Bahkan saya pernah melihat pencapaian 25.000 lebih atau 333% lebih. Dengan perkataan lain, sejak awal Maret 2016 lalu sampai sekarang (saya asumsikan 34 hari) tiap hari rata-rata dikumpulkan 12.248 KTP. Jika angka 1 juta KTP menjadi target, maka dalam waktu sekitar 81 hari angka itu akan tercapai. Dengan kata lain, sebelum Mei 2016 berakhir sepertinya target sudah bisa didapat. Kalau dihitung dengan batas pencalonan 500.000 KTP maka dalam jangka 40 hari sebenarnya bisa dicapai.

Pasti ada yang menuding hitungan saya ini abal-abal. Hehehe... seperti yang saya sebutkan diatas, kalau tidak sesuai dengan keinginan hati maka keras kepala yang ditonjolkan. Saya tidak bermaksud mencuci otak anda agar pro Ahok. Tiap tokoh ada kelebihan dan kekurangan sendiri. Tapi yang diperlukan saat ini adalah strategi bagaimana agar "data & hitungan" bisa menunjukkan dukungan yang nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun