Raja Ampat. Nama ini sering muncul di iklan pariwisata, di feed Instagram, atau dalam mimpi para pencinta alam. Lautnya sebening kaca, ikan warna-warni berenang bebas, karangnya sehat, dan langitnya luas tanpa gedung pencakar.
Tapi di balik semua keindahan itu, ada suara yang sering tidak terdengar: suara laut yang mulai gelisah. Suara hutan yang dipotong diam-diam. Suara masyarakat adat yang ditinggalkan keputusan besar tanpa sempat diajak bicara.
Kini, isu tambang nikel masuk ke wilayah Raja Ampat. Katanya untuk kemajuan. Katanya untuk masa depan bangsa. Tapi apakah benar pembangunan selalu harus dibayar dengan alam yang rusak?
Masyarakat adat di sana sudah hidup selaras dengan laut dan hutan selama puluhan tahun. Mereka tidak butuh kata “sustainable” untuk tahu cara menjaga lingkungan. Mereka hidup dari laut, tapi juga menjaga isinya. Mereka tidak serakah. Mereka cukup.
Yang mereka butuhkan justru dukungan bukan penggusuran. Bukan tambang. Bukan jalan lebar-lebar yang menuju pabrik, tapi menghapus pohon dan suara burung cendrawasih.
Menjaga Raja Ampat bukan soal memilih antara lingkungan atau ekonomi. Ini soal cara berpikir. Kalau alam rusak, pariwisata hilang. Jika laut tercemar, nelayan kehilangan penghasilan. Kalau hutan habis, banjir datang, tanah longsor, hidup jadi tidak pasti.
Jadi sebenarnya, siapa yang benar-benar untung dari proyek tambang? Dan siapa yang akan menanggung kerusakannya?
Kita perlu bicara soal ini. Bukan hanya aktivis atau orang Papua. Tapi kita semua karena alam Indonesia bukan milik satu daerah, tapi warisan untuk seluruh anak bangsa.
Kalau sekarang kita diam, mungkin suatu hari kita hanya bisa melihat Raja Ampat lewat dokumenter lama. Lewat foto-foto yang disimpan dengan caption, “Dulu tempat ini pernah seindah surga.”
Mari kita jaga Raja Ampat.
Bukan hanya karena indah,
tapi karena ia hidup dan berhak tetap hidup.