Mohon tunggu...
Syamsiah
Syamsiah Mohon Tunggu... Insinyur - Trainer

Instruktur TIK Kemenaker RI Love Purple and Eat Purple \r\nwww.syamthing.blogspot.com, \r\nwww.syamhais.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja

25 Juli 2016   22:28 Diperbarui: 25 Juli 2016   23:01 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: intanmilenia.wagomu.id

Berkaca pada Pengalaman Pribadi

Masa remaja saya pun penuh dengan kegalauan. Saya tidak dekat dengan orang tua. Setiap mengajak bicara mereka selalu diminta diam, apapun yang saya katakan. Komunikasi orang tua dan anak dilakukan hanya jika orang tua ingin menasihati anaknya. Di masa itu, saya sering ketakutan kalau dipanggil bicara oleh Bapak.

Bapak tidak segan menampar dan menendang saya hanya karena saya istirahat satu hari penuh setelah lelah menempuh Ujian Tengah Semester (UTS) ketika berkuliah. Dalam kondisi Bapak yang tengah emosi pada orang lain dan tidak bisa mengungkapkannya, saya lah yang menjadi sasaran.

Saya di posisi yang lemah dan tidak berani. Saat itu saya selalu merasa tidak berguna karena tidak pernah benar di hadapan Bapak. Sebutan “anak durhaka”-pun sering keluar dari lidahnya. Ditambah lagi, dogma agama yang begitu kuat membuat kakak saya di rumah mengamini ucapan Bapak saya.

Apa yang Bapak marahi ke saya, saya yakini di luar sana pun banyak yang tidak suka dengan saya. Saya menjadi orang yang pemurung dan takut salah. Dalam bergaul, ucapan saya pun selalu tajam. Ini akibat pengaruh ucapan Bapak yang suka melebih-lebihkan kesalahan saya dengan kata-kata yang sangat tajam. Saya sudah mengatur sehalus mungkin kata-kata saya, namun apa daya masih banyak yang menyebut saya sebagai orang yang sinis.

Syukur Alhamdulillah, Allah Swt menganugerahi saya kemampuan untuk berfikir mendalam. Saya tidak mudah percaya omongan orang. Saya lebih percaya kata hati nurani saya. Kalau hati nurani saya tidak membenarkan tindakan Bapak. Saya tidak percaya dengan cap “anak durhaka” dari orangtua sementara mereka tidak memberikan keteladanan.

Mungkin kalau saja saya percaya omongan itu, saya akan merasa menjadi orang yang paling tidak berguna. Lalu kemudian mencari jalan pintas dengan bunuh diri untuk menghentikan berbagai masalah hidup saya. Saya juga pernah berkeinginan bunuh diri untuk mengakhiri permasalahan hidup.

Tapi, seburuk apapun perilaku orang tua saya ketika itu, mereka telah memberikan bekal ilmu agama sejak saya kecil. Sangat terpatri dalam diri saya bahwa bunuh diri itu dosa. Jika saya bunuh diri, masalah saya bukannya selesai malah bertambah karena besarnya dosa bunuh diri dan tidak diterima-Nya arwah saya di alam barzakh. Itu jauh lebih menyiksa ketimbang berbagai masalah hidup saya. Belum lagi bayangan akan siksa neraka. Jika menyentuh api saja saya masih takut, apalagi siksa neraka yang apinya meliputi tubuh dan panasnya ribuan kali lipat api dunia.

[1] HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

[2] "Aqil" yang berarti berakal, maksudnya sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk serta "Baligh" yang berarti sampai, yaitu telah sampai pada umur dimana beban dan tanggung jawab syariat telah dibebankan kepadanya, oleh karena itu catatan amalan perbuatannya mulai dicatat oleh malaikat.

[3] Darah yang berasal dari urat yang pecah/putus dan keluarnya bukan pada masa haid atau nifas (kebanyakan), tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun