Mohon tunggu...
Syamsiah
Syamsiah Mohon Tunggu... Insinyur - Trainer

Instruktur TIK Kemenaker RI Love Purple and Eat Purple \r\nwww.syamthing.blogspot.com, \r\nwww.syamhais.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membangun Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja

25 Juli 2016   22:28 Diperbarui: 25 Juli 2016   23:01 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: intanmilenia.wagomu.id

Remaja adalah generasi penerus bangsa. Kondisi remaja saat ini menggambarkan kondisi suatu bangsa ke depannya. Usia remaja adalah usia yang diliputi penuh rasa ingin tahu. Banyak remaja yang menyalurkan rasa ingin tahunya dengan kegiatan positif dengan menyalurkan bakatnya. Namun banyak pula yang penasaran dengan larangan karena minimnya penjelasan dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Tidak jarang, larangan justru membuat mereka penasaran dan melakukannya. Mereka akan terus melakukannya sampai ada yang memberikan perhatian dan memberitahukan bahwa yang dilakukan benar atau salah.

Latar belakang keluarga dan pengaruh lingkungan pergaulan, serta media elektronika dan media informasi sangat membentuk kepribadian mereka. Namun, jika keluarga sudah memberikan ruang untuk berpendapat dan didengarkan, niscaya yang lainnya tidak terlalu mempengaruhi.

Idola Berdasar Pintar atau Kaya

Usia remaja masih mencari jati dirinya dan menjadikan sosok tertentu sebagai idola. Idola inilah yang akan membentuk pola pikir mereka. Tidak jarang, banyak yang menjadikan idolanya tokoh selebritis terkenal. Bahkan belakangan ini juga banyak remaja yang menjadikan selebritis youtube sebagai idola. Melihat banyaknya remaja yang mengidolakan Karin Novilda atau @awkarin sungguh jelas bahwa para remaja belum punya acuan yang jelas akan kehidupannya. Apa yang disajikan terlihat indah dan keren bagi kebanyakan temannya, maka ia pun mengikutinya.

Definisi keren pun menjadi bias bagi mereka. Bagi mereka, keren adalah ketika bisa menjadi juara kelas atau peringkat terbaik di sekolah tanpa perlu rajin belajar. Bisa menghasilkan uang banyak tanpa perlu ribet-ribet mengikuti pendidikan di sekolah. Boleh berkata-kata kasar dan mempertontonkan gaya hidup bebas sepanjang tetap menjaga nilai “A” di seluruh pelajarannya, adalah hal yang keren bagi remaja.

Mengapa pola pikir remaja menjadi aneh dan sosok seperti Karin Novilda bisa menjadi idola? Karena selama ini media sangat mengekpos akan betapa berharganya nilai diri seseorang jika sudah punya uang banyak dan mampu membeli ini itu. Tengoklah acara-acara di televisi, banyak yang mengekspos kemiskinan dan menjadikan mereka sebagai orang-orang yang perlu dikasihani karena dianggap tidak beruntung.

Maka tak heran banyak orang menempuh pendidikan tinggi hanya karena ingin menjadi kaya, bukan ingin menjadikan ilmunya bermanfaat bagi orang sekitar. Kemudian, maraklah penyogokan dalam bersekolah dan bekerja demi bisa bersekolah atau bekerja di sekolah atau perusahaan favorit. Maka tak heran jika korupsi marak terjadi di berbagai instansi pemerintahan dan swasta.

Semua ini terjadi karena uang menjadi orientasi pertama, bukan kebermanfaatan. Padahal yang terbaik di antara kita bukanlah yang paling banyak uangnya. Tapi yang terbaik di antara kita adalah yang paling banyak manfaatnya bagi kemaslahatan umat[1].

Selain sudah bisa menghasilkan uang puluhan juta per bulan, Karin diidolakan remaja karena kepintarannya. Ia bahkan bisa kuliah di Kedokteran Universitas Indonesia, tapi tidak diambilnya. Alasan ia tidak mengambil Kedokteran UI karena ingin mengantar pacarnya.

Sebuah alasan yang sangat sepele tapi membuahkan kekaguman banyak remaja. Karin dianggap mau mengorbankan hal besar dalam hidupnya demi kelanggengan hubungan pribadinya dengan sang pacar. Meski akhirnya ia harus menelan pahitnya diputuskan sepihak karena perselingkuhan.

Kepintaran banyak membuat orang kagum. Selain kekayaan, hal yang menjadi kebanggaan lainnya adalah kepintaran. Maka banyaklah orang tua yang saling berlomba memasang status di media sosial tentang prestasi anak-anaknya baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Parameter keberhasilan yang tidak memperhatikan bagaimana efeknya bagi psikologis si anak. Apalagi, biasanya anak-anak berprestasi cenderung sombong dan meremehkan orang lain. Hasilnya, bangsa ini banyak menghasilkan remaja berprestasi namun minim attitude.

Namun tidak sedikit remaja yang mampu bersikap mandiri tanpa ikut-iktan apa yang sedang tren saat ini. Ketika bicara dengan keponakan saya, dia termasuk yang tidak suka dengan @awkarin. Menurutnya, @awkarin hanyalah wanita “bodoh” yang mau mengorbankan masa depannya demi lelaki yang belum pasti untuknya.

Haus Eksistensi Diri

Remaja memiliki rasa ingin diakui keberadaannya maupun eksistensinya. Berbagai cara ditempuhnya. Mulai dari membuat status keberadaan atau kegalauan di media sosial (bbm chat, facebook, dan twitter) agar mendapat komentar orang. Dengan mendapat komentar, mereka merasa diperhatikan.

Ketika sudah ada yang memperhatikan mereka, mereka pun akan merasakan kenyamanan. Setelah merasa nyaman, mereka mau melakukan apapun asal kenyamanan itu tetap ada. Bahkan mengorbankan keperawanan dan keperjakaan pun bukan menjadi masalah bagi mereka selama kenyamanan itu masih mereka dapatkan. Sungguh dampak luar biasa yang sangat tidak disangka para orang tua.

Contoh status galau. Source: http://sebilasinpo.blogspot.com/2015/07/pacar-kamu-suka-curhat-di-media-sosial.html
Contoh status galau. Source: http://sebilasinpo.blogspot.com/2015/07/pacar-kamu-suka-curhat-di-media-sosial.html
Karenanya, bertaburanlah status-status kegalauan remaja di media sosial tanpa mereka pikirkan apa efeknya bagi perkembangan diri mereka. Tanpa dipikirkan kalau hal itu bisa menular pada remaja lain dan juga menularkan efek yang tidak baik bagi perkembangan kehidupan mereka. Tanpa difikirkan bahwa status galau tersebut justru memperburuk citra diri mereka.

Hingga berkontroversi di media sosial pun rela dilakukan demi bisa mengekspresikan keresahan dirinya. Kontroversi menjadi hal yang keren karena menunjukkan keberanian mengekspresikan dirinya. Mereka lupa bahwa sejak dilahirkan, kita terikah oleh berbagai norma kehidupan bermasyarakat.

Banyak pula yang posting keberadaan di tempat tertentu seperti tempat kuliner, tempat hang out bersama kawan-kawannya, serta tempat wisata. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan itu tanpa perlu diketahui darimana uangnya. Sebagian memang berasal dari keluarga berada yang memang mampu membiayai gaya hidup anaknya.

Namun tidak sedikit yang memaksakan diri demi diakuinya eksistensi diri mereka. Dan tidak jarang dari mereka yang mau mengorbankan jiwa dan raganya demi mendapatkan pengakuan eksistensi dirinya dengan menunjukkan bahwa mereka mampu “membeli” pergaulan hidup yang sama.

Kebanyakan remaja bermental follower, mengikuti apa yang sudah ada di kelompoknya. Mereka takut dihina jika berbeda dan berani mandiri. Tak segan mereka masuk dalam kelompok apapun asal ada pengakuan. Banyak yang menyalurkannya melalui kelompok ekstrakurikuler di sekolah sebagai aplikasi penyaluran minat dan bakatnya. Namun tak jarang ada yang rela masuk kelompok geng-geng tertentu di sekolah yang mensyaratkan anggota barunya untuk menjadi pesuruh mereka.

Minimnya Teladan Akhlak

Selain status, komentar-komentar negatif terhadap status orang lain juga bertaburan. Hal ini menunjukkan minimnya pembelajaran dan pengamalan akhlak dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, sangat diperlukan pembelajaran dan teladan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Di sinilah peran penting orang tua dalam memberikan keteladanan. Apa yang dilakukan orang tua menjadi contoh pertama mereka. Orang tua menjadi cermin perilaku terdekat yang ada dalam kehidupan remaja.

Orang tua sering tidak sadar bahwa mereka menjadi teladan anak dalam hal apapun, baik ataupun buruk. Orang tua memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter anak. Apapun yang dilakukan orang tua pasti akan dicontoh anaknya. Perhatian dan bimbingan orang tua sangat dibutuhkan bagi perkembangan psikologis remaja.

Tidak hanya orang tua, media pun diharapkan tidak lagi menampilkan tokoh-tokoh tertentu yang hanya terkenal, pintar, ataupun kaya namun minim akhlak. Gembar-gembor berita korupsi makin lama menjadi hal yang lumrah. Begitu pun dengan berita perkosaan, pembunuhan, dan narkoba. Berita-berita tersebut kerap selalu ada yang baru sehingga secara tidak sadar bahwa hal itu adalah hal yang wajar dan pantas ditiru para remaja.

Kita boleh saja berteriak tentang perilaku remaja yang kian tidak terarah. Tapi kita juga harus berkaca pada diri sendiri betapa ternyata kita juga punya andil dalam kerusakan mental bangsa, khususnya remaja.

Selain teladan perilaku, penting untuk memberikan ilmu agama sejak dini pada anak dan remaja. Ilmu agama yang bukan sekedar ibadah dalam syariat. Namun ilmu agama yang menyangkut muamalah, cara berkehidupan sehari-hari. Pengetahuan bahwa berbagai perilaku kita akan dipertanggungjawabkan di hari akhirat.

Tiap agama memiliki tokoh teladan masing-masing. Teladan dalam Islam adalah Nabi Muhammad Saw. Kristen punya Yesus Kristus, dan ada Sidharta Gautama dalam agama Budha. Mereka inilah yang mestinya menjadi idola untuk dijadikan panutan para remaja. Bukan tokoh seusianya yang juga masih dalam proses pencarian jati dirinya.

Beralih ke Seks dan Narkoba

Banyak remaja yang krisis harga diri dan memilih menjadikan narkoba dan seks bebas sebagai pelampiasan. Dengan narkoba mereka dapat melupakan sesaat permasalahan hidupnya. Apalagi hal itu dilakukan bersama teman-temannya, orang-orang yang sudah membuat mereka nyaman bersama mereka.

Source: pondokbinjai.wordpress.com
Source: pondokbinjai.wordpress.com
Tidak sedikit remaja yang haus pujian dalam hal apapun. Pujian dalam hal prestasi dan kebaikan diri tidaklah mudah dijaga. Sebutan seksi dan cantik sangatlah menggiurkan mereka yang kurang perhatian dan bimbingan orang tua di rumah. Menjadi seksi dan cantik jauh lebih mudah ketimbang berprestasi dan berakhlak baik. Maka tidak sedikit remaja yang berani mengumbar auratnya dan berdandan tidak sesuai umurnya hanya ingin disebut seksi dan cantik.

Para lelaki pun tergiur melihatnya. Di sinilah awal mula terjadinya seks bebas. Kedua belah pihak sama-sama ingin menunjukkan kecantikan, ketampanan, dan keseksian masing-masing. Hal seperti ini menjadi bagian eksistensi bagi remaja. Tak heran banyak yang bangga jika banyak remaja bangga sudah melakukan hubungan suami-istri. Bahkan jika belum pernah berpacaran akan disebut “kurang gaul”.

Pengakuan seperti ini adalah pengakuan yang salah dan keblinger. Masalahnya, media pun kerap mengumbar kecantikan paras dan keseksian tubuh sebagai pesona utama wanita. Untuk itu, peran media juga sangat diperlukan untuk memperbaiki pola pikir remaja. Jangan lagi menjadikan orang cantik dan seksi sebagai orang yang banyak tampil di televisi. Namun jadikanlah orang yang berprestasi disertai akhlak yang baik sebagai tokoh yang ditampilkan di banyak acara televisi.

Kembali ke Agama

Dalam agama ditekankan adanya dosa dan ancaman siksa-Nya. Keimanan yang ditanamkan sejak dini dapat menghindari seseorang dari berlaku yang tidak sesuai norma agama dan norma sosial. Selain itu, pembelajaran agama sejak kecil sudah memberikan pendidikan seks secara jelas namun tidak vulgar.

Pendidikan seks dalam agama Islam disesuaikan kebutuhan. Sejak dini sudah dijelaskan apa itu akil-baligh[2]. Dewasa secara fisik dalam Islam adalah ketika wanita mengeluarkan darah haidh sekurang-kurangnya satu hari, sebanyak-banyaknya 14 hari. Lebih dari itu bisa dianggap sebagai darah istihadlah[3]. Darah haidh pertama kali keluar paling awal di usia 9 tahun. Sedangkan laki-laki ditandai dengan mimpi basah[4].

Saat itu keduanya dinyatakan telah mampu melakukan reproduksi. Rasa suka terhadap lawan jenis pun mulai dirasakan. Karenanya, berbagai kewajiban pun diberikan. Mulai kewajiban shalat lima waktu hingga kewajiban menutup aurat. Tujuan kewajiban-kewajiban ini adalah untuk menunjukkan bahwa mereka sudah dianggap dewasa dan bertanggung jawab. Tujuan lainnya, untuk menghindari berbagai perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Termasuk salah satunya adalah perilaku seks di luar nikah.

Karenanya, berbagai perilaku umat manusia sejak itu sudah dicatat dalam catatan amal. Apapun yang dilakukan ada kosekuensinya. Jika yang dilakukan adalah kebaikan, anjuran, dan perintah agama maka berbuahkan pahala yang menjanjikan surga. Jika yang dilakukan adalah pelanggaran-pelanggaran aturan kehidupan dan beragama, maka akan berbuahkan dosa yang menjanjikan neraka.

Tanpa perlu mempelajari organ intim wanita, ilmu Fiqih[5] telah mengulas masalah kesehatan reproduksi dengan cara yang halus. Cara penyampaian yang menyesuaikan dengan perilaku sehari-hari bagi para remaja belasan tahun. Tanpa perlu visualisasi sehingga remaja tidak perlu mencoba atau penasaran dengan perilaku seksual itu sendiri. Dalam Islam pun ada kitab tersendiri untuk pembahasan seksual, salah satunya Qurratul Uyun. Kitab ini membahas khusus tentang hubungan suami-istri dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah siap ke jenjang pernikahan.

Agama mengajarkan kita untuk patuh pada pemimpin[6]. Baik itu orang tua, guru, ataupun presiden. K.H Hasyim Asyari, sebagai pendiri Nahdathul Ulama mengajarkan untuk cinta tanah air yang dapat dilakukan dengan berbagai hal positif.

Di sisi lain, banyak remaja yang sangat bergairah dalam mempelajari agama namun minim arahan dari lingkungannya. Hal ini terjadi karena mereka tidak adanya keterbukaan dalam keluarga. Keluarga pun merasa aman-aman saja dengan anaknya yang dilihat giat belajar agama. Mereka tidak memantau apa saja yang dipelajarinya.

Semangat tinggi dan minim keteladanan lingkungan terdekatnya membuatnya lebih percaya pada guru agama yang baru dikenalnya. Dikiranya semua yang membawa agama pasti benar. Hingga mereka tidak sadar telah dimanfaatkan berlaku keras dan ekstrim pada sesama. Dari mulai gemar mengkafirkan sesama hingga perilaku terorisme yang mengatasnamakan agama.

Karena itu, peran bimbingan dan teladan orang tua sangatlah penting bagi tumbuh kembang remaja. Para orang tua janganlah menilai anak selalu dari sisi negatifnya. Setiap anak memiliki keunikan tersendiri yang kelak menjadi nilai lebih mereka. Sehingga mereka tidak perlu mencari eksistensi diri di luar keluarga. Karena pengakuan kedua orang tua atas anaknya adalah jauh lebih menyenangkan ketimbang mencari pengakuan di luar.

Berkaca pada Pengalaman Pribadi

Masa remaja saya pun penuh dengan kegalauan. Saya tidak dekat dengan orang tua. Setiap mengajak bicara mereka selalu diminta diam, apapun yang saya katakan. Komunikasi orang tua dan anak dilakukan hanya jika orang tua ingin menasihati anaknya. Di masa itu, saya sering ketakutan kalau dipanggil bicara oleh Bapak.

Bapak tidak segan menampar dan menendang saya hanya karena saya istirahat satu hari penuh setelah lelah menempuh Ujian Tengah Semester (UTS) ketika berkuliah. Dalam kondisi Bapak yang tengah emosi pada orang lain dan tidak bisa mengungkapkannya, saya lah yang menjadi sasaran.

Saya di posisi yang lemah dan tidak berani. Saat itu saya selalu merasa tidak berguna karena tidak pernah benar di hadapan Bapak. Sebutan “anak durhaka”-pun sering keluar dari lidahnya. Ditambah lagi, dogma agama yang begitu kuat membuat kakak saya di rumah mengamini ucapan Bapak saya.

Apa yang Bapak marahi ke saya, saya yakini di luar sana pun banyak yang tidak suka dengan saya. Saya menjadi orang yang pemurung dan takut salah. Dalam bergaul, ucapan saya pun selalu tajam. Ini akibat pengaruh ucapan Bapak yang suka melebih-lebihkan kesalahan saya dengan kata-kata yang sangat tajam. Saya sudah mengatur sehalus mungkin kata-kata saya, namun apa daya masih banyak yang menyebut saya sebagai orang yang sinis.

Syukur Alhamdulillah, Allah Swt menganugerahi saya kemampuan untuk berfikir mendalam. Saya tidak mudah percaya omongan orang. Saya lebih percaya kata hati nurani saya. Kalau hati nurani saya tidak membenarkan tindakan Bapak. Saya tidak percaya dengan cap “anak durhaka” dari orangtua sementara mereka tidak memberikan keteladanan.

Mungkin kalau saja saya percaya omongan itu, saya akan merasa menjadi orang yang paling tidak berguna. Lalu kemudian mencari jalan pintas dengan bunuh diri untuk menghentikan berbagai masalah hidup saya. Saya juga pernah berkeinginan bunuh diri untuk mengakhiri permasalahan hidup.

Tapi, seburuk apapun perilaku orang tua saya ketika itu, mereka telah memberikan bekal ilmu agama sejak saya kecil. Sangat terpatri dalam diri saya bahwa bunuh diri itu dosa. Jika saya bunuh diri, masalah saya bukannya selesai malah bertambah karena besarnya dosa bunuh diri dan tidak diterima-Nya arwah saya di alam barzakh. Itu jauh lebih menyiksa ketimbang berbagai masalah hidup saya. Belum lagi bayangan akan siksa neraka. Jika menyentuh api saja saya masih takut, apalagi siksa neraka yang apinya meliputi tubuh dan panasnya ribuan kali lipat api dunia.

[1] HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

[2] "Aqil" yang berarti berakal, maksudnya sudah bisa membedakan mana yang baik dan buruk serta "Baligh" yang berarti sampai, yaitu telah sampai pada umur dimana beban dan tanggung jawab syariat telah dibebankan kepadanya, oleh karena itu catatan amalan perbuatannya mulai dicatat oleh malaikat.

[3] Darah yang berasal dari urat yang pecah/putus dan keluarnya bukan pada masa haid atau nifas (kebanyakan), tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas.

[4] Tanda akil baligh bagi laki-laki

[5] Salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.

[6] An-Nisa : 59

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun