Mohon tunggu...
Salwa Nurhandini Suwandi
Salwa Nurhandini Suwandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi banyak acara

Mahasiswi di salah satu Universitas di Surakarta, Hobi tidur tapi suka nyambi jadi penulis lepas. Kalau katanya sih (calon) penyiar radio

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Melirik Eksistensi Radio di Era Disrupsi

13 Desember 2021   20:41 Diperbarui: 14 Desember 2021   03:02 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana siaran di radio kampus (Dok. Dista FM)

Seperti yang kita ketahui, era disrupsi adalah era dimana segala sesuatu tatanan dan kebiasaan berubah. Seperti yang dikutip dari divedigital.id bahwa era disrupsi sendiri adalah sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. 

Akibatnya para pelaku kehidupan yang masih menggunakan cara serta sistem lama nantinya akan kalah bersaing dengan mereka yang berhasil menyambangi cara-cara baru tersebut.

Di era disrupsi ini, tentunya banyak sekali penyesuaian-penyesuaian tekhnologi serta perangkat kehidupan yang tentunya semakin berkembang pesat. Mulai dari komunikasi, transportasi, hingga transaksi sehari-hari.

Disamping itu semua, peran gadget pun kini sudah bukan sekadar alat komunikasi. Namun juga sebagai alat untuk pencari informasi dan sarana hiburan. YouTube, TikTok, Spotify, dan lain sebagainya adalah beberapa dari contoh sarana hiburan berbasis sosial media yang ramai digunakan. 

Tetapi, ingatkah pada era dimana sosial media dan internet belum marak digunakan, radio menjadi salah satu sumber informasi dan sarana hiburan yang disebut-sebut paling canggih oleh masyarakat masa itu, dan bahkan radio pun adalah sarana informasi dan hiburan paling eksis sebelum akhirnya saluran televisi menjadi sarana hiburan dan informasi yang paling digilai oleh masyarakat.

Dilansir dari lokadata.id bahwa ketika Music Television atau MTV pertama kali tayang di jejaring televisi kabel Amerika Serikat pada 1 Agustus 1981, menayangkan sebuah video musik dari kelompok The Buggles berjudul "Video Killed the Radio Star". Momen itu diklaim sebagai awal dari senja kala radio karena kehadiran video (baca: televisi).

Radio di era disrupsi ini perlahan mulai kehilangan eksistensinya. Remaja pada saat ini mungkin hanya sepersekian persen yang masih menikmati radio sebagai sarana hiburan sekaligus informasi. Namun ternyata, diluaran sana masih banyak stasiun radio yang jatuh bangun mempertahankan eksistensinya agar tetap eksis menyambangi perkembangan zaman.

Sebuah prinsip dari salah satu tokoh manajemen, Peter Drucker yaitu "berinovasi atau mati" tampaknya kini menjadi salah satu prinsip stasiun-stasiun radio pada saat ini.

Contoh saja RRI atau Radio Republik Indonesia yang masih bisa bertahan dan eksis hingga saat ini. Salah satu strateginya adalah dengan membuat program-program khusus bagi kawula muda, yang di siarkan dari RRI Programa dua. Sebagai penyataan singkat, dari kemungkinan pertanyaan yang dipikirkan adalah pembagian programa RRI ini dikarenakan oleh sasaran pendengar yang berbeda dan juga dengan program siar yang berbeda-beda.

Sebut saja Raissa, salah satu mahasiswi perguruan tinggi di Jakarta mengatakan bahwa dirinya lebih sering mendengarkan podcast yang ada di berbagai platform internet atau musik yang dapat diakses olehnya dari aplikasi spotify atau lain sebagainya, bahkan dirinya mengaku bahwa dirinya jarang, mungkin hampir tidak pernah mendengarkan siaran radio. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun