Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Runtuhnya Kepercayaan Rakyat telah Meruntuhkan Moral, Siapa Biangnya?

7 September 2025   05:04 Diperbarui: 7 September 2025   05:04 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RUNTUHNYA KEPERCAYAAN RAKYAT TELAH MERUNTUHKAN MORAL, SIAPA BIANGNYA?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: umsu.ac.id
Input gambar: umsu.ac.id
Melihat kondisi bangsa yang porak-poranda akibat aksi anarkis para pendemo beberapa hari terakhir sungguh menggugah rasa dan memaksa kita bertanya sebagai anak bangsa: ke mana arah negeri ini akan dibawa? Jalan-jalan kota penuh puing bangunan, asap hitam mengepul di udara, dan sorot mata rakyat yang diliputi ketakutan menjadi potret buram yang tak bisa diabaikan.

Ini bukan sekadar gejolak sesaat, melainkan tanda alarm keras bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuh bangsa kita, menjadi gambaran situasi yang amat mengkhawatirkan. Di balik teriakan tuntutan keadilan, berbagai aksi pembakaran, pengrusakan, dan penjarahan justru menodai semangat demokrasi yang semestinya menjadi wadah menyuarakan aspirasi.

Ketika protes kehilangan kendali, suara rakyat yang murni berubah menjadi bara amarah yang membakar segala yang dilaluinya berdampak pada gedung pemerintahan, fasilitas umum, bahkan rumah warga yang tak tahu menahu. Ironisnya, di tengah kekacauan ini, kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan institusi kian terkikis, dan bersama runtuhnya kepercayaan itu, runtuh pula moral yang menjadi fondasi bangsa.

Input gambar: devianstart.com
Input gambar: devianstart.com
Akar masalah dari runtuhnya kepercayaan rakyat terletak pada krisis integritas yang menjalar menjadi krisis moral nasional. Korupsi yang merajalela, janji politik yang tak pernah ditepati, serta ketidakadilan hukum yang dirasakan rakyat telah menorehkan luka mendalam. Ketika elite politik tak lagi memberi teladan, kepercayaan publik pun runtuh. Lebih menyedihkan lagi, krisis integritas ini perlahan merembes ke lapisan masyarakat: rakyat melihat pemimpinnya bebas melanggar aturan, sehingga norma sosial ikut tergeser.

Peristiwa nyata yang masih segar dalam ingatan adalah aksi sejumlah anggota DPR RI yang berjoget ria merayakan kenaikan penghasilan mereka, seolah tak peduli dengan derita rakyat yang bergelut melawan harga kebutuhan pokok yang melambung. Ditambah lagi, narasi-narasi yang tidak beretika di ruang publik mulai dari pernyataan sinis hingga ujaran meremehkan aspirasi rakyat semakin mengikis wibawa lembaga negara.

Saat pemegang amanah justru mempertontonkan sikap tak patut, rakyat bukan hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga kehilangan pegangan moral untuk menilai mana yang pantas dan tidak pantas. Krisis integritas ini menjelma menjadi krisis moral kolektif, di mana kejujuran tak lagi menjadi kebanggaan, melainkan dianggap kelemahan yang bisa dimanfaatkan.

Dampak runtuhnya kepercayaan terhadap kehidupan sosial terasa begitu nyata. Rakyat yang dulu berharap pada pemimpin kini berubah menjadi sinis, melihat setiap kebijakan dengan kecurigaan, bahkan menganggap semua langkah pemerintah hanya sarat kepentingan pribadi. Sebagian masyarakat menjadi apatis, memilih diam dan tidak peduli lagi terhadap urusan negara karena merasa suaranya tak pernah didengar. Sementara itu, kelompok lain meluapkan kekecewaannya dengan sikap agresif, mudah terprovokasi, dan tak segan melakukan aksi destruktif.

Input gambar: photospeak.net
Input gambar: photospeak.net
Efek domino pun terjadi: ketidakpercayaan pada pemerintah merembet menjadi hilangnya kepercayaan antarwarga dan berujung melakukan tindakan anarkis. Runtuhnya moral di sini bukan sekadar turunnya etika dalam berbicara atau bertindak, tetapi ancaman serius terhadap ketahanan bangsa. Ketika nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan empati lenyap dari ruang publik, masyarakat kehilangan perekat sosialnya dan tanpa perekat itu, negara menjadi rapuh, mudah terbelah oleh konflik internal maupun kepentingan luar.

Dapat dinilai bahwa demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini telah bergeser jauh dari esensi awalnya sebagai sarana menyampaikan aspirasi rakyat. Semangat aksi yang seharusnya damai dan tertib kini kerap diwarnai pembakaran, penjarahan, dan kekerasan, sehingga mengaburkan pesan moral yang ingin disuarakan. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi, tetapi harus dilakukan dengan mematuhi aturan dan menghormati kepentingan umum. Jika demonstrasi berubah menjadi ajang anarki, bukan hanya tuntutan rakyat yang terabaikan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap gerakan sipil ikut runtuh.

In put gambar: kabar24.bisnis.com
In put gambar: kabar24.bisnis.com
Lalu, siapa yang menjadi biang keroknya? Pertanyaan tentang siapa biang kerok runtuhnya kepercayaan rakyat dan merosotnya moral bangsa memang menggoda untuk dijawab dengan menunjuk satu pihak: elite politik yang ingkar janji, pemerintah yang gagal menegakkan keadilan, atau kelompok tertentu yang memanfaatkan kekacauan. Namun, benarkah sesederhana itu? Menyalahkan satu pihak saja justru mengaburkan fakta bahwa degradasi moral ini juga lahir dari pembiaran bersama.

Masyarakat yang memilih diam ketika ketidakadilan terjadi, media yang lebih suka mengejar sensasi daripada membangun kesadaran publik, hingga dunia pendidikan yang gagal menanamkan karakter kuat sejak dini, semua turut menyumbang kerusakan. Krisis integritas yang bermula di atas telah menular ke bawah karena kita tidak cukup tegas melawan ketidakbenaran. Mencari kambing hitam hanya akan melahirkan kebencian baru tanpa menyelesaikan akar persoalan.

Yang dibutuhkan adalah tanggung jawab kolektif: elite yang berbenah, rakyat yang kritis sekaligus konstruktif, media yang beretika, dan pendidikan yang membentuk manusia berkarakter. Tanpa kesadaran bersama ini, upaya memperbaiki bangsa hanya akan menjadi lingkaran setan saling menyalahkan tanpa arah keluar.

Terkait kondisi ini, ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan agar krisis kepercayaan dan runtuhnya moral tidak semakin meluas. Pertama, pemimpin harus menjadikan integritas dan keteladanan sebagai modal utama, bukan sekadar pencitraan politik. Kedua, rakyat perlu bersikap kritis tanpa kehilangan sikap konstruktif, sehingga protes tetap bermartabat dan tidak berubah menjadi amukan yang merusak. Ketiga, media harus kembali ke fungsi mulianya: mengawal kebenaran, bukan memprovokasi kebencian. Keempat, pendidikan moral dan karakter perlu diperkuat sejak dini agar generasi mendatang tidak tumbuh dalam budaya permisif.

Semua ini menegaskan pesan utama: krisis kepercayaan dan runtuhnya moral adalah alarm keras bagi bangsa, sebuah peringatan bahwa fondasi negara sedang rapuh dan harus segera diperbaiki. Saatnya semua pihak bercermin dan berbenah, bukan sekadar menunjuk kesalahan orang lain. Kepercayaan tak bisa dibeli, hanya bisa dibangun dengan kejujuran dan keteladanan. Semoga dengan belajar dari peristiwa yang terjadi, kita mampu membangun kembali kepercayaan publik, memperkuat moral bangsa, dan menjadikan krisis ini batu loncatan untuk menciptakan Indonesia yang lebih bermartabat dan kokoh ke depannya.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun