RUNTUHNYA KEPERCAYAAN RAKYAT TELAH MERUNTUHKAN MORAL, SIAPA BIANGNYA?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Ini bukan sekadar gejolak sesaat, melainkan tanda alarm keras bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuh bangsa kita, menjadi gambaran situasi yang amat mengkhawatirkan. Di balik teriakan tuntutan keadilan, berbagai aksi pembakaran, pengrusakan, dan penjarahan justru menodai semangat demokrasi yang semestinya menjadi wadah menyuarakan aspirasi.
Ketika protes kehilangan kendali, suara rakyat yang murni berubah menjadi bara amarah yang membakar segala yang dilaluinya berdampak pada gedung pemerintahan, fasilitas umum, bahkan rumah warga yang tak tahu menahu. Ironisnya, di tengah kekacauan ini, kepercayaan rakyat terhadap pemimpin dan institusi kian terkikis, dan bersama runtuhnya kepercayaan itu, runtuh pula moral yang menjadi fondasi bangsa.
Peristiwa nyata yang masih segar dalam ingatan adalah aksi sejumlah anggota DPR RI yang berjoget ria merayakan kenaikan penghasilan mereka, seolah tak peduli dengan derita rakyat yang bergelut melawan harga kebutuhan pokok yang melambung. Ditambah lagi, narasi-narasi yang tidak beretika di ruang publik mulai dari pernyataan sinis hingga ujaran meremehkan aspirasi rakyat semakin mengikis wibawa lembaga negara.
Saat pemegang amanah justru mempertontonkan sikap tak patut, rakyat bukan hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga kehilangan pegangan moral untuk menilai mana yang pantas dan tidak pantas. Krisis integritas ini menjelma menjadi krisis moral kolektif, di mana kejujuran tak lagi menjadi kebanggaan, melainkan dianggap kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
Dampak runtuhnya kepercayaan terhadap kehidupan sosial terasa begitu nyata. Rakyat yang dulu berharap pada pemimpin kini berubah menjadi sinis, melihat setiap kebijakan dengan kecurigaan, bahkan menganggap semua langkah pemerintah hanya sarat kepentingan pribadi. Sebagian masyarakat menjadi apatis, memilih diam dan tidak peduli lagi terhadap urusan negara karena merasa suaranya tak pernah didengar. Sementara itu, kelompok lain meluapkan kekecewaannya dengan sikap agresif, mudah terprovokasi, dan tak segan melakukan aksi destruktif.
Dapat dinilai bahwa demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini telah bergeser jauh dari esensi awalnya sebagai sarana menyampaikan aspirasi rakyat. Semangat aksi yang seharusnya damai dan tertib kini kerap diwarnai pembakaran, penjarahan, dan kekerasan, sehingga mengaburkan pesan moral yang ingin disuarakan. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat memang dijamin konstitusi, tetapi harus dilakukan dengan mematuhi aturan dan menghormati kepentingan umum. Jika demonstrasi berubah menjadi ajang anarki, bukan hanya tuntutan rakyat yang terabaikan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap gerakan sipil ikut runtuh.
Masyarakat yang memilih diam ketika ketidakadilan terjadi, media yang lebih suka mengejar sensasi daripada membangun kesadaran publik, hingga dunia pendidikan yang gagal menanamkan karakter kuat sejak dini, semua turut menyumbang kerusakan. Krisis integritas yang bermula di atas telah menular ke bawah karena kita tidak cukup tegas melawan ketidakbenaran. Mencari kambing hitam hanya akan melahirkan kebencian baru tanpa menyelesaikan akar persoalan.
Yang dibutuhkan adalah tanggung jawab kolektif: elite yang berbenah, rakyat yang kritis sekaligus konstruktif, media yang beretika, dan pendidikan yang membentuk manusia berkarakter. Tanpa kesadaran bersama ini, upaya memperbaiki bangsa hanya akan menjadi lingkaran setan saling menyalahkan tanpa arah keluar.
Terkait kondisi ini, ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan agar krisis kepercayaan dan runtuhnya moral tidak semakin meluas. Pertama, pemimpin harus menjadikan integritas dan keteladanan sebagai modal utama, bukan sekadar pencitraan politik. Kedua, rakyat perlu bersikap kritis tanpa kehilangan sikap konstruktif, sehingga protes tetap bermartabat dan tidak berubah menjadi amukan yang merusak. Ketiga, media harus kembali ke fungsi mulianya: mengawal kebenaran, bukan memprovokasi kebencian. Keempat, pendidikan moral dan karakter perlu diperkuat sejak dini agar generasi mendatang tidak tumbuh dalam budaya permisif.
Semua ini menegaskan pesan utama: krisis kepercayaan dan runtuhnya moral adalah alarm keras bagi bangsa, sebuah peringatan bahwa fondasi negara sedang rapuh dan harus segera diperbaiki. Saatnya semua pihak bercermin dan berbenah, bukan sekadar menunjuk kesalahan orang lain. Kepercayaan tak bisa dibeli, hanya bisa dibangun dengan kejujuran dan keteladanan. Semoga dengan belajar dari peristiwa yang terjadi, kita mampu membangun kembali kepercayaan publik, memperkuat moral bangsa, dan menjadikan krisis ini batu loncatan untuk menciptakan Indonesia yang lebih bermartabat dan kokoh ke depannya.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI