KETIKA SEKOLAH NEGERI RASA SWASTA: "JATAH REMAN" DANA KOMITE
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Dengan gaya tutur kritis namun lugas, Isidorus menyingkap praktik-praktik yang menyerempet batas etika dan hukum dalam pengelolaan pendidikan negeri yang seharusnya gratis. Tayangan ini bukan sekadar dokumentasi keluhan, tapi menjadi cermin besar bagi publik untuk meninjau kembali wajah asli pendidikan kita hari ini, wajah yang kabur antara pelayanan dan pemungutan.
Padahal, sejak awal, sekolah negeri dibangun di atas semangat pemerataan akses pendidikan bagi semua anak bangsa, tanpa kecuali. Label "negeri" diartikan sebagai jaminan dari negara, bahwa pembiayaan utama disokong oleh APBN dan APBD, sehingga peserta didik terbebas dari beban biaya. Namun, realitasnya tidak selalu berjalan sesuai harapan. Di balik tembok sekolah negeri, terdapat dinamika yang membuat sebagian sekolah terasa seperti institusi swasta terselubung dengan sederet tagihan, pungutan, dan kewajiban pembayaran yang kadang lebih memberatkan ketimbang sekolah swasta itu sendiri.
Dana komite yang sejatinya merupakan ruang partisipasi masyarakat dalam mendukung mutu pendidikan, perlahan berubah menjadi senjata administratif yang memaksa. Di sinilah letak ilusi besar itu: sekolah negeri memang gratis di atas kertas, tapi di lapangan, orang tua murid harus merogoh kocek lebih dalam demi tetap bisa "menikmati" fasilitas pendidikan publik yang semestinya dijamin negara.
Bentuk penggalangan dana yang diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 disebutkan, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan atau sumbangan, bukan pungutan, demikian bunyi Pasal 10 ayat (2) Permendikbud ini.
Hasil penggalangan dana tersebut dapat digunakan antara lain: Menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan; Pembiayaan program atau kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan; Pengembangan sarana dan prasarana; serta Pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, Â penggunanaan hasil penggalangan dana oleh sekolah harus mendapat persetujuan dari Komite Sekolah, dipertanggungjawabkan secara transparan, serta diilaporkan kepada Komite Sekolah.
Fenomena ini memperlihatkan praktik penyimpangan yang mereduksi esensi dana komite sebagai bentuk gotong royong orangtua atau masyarakat untuk memajukan mutu pendidikan. Dalam perspektif Isidorus, alokasi seperti ini bukan hanya mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga membangun budaya permisif terhadap penyalahgunaan wewenang dalam lingkungan pendidikan. Dana komite, yang seharusnya menjadi alat bantu pengembangan sekolah, justru menjadi celah untuk kepentingan personal dan kelompok tertentu.
Fenomena "jatah reman" dari dana komite semakin memperkuat kesan bahwa beberapa sekolah negeri kini beroperasi dengan nuansa swasta, mengutip istilah yang muncul dari keresahan publik bahwa sekolah negeri rasa swasta. Dalam praktiknya, orang tua murid dibebani berbagai pungutan rutin yang sifatnya nyaris wajib, dengan dalih partisipasi komite. Padahal, dalam sistem sekolah swasta, pungutan jelas, terstruktur, dan memiliki perjanjian formal sedangkan di sekolah negeri, pungutan ini seringkali samar dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.