Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sekolah Negeri Rasa Swasta: "Jatah Reman" Dana Komite

26 Juli 2025   04:32 Diperbarui: 26 Juli 2025   04:32 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: wideazona.com

KETIKA SEKOLAH NEGERI RASA SWASTA: "JATAH REMAN" DANA KOMITE

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: bangka.tribunnews.com
Input gambar: bangka.tribunnews.com
Sebuah video berdurasi sekitar enam menit lebih di kanal YouTube Isidorus Lilijawa Channel (https://youtu.be/5-2eqrNwwho) berjudul "Jatah Reman" Dana Komite, menyuguhkan ulasan tajam dan bernas tentang praktik pemanfaatan dana komite pada salah satu SMK Negeri ternama di Kota Kupang. Dalam tayangan tersebut, Isidorus Lilijawa, jurnalis senior yang dikenal vokal terhadap isu pendidikan dan keadilan sosial, membeberkan bagaimana dana komite yang seharusnya bersifat sukarela dan partisipatif, justru berubah menjadi pungutan wajib yang dibungkus dalam bahasa formalitas.

Dengan gaya tutur kritis namun lugas, Isidorus menyingkap praktik-praktik yang menyerempet batas etika dan hukum dalam pengelolaan pendidikan negeri yang seharusnya gratis. Tayangan ini bukan sekadar dokumentasi keluhan, tapi menjadi cermin besar bagi publik untuk meninjau kembali wajah asli pendidikan kita hari ini, wajah yang kabur antara pelayanan dan pemungutan.

Padahal, sejak awal, sekolah negeri dibangun di atas semangat pemerataan akses pendidikan bagi semua anak bangsa, tanpa kecuali. Label "negeri" diartikan sebagai jaminan dari negara, bahwa pembiayaan utama disokong oleh APBN dan APBD, sehingga peserta didik terbebas dari beban biaya. Namun, realitasnya tidak selalu berjalan sesuai harapan. Di balik tembok sekolah negeri, terdapat dinamika yang membuat sebagian sekolah terasa seperti institusi swasta terselubung dengan sederet tagihan, pungutan, dan kewajiban pembayaran yang kadang lebih memberatkan ketimbang sekolah swasta itu sendiri.

Dana komite yang sejatinya merupakan ruang partisipasi masyarakat dalam mendukung mutu pendidikan, perlahan berubah menjadi senjata administratif yang memaksa. Di sinilah letak ilusi besar itu: sekolah negeri memang gratis di atas kertas, tapi di lapangan, orang tua murid harus merogoh kocek lebih dalam demi tetap bisa "menikmati" fasilitas pendidikan publik yang semestinya dijamin negara.

Bentuk penggalangan dana yang diatur dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 disebutkan, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan atau sumbangan, bukan pungutan, demikian bunyi Pasal 10 ayat (2) Permendikbud ini.

Hasil penggalangan dana tersebut dapat digunakan antara lain: Menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan; Pembiayaan program atau kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan; Pengembangan sarana dan prasarana; serta Pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu,  penggunanaan hasil penggalangan dana oleh sekolah harus mendapat persetujuan dari Komite Sekolah, dipertanggungjawabkan secara transparan, serta diilaporkan kepada Komite Sekolah.

Input gambar: kompasiana.com
Input gambar: kompasiana.com
Dalam ulasannya, Isidorus Lilijawa secara terbuka menyoroti bahwa salah satu isu utama yang viral di SMK Negeri tersebut adalah adanya alokasi bulanan dari dana komite yang disebut sebagai "jatah reman" bagi kepala sekolah dan para wakil kepala sekolah. Dana yang sejatinya dihimpun untuk mendukung kegiatan pendidikan justru dialirkan secara rutin kepada pejabat sekolah dalam bentuk pembagian "jatah," yang tak memiliki dasar transparansi maupun legalitas yang jelas.

Fenomena ini memperlihatkan praktik penyimpangan yang mereduksi esensi dana komite sebagai bentuk gotong royong orangtua atau masyarakat untuk memajukan mutu pendidikan. Dalam perspektif Isidorus, alokasi seperti ini bukan hanya mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga membangun budaya permisif terhadap penyalahgunaan wewenang dalam lingkungan pendidikan. Dana komite, yang seharusnya menjadi alat bantu pengembangan sekolah, justru menjadi celah untuk kepentingan personal dan kelompok tertentu.

Fenomena "jatah reman" dari dana komite semakin memperkuat kesan bahwa beberapa sekolah negeri kini beroperasi dengan nuansa swasta, mengutip istilah yang muncul dari keresahan publik bahwa sekolah negeri rasa swasta. Dalam praktiknya, orang tua murid dibebani berbagai pungutan rutin yang sifatnya nyaris wajib, dengan dalih partisipasi komite. Padahal, dalam sistem sekolah swasta, pungutan jelas, terstruktur, dan memiliki perjanjian formal sedangkan di sekolah negeri, pungutan ini seringkali samar dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun