Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sebuah Refleksi Literasi: Masih Pentingkah Buku dalam Hidup Kita?

24 April 2025   05:15 Diperbarui: 24 April 2025   05:15 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: id.pngtree.com

SEBUAH RENUNGAN LITERASI: MASIH PENTINGKAH BUKU DALAM HIDUP KITA?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang serba cepat, kita seolah semakin jarang berhenti sejenak untuk membuka halaman demi halaman sebuah buku. Hari Buku Sedunia (World Book Day) yang diperingati setiap 23 April seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar seremoni. Pertanyaannya: masihkah buku memiliki tempat istimewa dalam hidup kita?

Di era di mana informasi hadir dalam bentuk potongan video singkat, cuplikan status, dan headline menggoda, buku mulai tersingkir dari pusat perhatian. Namun, apakah itu berarti buku telah kehilangan relevansi? Ataukah justru di tengah kelelahan akibat banjir informasi instan, buku menjadi oasis yang menenangkan dan memperdalam pemahaman kita terhadap dunia dan diri sendiri?

Sejak ditemukannya tulisan, buku telah menjadi kendaraan utama bagi manusia untuk mewariskan pengetahuan, nilai, dan peradaban. Dari bagian lembar-lembar telah menyimpan informasi dan menyatukan generasi dalam satu benang merah sejarah. Melalui buku, gagasan-gagasan besar seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan menyebar melampaui batas ruang dan waktu.

Input gambar: fajarpendidikan.co.id
Input gambar: fajarpendidikan.co.id
Buku adalah saksi bisu perjuangan, pencerahan, dan perubahan sosial. Ia bukan sekadar kumpulan huruf yang dicetak, tetapi sebuah warisan intelektual dan emosional yang membentuk arah pikir dan langkah manusia sejak zaman dahulu. Di tengah riuhnya teknologi modern, penting bagi kita untuk mengingat kembali peran agung buku sebagai fondasi berpikir yang mendalam dan merdeka.

Menghadapi realitas literasi di era digital saaat ini menghadirkan paradoks yang mencolok. Di satu sisi, akses terhadap bacaan semakin mudah berkat teknologi seeprti e-book, artikel daring, audiobook, hingga media sosial yang menyebarkan informasi dalam hitungan detik. Namun di sisi lain, kualitas dan kedalaman membaca justru mengalami penurunan. Minat baca masyarakat, khususnya di Indonesia, kerap kali lebih cenderung pada konsumsi konten singkat dan instan daripada bacaan panjang yang menuntut konsentrasi dan refleksi. Data literasi global menunjukkan bahwa kemampuan membaca tidak hanya soal mengenali kata, tetapi juga memahami makna, menafsirkan konteks, dan mengolah informasi secara kritis. Buku pun mulai kalah pamor dibandingkan dengan konten visual yang lebih cepat dicerna. Di banyak rumah, perpustakaan kecil digantikan oleh layar. Di sekolah-sekolah, buku bacaan kalah menarik dibanding gawai. Ini bukan sekadar persoalan selera, tetapi juga soal pembiasaan yang perlahan memudarkan budaya baca yang mendalam. Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar "apakah orang masih membaca?", melainkan "apa yang dibaca dan bagaimana cara membacanya?" Sebab, dalam dunia yang banjir informasi, kemampuan memilah dan memahami menjadi lebih penting daripada sekadar mengejar kuantitas bacaan.

Oleh karena itu, di tengah derasnya arus digital dan serbuan informasi instan, perlu menggali ulang makna buku menjadi sebuah keharusan. Buku bukan sekadar kumpulan halaman dengan huruf-huruf tercetak, melainkan ruang kontemplatif tempat pikiran dan perasaan manusia berjumpa dalam keheningan. Tidak seperti media sosial atau berita cepat yang sering kali mendorong kita untuk bereaksi spontan, buku mengajak kita untuk berhenti, merenung, dan menyelami.

Input gambar: theinspirasi.com
Input gambar: theinspirasi.com
Buku tidak memaksa kita menelan informasi, tapi mengundang kita berdialog, bahkan berbeda pendapat. Buku melatih kesabaran dalam memahami, membiasakan keterbukaan terhadap sudut pandang lain, serta menumbuhkan empati dari kisah yang jauh atau tokoh yang tidak kita kenal. Di sanalah kekuatan buku dapat membentuk karakter, memperkaya imajinasi, dan memperdalam cara kita memandang dunia.

Dalam keheningan membaca, seseorang bisa menjelajahi ribuan kehidupan, melintasi abad-abad sejarah, dan menemukan dirinya sendiri. Maka ketika kita bertanya apakah buku masih penting, mungkin yang sebenarnya kita pertanyakan adalah: masihkah kita memberi ruang bagi diri untuk berpikir, merasa, dan tumbuh secara utuh?

Kini, ketika dunia berlomba-lomba menjadi lebih cepat, lebih ringkas, dan lebih sibuk, kita perlu bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih memberi ruang untuk membaca buku? Tidak sekadar jadikan membaca sebagai aktivitas, tapi sebagai bentuk perenungan dan pengasahan jiwa. Buku mengajarkan kita untuk tidak hanya tahu, tetapi mengerti; tidak sekadar melihat, tetapi memahami.  Jika buku ditinggalkan, bukan hanya budaya literasi yang terkikis, tetapi juga kepekaan, kebijaksanaan, dan kedalaman cara kita memandang hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun