Mohon tunggu...
Salma Salsabil
Salma Salsabil Mohon Tunggu... Guru dan Penulis

Nama saya Salma Salsabil. Nama panggilan saya adalah Salma. Saya lahir dan berdomisili di Kota Samarinda. Saya adalah alumni PMDG Ponorogo tahun 2022. Saya mengajar pelajaran bahasa Arab dan ilmu pengetahuan agama di pondok tempat saya mengabdi. Saya akan berkontribusi baik selama bergabung dengan Kompasiana. Saya mohon bantuan dan bimbingan kepada teman-teman semua. Terima kasih banyak🙏🏻😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjuanganku Ke Negeri Kinanah

17 April 2025   03:10 Diperbarui: 17 April 2025   03:49 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 1: Samarinda — Akar dari Semua Mimpi

Samarinda, di ujung Kalimantan, adalah tempat Salwa memulai segala perjuangannya. Di sebuah rumah kayu sederhana yang terletak di pinggir kota, Salwa menghabiskan masa kecilnya dengan berjuang dalam diam. Kehidupan keluarganya tak lagi sesederhana dulu; usaha ayahnya bangkrut, dan mereka hidup dalam keterbatasan. Namun di tengah segala kesulitan, Salwa selalu mempunyai mimpi besar: menggapai ilmu dan membawa kebanggaan untuk keluarganya. 

Hari itu, sebuah surat dari Pondok Modern Darussalam tiba di tangan Salwa. Ia diterima di sana. Itu adalah pintu menuju mimpinya, pintu menuju dunia yang lebih luas. 

"Ibu, aku bisa!" Salwa menangis saat menerima surat itu. Ibu hanya menatapnya, tersenyum, meski matanya juga berkaca-kaca. Ayah yang selalu tegas, hanya mengangguk. Mereka tahu, ini adalah langkah besar untuk Salwa.

Hari keberangkatan tiba. Di pelabuhan, Salwa berdiri dengan koper hijau kecil di tangan dan sebuah tas ransel ungu di pundak kokohnya, menatap Samarinda yang perlahan menghilang dari pandangannya. Ibu memeluknya erat. 

"Jangan pulang jika bukan karena kemenangan, nak." Bisik ibu. "Kamu anak ibu, kamu harus kuat."

Salwa mengangguk, lalu berjalan menuju kapal. Di dalam hati, ia berjanji untuk tidak menyerah. Ini baru permulaan. Ia tahu, hidupnya akan berubah selamanya. 

Bab 2: Pondok Modern Darussalam — Di Balik Gerbang Disiplin, Ada Kampung Damai nan Penuh Keikhlasan

Pondok Modern Darussalam menyambut Salwa dengan suasana yang jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Disiplin yang ketat, aturan yang harus diikuti, dan kebersihan yang tak boleh diabaikan. Pondok Modern Darussalam adalah dunia baru bagi Salwa yang datang dari sebuah kampung kecil. 

Hari pertama di Darussalam, Salwa merasa seperti ikan yang terlempar dari kolam kecilnya. Semua teman-teman tampak lebih siap, lebih berani. Mereka berbicara dalam bahasa Arab, mengenakan jilbab dengan rapi, dan sudah terlihat menguasai disiplin ilmu agama. Sementara Salwa masih bingung dengan bahasa Arab yang dipelajari secara teori di Samarinda. 

Namun, Salwa tidak menyerah. Ia memutuskan untuk belajar lebih giat. Setiap malam ia mengulang hafalan Al-Qur'an, menulis catatan, dan bertanya kepada ustadzahnya. Meski terkadang ia merasa lelah dan rindu rumah, Salwa tahu ia tidak bisa mundur. 

Enam tahun berlalu begitu cepat. Di Darussalam, Salwa tidak hanya belajar ilmu agama, tetapi juga belajar kepemimpinan. Ia menjadi anggota bagian aktif di Organisasi Pelajar Pondok Modern, kepanitiaan santri, membimbing teman-teman seangkatannya, dan meraih prestasi di berbagai bidang. Ia belajar bahwa perjuangan bukan hanya tentang mencapai tujuan, tapi juga tentang proses yang membentuk diri. 

Ketika akhirnya ia diwisuda, Salwa merasa bangga—bukan hanya karena nilai ujian akhir yang ia raih, tetapi karena dirinya yang kini lebih matang dan siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. 

Bab 3: Pekanbaru — Pengabdian yang Membentuk Hati

Setelah lulus dari Pondok Modern Darussalam, Salwa menerima tugas untuk mengabdi di Pondok Modern Darussalam Putri Kampus 17 di Pekanbaru. Awalnya, ia merasa sedikit kecewa. Ia berharap bisa langsung melanjutkan studi di luar negeri, tapi tugas pengabdian ini adalah kesempatan yang tidak bisa ia tolak. 

Pekanbaru memberikan tantangan baru. Di sana, Salwa tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi penggerak kegiatan belajar mengajar bagi seluruh santriwati. Ia harus mengontrol dan membimbing mereka dalam belajar, memberi contoh dalam perilaku, dan memastikan mereka bisa menjadi pribadi yang berbudi tinggi, berbadan sehat, serta berpengetahuan dan berwawasan luas. Di sinilah Salwa mulai menyadari, bahwa pengabdian bukan hanya tentang memberi, tetapi juga menerima. Ia banyak belajar dari para santriwati yang penuh semangat dan ketekunan. 

Namun hidup di Pekanbaru tidak selalu mudah, Salwa terkadang merasa kesepian dan terasingkan, jauh dari keluarga dan teman-teman. Suatu malam, setelah menyelesaikan koreksian ulangan umum santriwati, Salwa duduk di depan kamarnya. Ia menatap bintang-bintang di langit dan merenung. 

"Aku akan bertahan di sini." Bisiknya dalam hati. "Untuk keluarga, untuk ilmu, dan untuk masa depan."

Meski ada rasa lelah yang tak terungkapkan, Salwa merasa bahwa setiap langkah yang ia ambil di Pekanbaru membawa makna baru dalam kehidupannya. Tidak hanya pengabdian yang ia berikan, tetapi juga pemahaman tentang arti kehidupan yang lebih luas. 

Tiba-tiba, ia mendapat kabar yang mengejutkan: ia lolos seleksi untuk melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Salwa hampir tak percaya. Mimpi yang dulu hanya ia bayangkan kini akan menjadi kenyataan. 

Bab 4: Kediri — Saat Arah Berubah, Hati Harus Ikhlas

Rencana ke Kairo tertunda. Tugas baru datang: ia dipindahtugaskan ke kampus putri di Kediri, membantu pondok cabang yang sudah agak lama berdiri itu. Salwa kecewa. Tapi ia tahu, perjuangan bukan selalu tentang tempat yang kita inginkan—kadang tentang tempat yang membutuhkan kita. 

Di Kediri, ia memulai lagi dari nol. Membangun beberapa struktur pondok—baik dari segi manajemen, fasilitas, maupun pengajaran, melatih santriwati lama yang belum bisa berbahasa asing, dan menghadapi tantangan tanpa peta. Ia kembali ke titik awal: tidur di ruang seadanya, mengajar dan membimbing santriwati dari pagi hingga malam, serta meredam rindu yang datang tanpa aba-aba. 

Namun, dari tempat sederhana ini, ia belajar tentang arti keikhlasan. Ia tidak bisa selalu memilih jalan yang paling mudah. Terkadang, pengorbanan besar datang dari tempat yang tidak kita harapkan. Ikhlas adalah jalan menuju kelapangan hati.

Hari demi hari, ia merasa lebih kuat. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tapi justru di tengah ketidakpastian itu, kita belajar menemukan makna sejati dari perjuangan. 

Hingga akhirnya, izin dan rezeki itu datang kembali. 

Bab 5: Kairo — Di Negeri Kinanah, Aku Menyulam Harap

Mesir menyambutku dengan debu, bahasa tinggi, dan langkah kaki yang tak pernah berhenti. Setelah bertahun-tahun menyulam mimpi, akhirnya aku menginjakkan kaki di Negeri Kinanah—Negeri yang dulu hanya kutulis di belakang buku tulisku saat masih belajar di pondok. 

Aku berdiri di depan asrama tua Mahasiswi Al-Azhar dengan ransel berat dan hati yang berdebar. Kota ini tak pernah tidur. Mobil klakson tiada henti, orang-orang yang berlalu lalang dari segala negara, dan suara adzan  menggema dari menara-menara masjid yang menjulang di balik pasar. 

Hari-hari pertama adalah ujian sabar yang nyata. Bahasa Arab fushah yang kupelajari selama ini terasa asing di telinga saat digunakan oleh penjual roti jalanan. Aku pernah keliru naik angkutan dan dibentak karena tak paham arah. Pernah lapar karena salah beli makanan. Pernah tersesat pulang dan menangis diam-diam di balik pintu kamar sempit berisi dua ranjang bertingkat. 

Namun, malam-malam panjang itu justru menjadi ladang paling subur untuk merenung. Aku kembali menuliskan tujuanku: aku ke sini bukan hanya untuk belajar, tapi untuk membuktikan bahwa anak kampung dari Samarinda pun bisa menuntut ilmu di negeri para ulama. 

Di tengah kesulitan, aku temukan keberkahan. Aku ikuti halaqah tafsir di Masjid Al-Azhar, bertemu sahabat dari berbagai negara, dan mendalami ilmu syariah langsung dari sumbernya. Aku mengajar ngaji anak-anak Indonesia, menerjemahkan makalah untuk senior, dan membantu teman seangkatan memahami teks klasik. 

Pernah suatu sore aku duduk di belakang Masjid Sayyidah Zainab, memandangi matahari yang tenggelam di antara gang-gang sempit. Saat itu aku sadar, semua yang kulalui di Darussalam, di Pekanbaru, di Kediri, telah mengantarkanku ke titik ini. Bukan untuk sekedar meraih gelar, tapi untuk menjalani misi kehidupan yang lebih besar: menjadi pelita bagi yang lain. 

Kairo tak pernah menawarkan kenyamanan, tapi selalu memberi pelajaran. Di sini aku belajar bahwa kecerdasan tak cukup tanpa kesabaran, bahwa ilmu tak akan berbuah tanpa adab, dan bahwa pulang bukan sekadar kembali secara fisik—tapi kembali sebagai seseorang yang lebih matang. 

Dalam keheningan malam Kairo, kutulis di buku harianku:

"Langkah kecilku dari Samarinda telah membawaku sejauh ini. Meski banyak yang tak tahu, aku tahu—Allah selalu tahu jalan juang hamba-Nya."

Perjuanganku belum usai, tapi kini aku tahu bahwa setiap luka, lelah, dan linangan air mata, adalah bagian dari tangga menuju cita. 

Di Negeri Kinanah, aku bukan lagi sekadar anak bungsu dari keluarga sederhana. Aku adalah Salwa—seorang perempuan yang terus belajar menjadi cahaya, di mana pun takdir menempatkannya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun