Di Kediri, ia memulai lagi dari nol. Membangun beberapa struktur pondok—baik dari segi manajemen, fasilitas, maupun pengajaran, melatih santriwati lama yang belum bisa berbahasa asing, dan menghadapi tantangan tanpa peta. Ia kembali ke titik awal: tidur di ruang seadanya, mengajar dan membimbing santriwati dari pagi hingga malam, serta meredam rindu yang datang tanpa aba-aba.
Namun, dari tempat sederhana ini, ia belajar tentang arti keikhlasan. Ia tidak bisa selalu memilih jalan yang paling mudah. Terkadang, pengorbanan besar datang dari tempat yang tidak kita harapkan. Ikhlas adalah jalan menuju kelapangan hati.
Hari demi hari, ia merasa lebih kuat. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tapi justru di tengah ketidakpastian itu, kita belajar menemukan makna sejati dari perjuangan.
Hingga akhirnya, izin dan rezeki itu datang kembali.
Bab 5: Kairo — Di Negeri Kinanah, Aku Menyulam Harap
Mesir menyambutku dengan debu, bahasa tinggi, dan langkah kaki yang tak pernah berhenti. Setelah bertahun-tahun menyulam mimpi, akhirnya aku menginjakkan kaki di Negeri Kinanah—Negeri yang dulu hanya kutulis di belakang buku tulisku saat masih belajar di pondok.
Aku berdiri di depan asrama tua Mahasiswi Al-Azhar dengan ransel berat dan hati yang berdebar. Kota ini tak pernah tidur. Mobil klakson tiada henti, orang-orang yang berlalu lalang dari segala negara, dan suara adzan menggema dari menara-menara masjid yang menjulang di balik pasar.
Hari-hari pertama adalah ujian sabar yang nyata. Bahasa Arab fushah yang kupelajari selama ini terasa asing di telinga saat digunakan oleh penjual roti jalanan. Aku pernah keliru naik angkutan dan dibentak karena tak paham arah. Pernah lapar karena salah beli makanan. Pernah tersesat pulang dan menangis diam-diam di balik pintu kamar sempit berisi dua ranjang bertingkat.
Namun, malam-malam panjang itu justru menjadi ladang paling subur untuk merenung. Aku kembali menuliskan tujuanku: aku ke sini bukan hanya untuk belajar, tapi untuk membuktikan bahwa anak kampung dari Samarinda pun bisa menuntut ilmu di negeri para ulama.
Di tengah kesulitan, aku temukan keberkahan. Aku ikuti halaqah tafsir di Masjid Al-Azhar, bertemu sahabat dari berbagai negara, dan mendalami ilmu syariah langsung dari sumbernya. Aku mengajar ngaji anak-anak Indonesia, menerjemahkan makalah untuk senior, dan membantu teman seangkatan memahami teks klasik.
Pernah suatu sore aku duduk di belakang Masjid Sayyidah Zainab, memandangi matahari yang tenggelam di antara gang-gang sempit. Saat itu aku sadar, semua yang kulalui di Darussalam, di Pekanbaru, di Kediri, telah mengantarkanku ke titik ini. Bukan untuk sekedar meraih gelar, tapi untuk menjalani misi kehidupan yang lebih besar: menjadi pelita bagi yang lain.