Bab 1: Samarinda — Akar dari Semua Mimpi
Samarinda, di ujung Kalimantan, adalah tempat Salwa memulai segala perjuangannya. Di sebuah rumah kayu sederhana yang terletak di pinggir kota, Salwa menghabiskan masa kecilnya dengan berjuang dalam diam. Kehidupan keluarganya tak lagi sesederhana dulu; usaha ayahnya bangkrut, dan mereka hidup dalam keterbatasan. Namun di tengah segala kesulitan, Salwa selalu mempunyai mimpi besar: menggapai ilmu dan membawa kebanggaan untuk keluarganya.
Hari itu, sebuah surat dari Pondok Modern Darussalam tiba di tangan Salwa. Ia diterima di sana. Itu adalah pintu menuju mimpinya, pintu menuju dunia yang lebih luas.
"Ibu, aku bisa!" Salwa menangis saat menerima surat itu. Ibu hanya menatapnya, tersenyum, meski matanya juga berkaca-kaca. Ayah yang selalu tegas, hanya mengangguk. Mereka tahu, ini adalah langkah besar untuk Salwa.
Hari keberangkatan tiba. Di pelabuhan, Salwa berdiri dengan koper hijau kecil di tangan dan sebuah tas ransel ungu di pundak kokohnya, menatap Samarinda yang perlahan menghilang dari pandangannya. Ibu memeluknya erat.
"Jangan pulang jika bukan karena kemenangan, nak." Bisik ibu. "Kamu anak ibu, kamu harus kuat."
Salwa mengangguk, lalu berjalan menuju kapal. Di dalam hati, ia berjanji untuk tidak menyerah. Ini baru permulaan. Ia tahu, hidupnya akan berubah selamanya.
Bab 2: Pondok Modern Darussalam — Di Balik Gerbang Disiplin, Ada Kampung Damai nan Penuh Keikhlasan
Pondok Modern Darussalam menyambut Salwa dengan suasana yang jauh berbeda dari yang ia bayangkan. Disiplin yang ketat, aturan yang harus diikuti, dan kebersihan yang tak boleh diabaikan. Pondok Modern Darussalam adalah dunia baru bagi Salwa yang datang dari sebuah kampung kecil.
Hari pertama di Darussalam, Salwa merasa seperti ikan yang terlempar dari kolam kecilnya. Semua teman-teman tampak lebih siap, lebih berani. Mereka berbicara dalam bahasa Arab, mengenakan jilbab dengan rapi, dan sudah terlihat menguasai disiplin ilmu agama. Sementara Salwa masih bingung dengan bahasa Arab yang dipelajari secara teori di Samarinda.
Namun, Salwa tidak menyerah. Ia memutuskan untuk belajar lebih giat. Setiap malam ia mengulang hafalan Al-Qur'an, menulis catatan, dan bertanya kepada ustadzahnya. Meski terkadang ia merasa lelah dan rindu rumah, Salwa tahu ia tidak bisa mundur.