Mohon tunggu...
Salma Nurfaiza
Salma Nurfaiza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Prodi Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kalung Permata Merah

1 Desember 2022   21:20 Diperbarui: 1 Desember 2022   21:43 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam weker telah berbunyi sejak lima menit lalu. Kini disusul pula oleh ketukan pintu kamar yang membuat Zia terbangun dari tidurnya.

"Zia ayo bangun. Kamu tidak lupa kan? hari ini hari kelulusanmu di sekolah." Ucap Anne, Ibu Zia.

Tak lama, Zia keluar dari kamarnya. Hari ini gadis itu berdandan sangat cantik untuk acara wisuda di SMA.

Di ruang tamu ternyata Devan, sahabat Zia sejak kecil sudah menunggu untuk berangkat ke acara wisuda. Zia terlihat menuruni anak tangga dari kamarnya menuju ruang tamu. Ia bisa melihat wajah Devan yang tengah memandanginya bak takjub dengan kecantikan Zia. Bagaimana tidak, Zia nyaris sempurna dengan mengenakan kebaya berwarna merah muda, rambutnya terurai dengan cantik dihiasi bandana manik-manik diatas kepalanya.

"Hey!" Zia menyadarkan Devan yang tengah mematung.

"Eh Zia" Devan tersadar dan beranjak dari duduknya.

"Ayo kita berangkat sekarang, nanti keburu mulai acaranya." Zia mengajak Devan.

Sebelum mereka hendak melangkah, dengan nyaring terdengar suara seseorang memanggil Zia.

"Zia...tunggu sebentar. Sepertinya ini cocok untuk kau pakai, sangat serasi dengan kebaya mu." Ucap seorang nenek sembari menyodorkan sebuah kalung dengan permata berwarna merah yang sangat cantik.

"Ini kalung milik siapa nek? Cantik sekali." Ucap Zia sembari memandangi permata kalung tersebut.

"Itu kita bahas lain waktu saja. Sekarang cepat kamu berangkat, takut acaranya sudah mulai."

Zia mengangguk, kemudian mengenakan kalung tersebut sebelum akhirnya berangkat ke sekolah dengan Devan.

Acara kelulusan di sekolah berjalan dengan lancar. Zia diantar pulang oleh Devan. Sesampainya dirumah, Zia memandang lamat-lamat kalung permata merah pemberian neneknya. Kemudian Ia tersadar, bahwa tadi pagi nenek nya akan menceritakan siapa pemilik kalung itu. Zia pun bangkit dari duduknya dan segera mencari sang nenek.

Setiap penjuru rumah telah ia telusuri untuk mencari sang nenek. Namun, entah kemana perginya, Zia tak menemukan neneknya tersebut.

Zia hanya bisa kembali ke tempat tidurnya dan terus memandangi kalung pemberian neneknya tersebut, hingga tanpa sadar ia terlelap tidur sembari memegangi kalung itu sepanjang malam. Tepat pukul 12 malam, Zia terbangun dari tidurnya. Namun betapa terkejutnya ia, saat melihat sosok dirinya sendiri yang berada di kasur tengah tertidur, sedangkan jelas-jelas ia bisa merasakan bahwa ia sedang berdiri tegak.

"Apakah aku sudah mati? yaampun bagaimana ini? aku masih ingin hidup!" Zia terlihat sangat ketakutan.

Ia sangat bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia terus berjalan mundur hingga menabrak pintu kamarnya. Pintu itu terbuka, namun Zia merasa lebih aneh lagi. Kini rumahnya terlihat berbeda. Zia kemudian keluar dari kamarnya, menelusuri rumahnya yang seolah asing baginya. Rumahnya itu terlihat lebih kuno, mulai dari perabotan, pajangan di dinding, hingga cat nya pun jelas berbeda. 

Di sudut ruang tamu, Zia menemukan sebuah foto keluarga, namun bukan keluarganya yang ada di foto tersebut. Entah siapa, namun keluarga itu jelas bukan orang Indonesia, mereka terlihat seperti warga Belanda. Saat Zia berniat menyentuh foto tersebut, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin dekat dengannya. Zia pun terbirit-birit berlari kembali ke kamarnya.

Sesampainya ia di kamar, ia menutup pintu dan betapa terkejutnya ia saat melihat seorang gadis keturunan Belanda sedang mengelus-elus rambut Zia yang sedang tertidur.

"Hey, siapa kamu? Singkirkan tangan mu dari tubuhku itu." Ucap Zia.

Gadis Belanda itu tetap mengelus-elus rambut Zia yang sedang tertidur.

"Yaampun, apa aku benar sudah mati, dan suara ku tidak bisa terdengar oleh siapapun?" Zia mulai panik lagi.

"Tenang saja nona, kamu tidak mati, hanya saja rohmu ingin berjalan-jalan menemuiku." Gadis keturunan Belanda itu bersuara.

"Aaa.. apa maksudmu?!" Zia bertanya dengan terbata-bata.

"Nanti juga kau akan mengerti nona. Sini ulurkan tanganmu, tidur lah lagi kau harus pulang." Ucap gadis Belanda sembari mengulurkan tangannya.

"Aku tidak mengerti, apa maksudmu?" Zia masih bingung.

"Cepat nona." Gadis Belanda itu memaksa dan menarik tangan Zia.

Seperti menembus badan Zia yang tertidur, Roh Zia kini sudah berada tepat lagi di tubuhnya. Zia terbangun dengan napas tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi, tubuhnya bergetar dan dipenuhi keringat. Sekarang ia tak berani menutup matanya untuk tidur lagi. Sepanjang malam ia hanya memikirkan apa yang sudah ia alami tadi. Apakah itu mimpi? namun, itu terasa sangat nyata untuk ia sebut mimpi, dan terasa sangat tidak mungkin jika itu memang betul terjadi.

Keesokan paginya, tanpa berlama-lama Zia langsung menanyakan siapakah pemilik kalung tersebut pada neneknya karena ia sangat penasaran dan curiga bahwa kejadian semalam ada hubungannya dengan kalung tersebut.

"Dulu nenek temukan kalung ini di kamar kamu Zia. Setahun sebelum ibumu menikah, kakek membeli rumah ini. Dulu kamar mu itu sepertinya dijadikan gudang oleh pemilik sebelumnya karena banyak barang-barang rumah tak terpakai yang disimpan disana. Pemilik rumah sebelumnya berniat membuang barang-barang itu, namun nenek bilang biarlah nenek rawat barang yang masih bagus. 

Mereka pun mempersilahkan. Saat nenek memilah barang, nenek menemukan kalung itu didalam sebuah kotak. Sampai kemarin sebelum memberikannya padamu, nenek menyimpannya di kamar nenek. Sekarang itu untukmu, kamu sangat cocok mengenakannya Zia." Nenek menceritakan itu kepada Zia.

"Jadi, pemilik kalung ini adalah pemilik rumah ini sebelum kita nek?" Tanya Zia memastikan.

"Ya, mungkin saja begitu, memangnya kenapa?"

"Emmm, Jadi tadi malam..." Zia berniat menceritakan kejadian semalam, namun urung karena setelah mengetahui cerita tersebut, ia pikir mungkin ini tidak ada hubungannya dengan kejadian semalam.

"Tadi malam kenapa Zia?"

"Eh, tidak, tidak kenapa-napa. Aku ke kamar dulu ya nek."

Nenek Zia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan tingkah cucu satu-satunya itu. Zia lagi-lagi memandangi kalung dengan permata merah itu, hingga akhirnya karena semalam ia kurang tidur, ia mudah sekali terlelap tidur sembari memegangi kalungnya tersebut.

Seperti kejadian tadi malam, Ia Kembali terbangun dan melihat tubuhnya tengah tertidur. Jelas ini benar-benar terjadi, bukan mimpi atau kebetulan. Zia terlihat lebih tenang dan tidak sepanik kemarin malam. Ia berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia menuruni anak tangga dan menuju ruang tamu, Kembali mencermati foto keluarga yang semalam ia lihat disana. Sekarang jelas sudah ia benar-benar yakin keluarga ini adalah warga Belanda. 

Terlihat seperti keluarga Bahagia, dimana terdapat seorang ayah, ibu, satu anak perempuan sepantar dengan Zia, dan satu anak laki-laki sepertinya berusia 5 tahun. Tercatat dibawah foto bertulisan Vader, Moeder, Kathelijn, Dedrick.

Zia lama sekali berada di depan foto tersebut. Sampai pada akhirnya Ia tersadar bahwa gadis yang ada di foto tersebut adalah gadis Belanda yang semalam berada di kamarnya. Ia juga semakin terkejut saat menyadari bahwa gadis yang berada di foto tersebut mengenakan kalung yang sama dengan kalung pemberian neneknya.

"Jelas sekali, ini pasti ada hubungannya dengan kalung permata merah ini." Bisik Zia.

"Kamu sudah mulai memahami nona?" Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis menyambar.

Dengan sedikit terkejut, Zia menoleh kearah sumber suara. Benar saja gadis Belanda semalam sedang duduk di sofa memandangi Zia. Dengan sedikit ketakutan, Zia melangkah mendekat.

"kemari nona, tidak perlu takut, duduk bersamaku." Gadis Belanda itu berbicara lagi.

"Sebenarnya, apa yang terjadi nona? Mengapa rohku keluar dari tubuhku, mengapa aku bisa berada di sini, mengapa rumahku terlihat kuno?" Zia mengajukan banyak sekali pertanyaan.

"Kalung itu yang membawa mu kesini nona."

"Tapi bagaimana bisa? Ini sangat tidak masuk akal."

"Ini sangat mungkin terjadi nona. Saat seseorang mati, dan memiliki urusan yang belum selesai di dunia, mereka akan tertahan disini. Dan saat orang itu memiliki barang kesayangan, barang itu bisa menjadi media berkomunikasi." Gadis Belanda itu menjelaskan.

"Jadi, kamu sudah mati dan memiliki urusan yang belum selesai? Lalu kalung ini barang kesayanganmu, sehingga kalung ini jadi media yang membuat aku bisa menemuimu?"

"Betul sekali nona. Sekarang kamu sudah mengerti semuanya."

"Belum, aku masih heran mengapa rumah ini berubah menjadi kuno?"

"Ini terjadi karena kamu kembali ke masa lalu, ke masa aku dan keluargaku diserang oleh tentara Jepang pada tahun 1942. Sejak saat itu, aku terjebak di masa ini."

"Dibunuh? Sebenarnya apa yang terjadi Kathelijn?"

"Bagaimana kau tahu namaku?"

"Ehh..maaf aku melihat dibawah foto keluargamu terdapat nama itu, aku berpikir bahwa itu pasti namamu."

"Benar sekali nona. Omong-omong siapa namamu?"

"Namaku Zia"

"Baik, aku akan memanggilmu Zia. Tapi bolehkan aku tahu, darimana kau mendapat kalung itu?"

"Aku mendapatkannya dari nenekku, dia bercerita bahwa kalung ini ditemukan sekitar 20 tahun yang lalu, ditinggalkan oleh pemilik rumah sebelumnya."

"Oh jelas sudah, aku jadi ingat kejadian 20 tahun lalu."

"kejadian apa Kathelijn?"

"20 tahun lalu, gadis seusiamu berkomunikasi denganku, tapi dia selalu ketakutan dan pada akhirnya setelah enam bulan ia terus bertemu denganku, ia tidak pernah terlihat lagi. Aku tahu, ia pindah rumah, ayahnya menjual rumah itu pada kakekmu, meninggalkan barang barang nya di kamar mu, termasuk kalungku."

"Ada satu pertanyaanku padamu Kathelijn, apakah nenek dan ibuku pernah berkomunikasi dengan mu?"

"Tidak Zia, hanya gadis berusia 17 tahun yang bisa berkomunikasi dengan ku. Umur nenek dan Ibumu sudah lebih dari 17 tahun saat menemukan kalung ini."

"Lalu sebenarnya apa urusan yang belum kau selesaikan di dunia Kathelijn? Mengapa kau masih diam disini?"

"Sebenarnya aku butuh sekali bantuanmu, tapi aku yakin kau tidak akan membantuku, seperti gadis yang menemuiku 20 tahun lalu. Kau pasti akan pergi."

"Aaa..apa yang bisa kubantu Kathelijn?"

"Temui kerabat ku di Belanda, adikku mungkin saja masih hidup, atau dia memiliki anak dan cucu, temui mereka kirimkan pesanku."

"Aku tidak mengerti, bukankah kalian sekeluarga diserang oleh tentara Jepang?"

"Itu memang benar Zia, keluargaku diserang oleh tentara Jepang. Aku dan ibuku terbunuh, jasadku dikuburkan di halaman belakang rumah ini. Sedangkan jasad ibuku entah mereka bawa kemana. Ayah dan adikku berhasil meloloskan diri. Mereka kembali ke Belanda."

"Lantas apa urusan yang belum kau selesaikan, dan pesan apa yang ingin kau sampaikan pada adikmu?"

"Aku masih mencari ibuku, aku ingin tahu dimana dia. Aku akan pulang ke rumah Tuhan jika sudah bertemu dengannya. Dan pesan untuk adikku, aku ingin dia membantuku untuk mencari ibu."

"Tapi bagaimana jika ibumu sudah terlebih dahulu pergi kerumah Tuhan, dia tidak mencarimu Kathelijn?"

"Omong kosong apa yang kau katakan Zia?! mana mungkin ibuku seperti itu!!" Kathelijn bangun dari duduknya dengan emosi.

Kini Zia mulai ketakutan karena melihat Kathelijn berubah menjadi gadis menakutkan dan terlihat wujud aslinya, tubuhnya penuh darah, dahinya berlubang bekas tembakan. Kathelijn kemudian mencekik Zia karena emosi.

"Setidaknya, jika kau tidak ingin membantuku, kau tidak usah menjelekkan ibuku nona. Aku bisa saja membuat rohmu tidak kembali pada tubuhmu. Tapi aku masih berbaik hati padamu." Kathelijn berbicara dengan sedikit berbisik di telingan Zia kemudian melepaskan cekikakan yang ia lakukan pada Zia.

"Mungkin inilah alasan mengapa gadis 20 tahun lalu tidak ingin membantumu Kathelijn." Ucap Zia sembari memegangi lehernya.

"Apa maksudmu Zia?"

"Kau terlalu naif, kau mudah sekali tersinggung dan tidak bisa mengontrol emosimu." Zia berkata sembari meninggalkan Kathelijn yang mematung di ruang tamu.

Zia kemudian Kembali ke kamar dan membaringkan rohnya untuk masuk kedalam tubuhnya yang sedang tertidur. Namun entah apa yang terjadi, tubuh Zia seperti menolak roh Zia untuk masuk. Zia mulai panik. Dan ternyata itu adalah ulah Kathelijn yang seolah membuat benteng antara tubuh dan roh Zia agar tidak menyatu.

"Apa yang kau lakukan terhadap tubuhku Kathelijn?!" Tanya Zia dengan emosi.

"Lihatlah, sekarang siapa yang mudah sekali emosi. Itulah yang aku rasakan nona, ibuku bagaikan tubuhmu, aku tidak bisa berpisah dengannya." Ucap Kathelijn.

"Baik, sekarang apa maumu Kathelijn?!"

"Berjanjilah padaku untuk membantuku. kirimkan pesanku pada adikku. Bantu aku mencari Ibuku, atau hidupmu dan keluargamu tidak akan tenang Zia, aku bisa membunuh tanpa menyentuh kalian."

"Baiklah, tapi bagaimana caranya, bagaimana aku tahu dimana adikmu tinggal. Belanda sangat luas Kathelijn."

"Pergilah ke kota Nijmegen, adikku tinggal tidak jauh dari Radboud University, ia adalah mantan dosen disana."

"Baiklah, aku akan segera menemuinya."

Roh Zia pun Kembali ke tubuhnya. Ia terbangun dari tidurnya. Zia bingung apa yang harus Ia lakukan sekarang.

Sudah seminggu dan setiap malam Zia selalu diganggu dan ditagihi untuk menepati janjinya tersebut. Awalnya ia akan ingkar saja. Tapi malam itu, benar saja Kathelijn mengganggu seisi rumah dengan berbagai hal, mulai dari memecahkan guci di ruang tamu secara tiba-tiba, membuat kursi-kursi bergerak, dan yang paling parah yaitu membuat Anne, ibu Zia taksadarkan diri selama berjam-jam. Keesokan harinya Zia menemui Devan, menceritakan apa yang telah dialaminya sejak mendapatkan kalung itu.

"Belanda? Kau mau pergi kesana hanya karena mimpi anehmu itu?" Devan berkata dengan terheran heran.

"Ini bukan mimpi Devan, ini menyangkut nyawaku dan keluargaku. Aku bisa dibunuh jika tidak menepati janji itu." Zia sedikit emosi.

"Sekarang, kamu hancurkan saja kalung itu, masalah akan selesai." Devan memberikan solusi.

"Itu tidak akan berhasil. Kathelijn akan sangat marah dan tetap akan membunuh ku dan keluargaku. Aku butuh bantuanmu Devan. Kau bilang saja kita pergi berlibur kerumah kakek dan nenekmu di Belanda."

"hey, itu tidak semudah yang kau kira Zia."

"Baiklah jika kau tidak ingin membantu, aku akan kabur saja dari rumah pergi sendirian."

"Kau nekat sekali Zia, baiklah akan kutemani kau pergi ke Belanda."

Setelah persiapan dan perizinan di dapat dari keluarga Devan dan Zia, mereka segera terbang ke Belanda. Mereka langsung menuju kota Nijmegen seperti yang dikatakan oleh Kathelijn. Tak ada sedikitpun kesulitan untuk menuju ke kota tersebut karena Devan memang sudah sering ke Belanda untuk menemui nenek dan kakek nya. Mereka hanya bingung karena Kathelijn tidak memberikan alamat spesifik rumah adiknya, dia hanya mengatakan bahwa rumah adiknya itu dekat Radboud University. 

Sekarang Zia dan Devan bingung harus mencari kemana, mereka hanya mematung di depan Universitas tersebut. Tiba-tiba saja Zia teringat bahwa adik Kathelijn merupakan mantan dosen di universitas tersebut. Zia kemudian memasuki Universitas tersebut. Devan hanya mengikutinya dengan heran.

"Zia, kenapa kita malah masuk kesini, gamungkin adiknya Kathelijn tinggal di kampus." Devan bersuara.

"Memang tidak mungkin, tapi dia mantan dosen disini, kita bisa mencari tahu alamat dimana dia tinggal."

Devan hanya mengangguk-ngangguk mengiyakan. Setelah mencari tahu, dan sedikit paksaan terhadap bagian administrasi universitas tersebut, baru lah mereka mendapatkan alamat rumah Dedrick atau adiknya Kathelijn.

Zia mengetuk pintu kayu berwarna coklat dengan penuh yakin. Tak lama keluarlah gadis seusia dengannya. Ia bertanya mereka mencari siapa, lalu setelah menyebutkan nama Dedrick, gadis itu mempersilahkan Zia dan Devan masuk.

"Kakek, ada yang mencarimu." Ucap gadis tersebut berbahasa Belanda.

Zia tidak menyangka bahwa adik Kathelijn masih hidup. Kini usianya sudah 85 tahun. Ia telah renta diatas kursi roda tetapi wajahnya terlihat bugar.

"Kalian siapa, dan ada kepentingan apa?" Dedrick bertanya dengan bahasa Belanda.

Zia sangat beruntung mengajak Devan, karena Devan bisa menjadi penerjemah untuk Zia yang tidak mahir berbahasa Belanda.

Kemudian Zia pun menceritakan siapa dirinya dan apa maksud kedatangannya lalu di terjemahkan oleh Devan untuk disampaikan kepada Dedrick. Dedrick sangat tidak percaya terhadap apa yang diucapkan oleh Zia. Tapi setelah Zia memperlihatkan kalung itu, Dedrick barulah mempercayainya, karena walaupun dulu ia masih berusia 5 tahun, tapi ingatannya tajam.

"Aku tidak bisa pergi ke Indonesia untuk mencari jasad Ibu, Zia. Katakan pada Kathelijn dia harus bisa menerima semuanya." Ucap Dedrick

"Tapi bagaimana dengan aku dan keluargaku yang telah diancam oleh Kathelijn, dia akan membunuh kami." Ucap Zia

"Baiklah, bisakah kau berkomunikasi dengannya sekarang? Aku akan menuliskan surat untuknya, lalu kau berikan surat itu untuk dia. Mungkin saja dia akan ikhlas menerima takdirnya dan mengikhlaskan kepergian Ibu."

"Baik tuan, akan kucoba"

Setelah menulis surat, Dedrick memberikannya pada Zia, dia tidak paham apa isi surat tersebut karena berbahasa Belanda. Kemudian Zia tertidur dan Rohnya keluar dari tubuhnya. Ia menemui Kathelijn yang ternyata sudah sedari tadi ada di pojok ruangan tersebut. Kathelijn menerima surat itu lalu membacanya.

"Baiklah, aku akan menerima takdirku, aku akan melepas kepergian ibuku. Sekarang aku akan pulang ke rumah Tuhan. Sampaikan maaf ku pada Dedrick. Terimakasih Zia kau sudah mau membantuku." Kathelijn berkata sambil menangis dan memeluk Zia.

Zia tak bisa berkata-kata, ia memeluk Kathelijn menenangkannya.

"Sekarang, aku tidak akan mengganggumu dan kelurgamu lagi Zia. Lalu kalung itu, berikan kalung itu pada Dedrick, kuburkan di halaman belakang rumah." Ucap Kathelijn lagi.

"Baiklah Kathelijn."

Kathelijn melepaskan pelukannya, kemudian terlihat cahaya yang semakin membesar di tembok ruangan. Kathelijn melambaikan tangannya memasuki cahaya tersebut dan cahaya itupun menghilang seketika.

Roh Zia kini sudah tepat lagi di dalam tubuhnya. Ia menceritakan kejadian yang baru saja terjadi dan menyerahkan kalung dengan permata berwarna merah itu kepada Dedrick untuk dikubur. Sebenarnya Zia sangat penasaran terhadap isi surat tersebut. Namun, biarlah itu menjadi urusan antara Kathelijn dan Dedrick. Yang terpenting, kini Zia dan keluarganya sudah terbebas dari gangguan Kathelijn.

Zia dan Devan kemudian meninggalkan rumah Dedrick. Zia berjalan dengan penuh kelegaan, menatap lembayung senja liburan musim panas di Belanda. Zia dan Devan memutuskan untuk menikmati beberapa hari di Belanda, yang kemudian akan kembali ke Indonesia dengan tanpa gangguan Kathelijn lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun