MANG ABU BUKAN SEMBARANG BURUH BANGUNAN
Penulis: Saiful Amri
"Don't judge the book by the cover" mungkin proverb ini cocok menggambarkan tulisan berikut. Jangan pula menganggap orang itu sama karakternya walaupun sama profesinya. Jangan menganggap semua buruh bangunan itu sama karakternya. Biasanya buruh bangunan tidak berpuasa ketika mereka sedang bekerja. Ternyata anggapan tersebut salah. Tidak semua buruh bangunan itu tidak berpuasa ketika sedang bekerja.Â
Sebelum saya menceritakan pengalaman yang berharga untuk keluarga kami dari seorang buruh bangunan bernama Mang Abu, saya akan menceritakan pengalaman Ramadan tahun lalu karena akan berkaitan ceritanya. Pada tahun lalau, keluarga kami mengecat rumah dalam rangka menyambut Ramadan. Aktivitas ini menjadi biasa bagi sebagian orang karena ada yang menganggap untuk menyambut Ramadan tetapi ada juga yang beranggapan untuk menyambut Idulfitri agar rumah terlihat seperti baru. Alasan pertama untuk menyambut Ramadan sehingga orang akan melakukannya sebelum Ramadan. Alasan kedua untuk menyambut Idulfitri biasanya orang akan melakukannya pada bulan Ramadan. Â Â
Saya sebagai kepala keluarga meminta seorang buruh bangunan bernama Mas Ojak. Sebenarnya kami sudah merencanakan mengecat rumah sebelum Ramadan tiba tetapi dinding rumah kami sangat lembab karena rumah kami berada di tengah perkebunan yang sangat rimbun dengan berbagai pohon yang didominasi pohon bambu. Beberapa pohon besar juga mengelilingi sekitar rumah kami seperti pohon jengkol, pohon mangga, pohon sawo, dan beberapa pohon lainnya. Disebabkan dinding rumah yang sangat lembab sehingga lambat mengalami pengeringan yaitu dinding yang dicat tetap basah. Rencana selesai mengecat sebelum Ramadan ternyata meleset. Pengecatan rumah berlanjut memasuki Ramadan.Â
Seperti biasanya buruh bangunan disuguhi kue dan kopi pada pagi dan sore hari serta nasi lengkap dengan lauknya pada siang hari. Begitulah buruh bangunan harian berbeda dengan sistem borongan yang tidak dilayani seperti itu. Disebabkan sudah memasuki Ramadan maka kami tidak menyediakan kudapan seperti demikian. Namun kami mencoba bertanya kepada buruh yang berhangkutan yaitu Mas Ojak apakah ia berpuasa atau tidak. Ternyata tidak berpuasa sehingga kami menyajikan makanan seperti layaknya pada bulan selain Ramadan. Tentu kami sajikan di dalam ruang atau kamar tertutup agar tidak terlihat oleh orang lain termasuk anak-anak kami kecuali saya dan istri yang tahu.
Saya menyimpulkan bahwa buruh bangunan sama saja baik di kota maupun di kampung bahwa mereka tidak berpuasa. Untuk itulah kami selalu berusaha untuk tidak melakukan aktivitas menyewa jasa buruh bangunan pada bulan Ramadan. Kejadian bersama Mas Ojak adalah sebuah rencana yang meleset yang seharusnya selesai sebelum Ramadan karena alasan yang telah dikemukakan di atas.
Pada tahun ini kami sudah jauh-jauh hari sebelum Ramadan untuk menggunakan jasa buruh bangunan. Ia adalah Mang Abu berbeda dengan Mas Ojak. mang Abu telah mengecat pagar rumah sebulan sebelum Ramadan dalam rangka menyambut Ramadan dan Idulfitri sekaligus perawatan pagar rumah agar terawat. Tahun lalu Mas Ojak mengecat dinding rumah sedangkan tahun ini Mang Abu mengecat pagar rumah.
Sebuah peristiwa tak terduga terjadi. Lubang besar penampungan pembuangan air mengalami jebol. Lubang ini seperti kolam kecil berukuran 1 x 2 m. Rupanya dinding lubang tersebut longsor padahal sudah dibangun sedemilkian rupa dengan dinding tembok yang kokoh. Kejadian ini memerlukan penangan serius karena pembuangan air dari kamar mandi dan wash basin tempat mencuci piring terus berlangsung. Saya meminta bantuan Mang Abu seorang buruh bangunan yang telah mengecat pagar rumah. Walaupun pada saat Ramadan, ini tetap dikerjakan karena darurat.Â
Rencana boleh saja ditentukan tetapi realitanya tergantung pada kebutuhan. Rencanannya kami tidak ingin kembali menyewa jasa buruh bangunan pada saat Ramadan karena khawatir menyebabkan buruh bangunan yang bersangkutan tidak berpuasa. Ternyata Mang Abu ini berbeda. Hari itu pekerjaan dimulai agak siang karena kejadian jebol lubang penampung air pun terjadi agak siang. Mang Abu menyarankan agar menyalurkan saja air pembuangan tersebut ke selokan yang ada di depan rumah. Tidak seperti selokan air di kota-kota yang terbuat permanen, berbeda dengan selokan di perkampungan yang dibuat tidak permanen. Sehingga kami memutuskan untuk menggunakan paralon besar yang ditimbun di bawah selokan. Paralon itu menuju kolam penampungan yang cukup besar yang juga menjadi wadah pembuangan air dari beberapa rumah.Â