Saidna Zulfiqar bin Tahir. Setiap individu maupun kelompok pasti pernah dan akan menghadapi masalah. Terlebih lagi dalam kehidupan dunia yang giat menawarkan life style antara kenyataan dan harapan. Ketika terjadi kesengjangan antara yang terjadi dengan yang seharusnya terjadi, sebagian diantara mereka memilih menjadi superman dalam mengatasi masalah dengan menggunakan slogan “Mengatasi masalah tanpa masalah”, sebagian yang lain justru mencoba menenangkan diri dengan “Mengatasi masalah tanpa solusi” atau sengaja melupakan masalah berlalu begitu saja. Ada juga phenomena uniq yang marak terupdate di status FB, BBM, Twitter, dll; yaitu “Mengatasi masalah denga mengsharing masalah”.
Cara apapun yang ditempuh oleh individu ataupun kelompok dalam mengatasi masalah seperti di atas adalah sah-sah saja, sebagai bentuk ungkapan kreatifitas manusia dalam berfikir dan berkelit dari masalah yang dihadapi. Sayangnya, filosofis dari masalah dan cara mengatasi masalah itu terkesan berlebihan. Artinya, sesuatu yang bukan masalah justru dijadikan sebagai masalah (terlalu lebbay), dan cara yang diambil dalam menyelesaikan masalah justru bebas keluar masuk dari penjara etik. Alhasil, mau cara halal kek, cara haram kek, yang penting masalah terselesaikan.
Definisi masalah dan solusi sering didefinisikan berdasarkan pengalaman dari apa yang dirasakan oleh individu ataupun kelompok, sehingga rasa dan solusi dari masalah itupun berbeda-beda. Secara sederhana, masalah didefinisikan sebagai kesenjangan atau ketimpangan antara yang terjadi dengan yang seharusnya terjadi. Misal, seharusnya orang yang saban hari online dan chatting di FB senang memiliki banyak teman, mudah berkomunikasi, mudah mengakses berita, dll, ternyata kebanyakan Facebooker adalah orang yang sedang galau, jombloh, kesepian, dan ingin melampiaskan keinginan lewat dunia maya. Seharusnya dengan kenaikan gaji PNS akan mengurangi angka korupsi, namun ternyata semakin banyak gaji PNS, semakin banyak tuntutan kebutuhan hidup yang menggoda untuk korupsi. Tentu masalah itu tidak dapat diselesaikan secara tuntas sehingga perlu management masalah dalam mencari dan menemukan solusi (solusi bukanlah penuntasan masalah, tetapi cara pemecahan masalah atau memberikan tawaran jalan keluar dari masalah).
Filosofis yang patut dianut dalam menghadapi masalah adalah “there is no answer to give, but there is an answer to find” (tidak ada solusi yang bisa diberikan, namun ada solusi yang bisa ditemukan). Ketika tingkat kehidupan masyarakat di Indonesia katanya semakin miskin, pemerintah lantas memberikan bantuan tunai, subsidi dan lain-lain. Di satu sisi, bantuan yang diberikan pemerintah itu dianggap memberikan solusi, di sisi lain, justru menimbulkan masalah baru. Untuk menemukan solusi terhadap masalah, maka perlu “Problematizing”. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Freire di tahun 1973 untuk membedakan antara problematizing dan problem solving, kemudian lebih dipopulerkan oleh Graves di tahun 1996. Menurut Freire, problemating adalah;
“The process of problematization is basically someone’s reflection on a content which results from an act, or reflection on the act itself in order to act better together with others within the framework of reality”
Proses problematisasi pada dasarnya adalah refleksi seseorang terhadap situasi yang dihasilkan dari tindakan atau refleksi dari tindakan itu sendiri untuk bertindak lebih baik bersama orang lain dalam kerangka reality. Ketika seseorang ingin menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, maka hendaknya ia membatasi masalah dan sumber masalah pada situasi yang sedang dihadapi dan bagaimana mempersepsikan masalah itu. Untuk memroses masalah, hendaknya ia memahami benar situasinya agar mudah mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang akan berpengaruh saat pengambilan keputusan sehingga ia mampu menentukan apa yang seharusnya dan apa yang harus dilakukan dalam memecahkan masalah. Inilah yang dinamakan problematizing oleh Graves untuk membedakannya dengan problem solving. Menurutnya, problematizing tergantung pada persepsi seseorang terhadap konteks masalah dan situasinya yang timbul dari hasil identifikasi masalah. Sedangkan dalam problem solving, telah jelas masalahnya dan telah jelas pula alternative solusi yang ditawarkan, sehingga sesorang dapat langsung mengaplikasikan alternative pada masalah.
Mayoritas masalah yang dihadapi itu nyata dan berwujud dan kadang pula tak nyata sehingga sulit bagi sesorang untuk mengidentifikasi masalah dan sumber masalah yang sebenarnya serta hambatan yang dihadapi. Tidak heran, ketika orang yang mengaku lagi mempunyai masalah ditanya tentang apa penyebab masalah yang sedang dihadapi, namun jawaban yang diberikan adalah “Adaa deech”. Hal ini mungkin karena ia terlalu mendewakan masalah atau ingin diketahui memiliki banyak masalah. Padahal ia dengan sendirinya terperangkap oleh kebesaran dewa masalah, sehingga ia panic dan gelap mata serta fikiran seakan tiada jalan keluar baginya dari masalah yang dipermasalahbesarkan olehnya. Dengan kata lain, telah terbentuk sebuah mindset dalam dirinya sebagai pribadi yang lemah serta mengiba campur tangan orang lain dalam menghadapi dan menemukan solusi atas permasalahannya.
Masalah akan datang bertubi-tubi dan tak akan pernah berakhir. Sehingga setiap masalah yang ada harus dihadapi dan disikapi kemudian mencoba untuk menemukan solusi. Semakin banyak seseorang menghadapi masalah dan menemukan solusi atas masalah itu, maka dengan sendirinya akan meningkatkan kemampuannya dalam memanage masalah dan tentunya akan membuat ia semakin dewasa dalam berfikir dan bertindak dalam mengatasi masalah.
Segala bentuk masalah yang dihadapi, baik nyata dan berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible) pasti tidak dapat dihindari. Solusi yang efektif tentunya membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi dan merancang apa-apa yang harus dilakukan dan menerima dengan sepenuh hati atas apa-apa yang tidak dapat dilakukan. Terkadang orang yang menghadapi masalah terkena penyakit “If only…” (andai saja saya…) dan “Yes, but…” (iya, tapii…) syndrome yang menghalanginya menemukan solusi atas masalah dan kerap membuatnya lari dari masalah. Sehingga dibutuhkan problematizing, ia akan dapat menentukan dan memutuskan apa yang harus dilakukan, apa yang tidak dapat dilakukan, serta dari mana ia akan memulai menemukan solusi atas permasalahannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI