Politik adalah amanah. Ia seharusnya menjadi ruang pengabdian demi kebaikan rakyat, bukan ajang bisnis yang menguntungkan sebagian orang. Namun, realitas demokrasi kita justru menunjukkan hal sebaliknya: untuk menjadi pejabat publik, biaya yang dikeluarkan begitu besar hingga politik berubah menjadi investasi.
Data, fakta, dan kasus nyata membuktikan bahwa mahalnya biaya politik bukan sekadar isu, melainkan akar dari banyaknya korupsi dan kerusakan sistem demokrasi di Indonesia.
1. Fakta dan Data: Seberapa Mahal Biaya Politik Kita?
Data riset Westminster Foundation for Democracy (WFD) mencatat, rata-rata biaya yang dikeluarkan calon legislatif DPR pada Pemilu 2024 mencapai Rp5 miliar, dengan variasi dari Rp200 juta hingga Rp160 miliar. Bandingkan dengan rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia yang hanya sekitar Rp36 juta per tahun. Artinya, seorang rakyat biasa butuh kerja 140 tahun tanpa pengeluaran untuk menyamai ongkos politik seorang caleg.
Untuk kepala daerah, biayanya lebih mencengangkan. Menurut KPPOD, seorang calon bupati bisa menghabiskan Rp20--30 miliar, sementara calon gubernur bisa menelan biaya Rp50--150 miliar. Bahkan sejak 2010, ongkos Pilkada di tingkat provinsi sudah menyentuh angka Rp70 miliar, setara dengan anggaran satu kementerian.
Lalu, jangan lupakan politik uang. Bawaslu dan KPK mencatat, seorang kontestan bisa mengeluarkan Rp5--15 miliar hanya untuk serangan fajar, sumbangan, dan mahar partai. Survei Institut Riset Indonesia (2020) menemukan bahwa 60% pemilih mengaku bersedia menerima uang Rp30--50 ribu untuk menjual suaranya.
Data ini menunjukkan, demokrasi kita sedang "disandera" oleh uang.
2. Dampak Negatif dari Biaya Politik yang Tinggi
a. Politik Menjadi Investasi
Dengan biaya begitu besar, calon pejabat akan menganggap jabatan sebagai investasi. Mereka terdorong untuk mengembalikan modal, bukan melayani rakyat.
b. Suburnya Korupsi