Mohon tunggu...
Sahda SaraswatiAkbar
Sahda SaraswatiAkbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPN Veteran Jakarta

‎

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Invetarisasi Hukum Islam yang Berlaku dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia: Kompilasi Hukum Islam sebagai Bentuk Kepastian Hukum

16 Juli 2022   17:34 Diperbarui: 16 Juli 2022   18:09 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada saat itu terjadinya pergeseran pada beberapa bagian hukum islam agar bisa menjadi hukum tertulis yang dapat dilihat dari terbentuknya UU No. 22/1946 yang membahas tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura. Hal tersebut sesuai pada surat edaran yang terdapat di biro peradilan agama (mahkamah syariah) di luar Jawa dan Madura. Dimana pada huruf b di surat edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan pekerjaan maka para hakim pengadilan agama dianjurkan untuk menggunakan pedoman 13 kitab, yaitu Al-Bajuri, Fath Al-Mu'in, Syarqawi'ala Al-Tahrir, Qulyubi (Mahalli), Fath Al-Wahhab, Tuhfah, Targhib Al-Musytaq, Qawwanin Syar'iyyah li Al-Sayyid bin Yahya, Qawanin Syar'iyyah li Al-Sayyid Shadaqah Dahlan, Syamsuri fi Al-Fara'idh, Bughyah Al-Mustarsyidin, Al- Fiqh'ala Al-Madzahib Al-Arba'ah, dan Mughni Al-muhtaj. Dengan menunjuk fokus pada 13 kitab tersebut, langkah menuju kepastian hukum semakin nyata.

Kemudian tidak lama dari itu, lahirlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang juga merupakan pergeseran hukum islam ke arah hukum tertulis. Kemudian dalam rangka untuk mencapai keseragaman atas tindakan antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam pembinaan badan peradilan agama sebagai salah satu langkah menunju terlaksanya UU No 14 tahun 1970 tentang Kesatuan-Kesatuan Pokok Kekuasaan kehakiman. Di samping itu, untuk menghidari perbedaan penafsiran dalam melaksanakan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, pada tanggal 1 September 1976 tentang di bentuk panitia kerja yang di sebut PANKER MAHAGAM (Panitia Kerjasama Mahkamah Agung Departemen Agama).

Periode selanjutnya, yaitu periode ketiga yang berlaku sejak 1985 hingga sekarang, periode ini dimulai sejak adanya penandatangan surat keputasan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penyusunan Kompilasi Hukum Islam melalui yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 yang terjadi pada 25 Maret 1985. Di dalam SKB tersebut memiliki arti bahwa adanya penentuan oleh para penjabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama yang ditunjuk serta menjabat pada masing-masing proyek, jangka waktu, tata kerja hingga biaya yang digunakan dalam proyek penyusunan Kompilasi Hukum Islam.   Dimana dengan fokus utama pada pengkajian kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan para hakim agar sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat sehingga dapat menuju pada tujuan hukum nasional.

Adanya ide tentang pembentukan Kompilasi Hukum Islam setelah beberapa tahun Mahkamah agung membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Dimana dengan tugas pembinaan yang didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Terdapat juga pernyataan dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 14/1970 bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan yang dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3, dan 4 tahun 1983. Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang- Undang No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).

Setelah selesainya naskah akhir untuk Kompilasi Hukum Islam, Menteri Agama menyampaikan hal tersebut kepada Presiden RI melalui surat tertanggal pada 14 Maret 1988 No: MA/123/1988 yang dalam surat tersebut menyatakan bahwa perlu diperoleh bentuk yuridis terhadap KHI tersebut agar dapat digunakan dalam praktik di lingkungan peradilan agama.  Kemudian diterbitkannya sebuah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 yang dimana dalam diktumnya menyatakan bahwa pengintruksian kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (HKI) yang terdiri atas buku I tentang Perkawinan, buku II tentang Kewarisan, dan buku III tentang Perwakafan yang dimana akan digunakan oleh instansi pemerintah serta bagi masyarakat yang memerlukannya.
Dalam melaksanakan Inpres No. 1/1991, Menteri Agama Surat Keputusan No. 154 tahun 1991 tertanggal 22 Juli Tahun 1991 kepada seluruh instansi Departemen Agama dan instatnsi pemerintah agar dapat menyebarluaskan serta menggunakan dalam menyelesaikan masalah yang sesuai dengan isi dari Kompilasi Hukum Islam tersebut. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam serta Urusan Haji, telah mengoordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri Agama RI dalam bidangnya masing-masing. Dengan adanya Intruksi Presiden serta Surat Keputusan Menteri Agama menjadi bukti bahwa Kompilasi Hukum Islam telah dapat  pengesahan yang bisa dipergunakan sebagai pedoman, baik dalam tugas sehari-hari ataupun bagi masyarakat yang memerlukannya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa adanya pembaruan hukum Islam di Indonesia dilakukan secara Institusional. Dimana pembaruan dengan model ini dapat digunakan untuk membawa hukum Islam untuk bisa lebih memberikan andil dalam legislasi di Indonesia. Indonesia yang diketahui sebagai negara dengan berisikan mayoritas penduduk beragama Islam telah menjadi suatu bukti kewajaran jika hukum yang berlaku diantaranya bersumber dari ajaran Islam.  Dengan hal ini, hukum Islam beserta dengan pranata komplit yang telah dibangun diharapkan mampu lebih memberikan efek serta memiliki daya ikat hukum, sehingga keberadaannya menjadi lebih efektif. Pada posisi ini keluarlah UU tentang perkawinan juga dengan kompilasi hukum Islam  
Berdasarkan serangkaian pembahasan di atas dapat diketahui bahwa pembaharuan hukum Islam di Indonesia dilakukan secara institusional. Pembaharuan dengan model ini dimaksudkan untuk membawa hukum Islam turut memberi andil dalam legislasi di Indonesia. Sebagai Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, menjadi sebuah kewajaran jika hukum yang berlaku diantaranya bersumber dari ajaran Islam.16 Melalui cara ini, hukum Islam dan pranata konkret yang dibangunnya diaharapkan mampu berkiprah lebih riil dan memiliki daya ikat hukum, sehingga keberadaannya menjadi efektif. Pada posisi ini inventarisasi hukum Islam terhadap peraturan perundang undangan yang telah hadir terdiri atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan hingga pada Kompilasi Hukum Islam (KHI).


Adanya upaya Penginventarisasian hukum Islam dalam format KHI ataupun aturan normatif negara, yang berdasarkan pada pendapat di atas, merupakan suatu bagian dari upaya pembaruan hukum Islam tersebut. Sedangkan hadirnya upaya lain yang merupakan satu upaya yang bersifat individual  dan menjadi bentuk awal dari pembaruan dalam skala institusional.
Berdasarkan pendapat dari Hooker menyatakan bahwa KHI yang lahir pada tahun 1991 merupakan dokumen penting mengenai syariat yang tersebar luas di Indonesia sekarang ini. KHI sendiri sesungguhnya bukanlah merupakan undang undang, namun KHI merupakan petunjuk terhadap undang-undang yang dapat diterapkan oleh para hakim dalam hal yuridis peradilan agama dalam memecahkan perkara yang mereka hadapi. Berdasarkan pengertian hukum, kompilasi merupakan suatu buku hukum atau buku kumpulan yang memuat mengenai uraian serta bahan bahan hukum tertentu, pendapat umum, aturan hukum.

Hadirnya aturan legal formal Hukum Islam merupakan KHI ini dapat dijadikan sebagai sebuah jembatan yang bisa digunakan untuk mempersatukan arus pemikiran hukum yang satu dengan yang lain sehingga dapat berjalan secara bersamaan. Ada tiga hal pokok yang diharapkan mampu terpenuhi dengan adanya pemberlakuan KHI, yaitu:

  1. Terpenuhi Asas manfaat serta keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum Islam
  2. Mengatasi berbagai masalah khilafiyyah yang menjamin kepastian hukum
  3. Mampu menjadi bahan baku serta mampu berperan dalam pembinaan hukum nasional.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diketahui bahwa adanya Inventarisasi hukum Islam di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan, tetapi statusnya masih berada di bawah dominasi hukum adat karena adanya teori-teori  resepsi yang sangat berpengaruh dalam hukum pada saat itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa Inventarisasi dimulai sejak tahun 1974 dengan munculnya Inventarisasi Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dengan peraturan pelaksanaannya (PP No. 9/1979 dan PP No. 10/1983). Tidak lama setelah itu hadir juga Undang-Undang Peradilan Agama (UU No. 7/1989), yang dimana undang-undang ini memiliki dasar tuntutan dari UU No. 14/1970. Selanjutnya, keluarlah Inpres RI No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan, perceraian, waris, wakaf, dan juga hibah. Dengan lahirnya HKI ini menjadi serangkaian lanjuatan dalam upaya penyajian referensi materi hukum Islam di Indonesia. Sehingga oleh karena itu, para hakim di lingkungan peradilan Agama serta instansi terkait, khususnya pada bidang Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan dapat seragam dalam menggunakan pedoman yang mengacu pada KHI.

Terkait pada inventarisasi hukum Islam di Indonesia ditempuh melalui jalur kompilasi, yang dimana walaupun sudah berbentuk kompilasi namun tetap adanya perbedaan pendapat diantara para ahli hukum, dimana dikatakan bahwa kajian ilmu hukum yang membahas mengenai istilah kompilasi sebenarnya tidak begitu dikenal. Perbedaan pendapat tersebut berhubungan dengan kedudukan serta keabsahan dari KHI.

Pada saat awal penyusunan pun tidak nampak adanya pemikiran yang kontroversial mengenai apa itu kompilasi tersebut. Karena dalam penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga hal tersebut tidak mengakibatkan reaksi dari pihak manapun. Walaupun demikian KHI ini digunakan untuk menjadi pedoman bagi para hakim di pengadilan Agama. Hal tersebut berguna untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara agama. Atas adanya pertimbangan tersebut sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa KHI adalah rangkuman dari beberapa pendapat Ulama'fikih. Jika dilihat dari sudut substantial bahwa KHI adalah hukum normatif bagi Umat Islam yang didukung dengan kekuatan yuridis dari Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 selaku pemegang otoritas di dalam perundang-undangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun