Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terjebak dalam Kebebasan

3 Juni 2020   01:23 Diperbarui: 3 Juni 2020   01:18 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari www.nickycullen.com pukul 0:55 tanggal 03-06-2020

Nyoto membelai rambutnya yang baru saja tumbuh. Sensasi kasar dan kelembutan terasa kuat menjalar menembus labirin perasaannya. Memang sejak berada dalam kamar kecil berjeruji itu, dia telah berhasil mengetahui sekat-sekat perasaannya. Dia telah mampu memahami perubahan kecil dari perasaan yang satu dekade lalu telah memenjarakannya.

Tubuh kurusnya tampak bagaikan sebuah hantu sawah dan bayangannya memanjang memasuki selokan yang berjarak sekitar dua meter dari tempatnya berdiri. Saat itu, pukul setengah tiga sore, ketika dirinya terpaksa harus memutuskan untuk keluar sendiri tanpa menunggu jemputan dari keluarganya. Sebenarnya sejak pagi dia telah menunggu istrinya yang selama ini rutin menjenguknya tiap dua minggu sekali.

Pada minggu lalu saat istrinya berkunjung, dia telah memberi kabar tentang kebebasannya. Saat keduanya sedang duduk berhadapan di ruang berkunjung. "Aku minggu depan akan di bebaskan. Aku ingin kamu datang dengan membawa kedua anak kita."  

Istrinya mengangguk dan kemudian menyodorkan sebungkus rokok Marlboro kesukaannya. "Aku akan datang. Aku juga akan masak besar untuk menyambut kepulanganmu."

Nyoto sama sekali tidak menduga kalau mereka tidak di saat hari kebebasannya. Momen yang paling di nantinya selama dua minggu terakhir. Dia kawatir kalau anaknya Badrul sakit. Badrul dulu terkena penyakit paru-paru basah saat kecil. Dia sering sakit karenanya.

Sambil memperhatikan perubahan sekitar, Nyoto menyebrangi jalanan yang cukup ramai oleh pesepeda motor. Dia kembali menunggu di warung kopi kecil bertenda biru di bawah pohon mahoni yang berdiri tegak di tepi lapangan. Dia masih menaruh harapan agar istri atau anaknya datang menjemputnya.

Penjualnya adalah seorang perempuan setengah baya. Dia mengenakan sebuah baju daster warna merah dengan bunga-bunga warna hitam dan merah muda.

" Baru keluar Pak? Minum apa Pak?" Tanyanya pelan.

"Kopi saja."

" Sebelumnya masuk sana kenapa Pak?" Tanya perempuan itu sopan dengan bahasa kromo inggil.

" Pembunuhan."

"Sudah di sana berapa tahun Pak?"

" Dua belas tahun."

"Lamanya Pak. Emang berapa tahun hukumannya Pak?"

"Seumur hidup. Aku membunuh 4 orang dan membakar tubuhnya."

Suara benturan antara sendok dan gelas terdengar keras. Tampak tangan penjual kopi itu bergetar hebat. Penjual kopi itu kemudian duduk di samping Nyoto. Dia perhatikan muka Nyoto dengan hati-hati.

"Mas, Nyoto? Aku ini Drasmi, teman sekelasmu waktu SMP. "

"Owh, kamu yang suka duduk di bangku nomor tiga dekat jendela?"

Drasmi mengangguk. "Rencana mau kemana ini?"

"Aku ingin pulang."

"Mending Mas Nyoto hari ini pulang ke rumahku saja. Biar besok aku antar ke rumah."

"Aku gak mau merepotkanmu. Kamu bukannya dulu pernah menikah dengan pejabat itu."

"Owh itu sudah cerai. Sekarang aku menikah dengan sopir truck. Tetapi menginap di rumahku juga tidak merepotkan. Aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Jujur Aku bersedih saat mengetahui dirimu tertangkap. Padahal dulu kamu orang yang paling pintar bersembunyi."

"Sudahlah. Ini takdirku." Tutupnya untuk menghindari bahasan yang lebih lanjut mengenai tragedi yang telah membuatnya kehilangan kebebasan selama bertahun-tahun itu.

Perbincangan mereka berlanjut sampai sore. Mereka berdua kembali mengenang masa-masa remajanya. Mereka memang cukup dekat sebelumnya. Meskipun hubungannya hanya sebatas teman. Drasmilah orang yang dahulu memperkenalkan Nyoto dengan istrinya sekarang.

" Sekarang sudah sore, aku ingin melanjutkan perjalananku." Tegas Nyoto mengakhiri nostalgianya.

"Nanti kamu harus main ke sini! Aku masih belum puas berbincang denganmu."

Perjalanan Nyoto berlanjut dengan diantarkan oleh suami Drasmi. Dia diantar menggunakan sepeda motor. Mereka melewati jalanan yang dahulu sangat akrab dengannya. Nyoto tidak sempat berbicara dengan suami Drasmi. Dia sibuk mengenang masa-masa kebebasannya saat melewati jalanan itu. Mereka berhenti di masjid desa. Nyoto ingin menunaikan sembahyang Magrib di sana.

"Terima kasih tumpangannya." Ujarnya saat berpisah dengan suami Drasmi.

Dia sholat di baris kedua dari depan. Dia duduk di dekat jendela kaca dengan ukiran nama Tuhan berwarna hijau. Ketika memasuki rokaat kedua, tiba-tiba terdengar suara keras meneriakinya dan diikuti dengan triakan lainnya.

"Hei, pembunuh! Jangan lari kau!"

Dia tetap melanjutkan sembahyangnya sampai selesai. Setelah selesai salam, dia kemudian menengok kebelakang. Namun semua tampak biasa saja. Semua jamaah berzdikir dengan khusuk menghadap kiblat.

Sesaat kemudian, dia baru sadar bahwa di tempat itulah dahulu dirinya ditangkap oleh warga. Dia mengambil buku kecil dan membukanya. Sebuah halaman bertuliskan tanggal "09-01-2010 di Masjid Jami'" menjadi pembuka bukunya yang selama ini menemaninya di penjara. Mendadak semua bayangan tentang drama penangkapannya itu terpampang jelas di hadapannya. Beberapa orang yang berlari sambil membawa golok ke tempatnya. Mereka melingkarinya dan kemudian seorang imam yang datang melerai.

"Jika kalian ingin membunuhnya, langkahi dulu mayatku." Ujar sang Imam.

Baru saja dia teringat dengan Pak Raharjo, imam masjid yang dahulu menyelamatkannya. Dimana Pak Raharjo sekarang? Dia cari lelaki itu ke tempat imam tempat biasanya pak Raharjo menunggu Isya', tidak seorangpun ada di sana.

Dia kemudian berjalan menghampiri enam orang yang berkelompok di sudut masjid. Mereka awalnya santai saat melihatnya mendekat. Tetapi setelah Nyoto mulai dekat, mereka kemudian pergi. Di jaman pandemi ini, memang tidak seorangpun diijinkan untuk bertemu atau berbicara dengan orang yang tidak jelas asal - usulnya. Nyotopun memaklumi keputusan mereka untuk menghindarinya.

" Hei, apa kalian tahu di mana Pak Raharjo?" Ucap Nyoto setengah teriak.

Mereka pergi tanpa jawab dan diiringi oleh suara seorang lelaki dari luar pintu.

"To, kamukah itu?"

Nyoto membalikkan badan dan kemudian tampak sosok tubuh kecil dengan peci hitam dan sarung warna coklat. Dialah Raharjo yang Nyoto maksudkan. Nyoto berjalan menghampirinya dan memeluknya.

"Aku belum sempat mengucapkan terima kasih."

"Tidak perlu. Rencana kamu ke mana?"

"Pulang ke rumahku Pak."

"Kamu tidak ingin tinggal di masjid dulu?"

"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan anak dan istriku." Nyoto tersenyum lebar hingga gigi gingsulnya terlihat jelas.

"Ati-ati di jalan."

Rumahnya berjarak sekitar 600 meter dari masjid. Dia berjalan kaki ke sana. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan bahagia. Tampak  sekali dia telah menunggu kedatangannya. Istrinya telah menyiapkan berbagai makanan kecil dan berat untuk menyambut kedatangannya. Memang tidak ada pelukan atau ciuman malam itu. Mungkin karena usia keduanya yang sudah berumur sehingga istrinya malu untuk menyambut kedatangannya dengan berlebihan.

"Makan dulu saja! Kedua anakmu masih main. Tunggu anakmu pulang dulu." Perintah istrinya.

Sesuatu terasa janggal, tetapi Nyoto tidak menghiraukannya. Dia terus saja melahap makanannya dan tiba-tiba berhenti ketika melihat seorang anak perempuan berlari menghampirinya.

"Om, ibu mana?"

"Ibumu siapa?"

"Om Siapa?"

Tiba-tiba istrinya berlari dan kemudian menarik anak itu. "Kenapa kamu pulang?" Bentaknya pada anak perempuan itu.

"Aku lapar." Tangis anak perempuan itu.

Nyoto kebingungan mengetahui ada seorang anak perempuan yang memanggil istrinya ibu di rumah yang dibangun di tanah warisan keluarganya. Tetapi kebingungannya segera berakhir setelah memastikan kemiripan wajah istrinya dengan anak perempuan itu.

"Masuk ke kamar Sana!" Perintah istrinya kepada anak perempuan itu.

"Siapa dia Wit?" Nyoto mulai marah. Dia berdiri dari tempat duduknya sambil mengangkat piringnya. Dia ingin melemparkan piringnya ke tanah sebagai pelampiasan emosinya.

"Dia anakku dengan suami baruku." Sawitri, istrinya menangis ketakutan.

" Kamu punya suami lagi? Di mana anak-anakku?"

Sawitri mengangguk. "Suamiku sedang menjemputnya."

Nyoto berjalan keluar dari tempat makan. Dia duduk di kursi tamu dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Piringnya dia taruh di atas meja tamu. Dia lanjutkan makan. "Siapa nama suamimu?" Ucapnya tegas.

Sawitri duduk di sampingnya. Dia menangis ketakutan. "Maafkan aku To. Aku tidak bermaksud mengkhianatimu."

"Jika saja dulu mereka berempat tidak bermaksud memperkosamu, mungkin aku akan membiarkan mereka mengambil seluruh hartaku tanpa pertumpahan darah." Nyoto meneteskan air mata. "Tetapi kamu membalasnya dengan seperti ini." Dia melanjutkan makannya.

"Aku sangat menderita saat kamu di penjara. Aku tidak bisa membesarkan anak kita sendiri." Sawitri terus menangis. Tampak rasa penyesalan yang sangat besar di mukanya.

"Pa, aku besok belikan handphone baru ya?"

Terdengar seorang anak muda berbicara pada seorang lelaki. Lelaki itu kemudian menjawabnya. "Iya. Nanti aku belikan online." Mereka berdua memasuki pintu dan kemudian berhenti tepat di samping kursi tamu.

"Siapa dia Ma?"

Sawitri mengusap air matanya. "Dia.. "

Nyoto kemudian berdiri. Dia dengan tegar memotong ucapan Sawitri. "Aku kakak kelas Mamamu." Nyoto memperhatikan foto-foto yang ada di dinding. Tetapi tidak satupun fotonya terpampang di sana.

"Perkenalkan aku Badrul."

"Di mana Faisal?"

"Dia tadi  mampir masjid untuk sholat Isya'."

"Ya sudah, Aku ingin pamit dulu. Salam kenal Rul, dan ... " Nyoto memandangi suami Sawitri.

"Rohman."

Nyoto keluar rumahnya dengan tanpa tujuan. Dia ingin mengambil jalan kekerasan tetapi dia tidak ingin merusak kebahagiaan anaknya. Mungkin Badrul lebih baik tidak mengenalinya, katimbang mengetahui bahwa dirinya memiliki ayah seorang pembunuh, pikirnya. Dia menekan rasa emosi dan kesedihannya. Dia berusaha keras mengingat ilmu-ilmu pengendalian emosi yang diajarkan oleh guru spiritualnya saat masih di penjara. Dia mencoba mengalirkan semua perasaannya ke luar tubuhnya dan membuka semua labirin yang menjebak pikirannya. Dia berjalan dengan tanpa menoleh kebelakang.

Dalam perjalanannya, dia ingat bagaimana semua umpatan terucap sebelum ludah-ludah mengenai mukanya. Bagaimana batu-batu melayang sebelum akhirnya mengenai mukanya. Semuanya terasa begitu cepat saat itu. Setidaknya lebih lambat dari beberapa hari sebelumnya, saat dia baru saja membakar empat orang perampok yang hendak memperkosa istrinya. Jauh di dalam hatinya dia terus saja mengulang, " Setidaknya aku pernah mencoba berjuang untuk menjaga amanahku sebagai seorang suami."

Di depan masjid, Pak Raharjo telah berdiri menunggunya. Dia tersenyum sambil membuka tangannya lebar, memberikan isyarat agar Nyoto menghampirinya. Nyoto berdiri terpaku di tepi jalan, memandangi penyelamatnya dan kemudian menghampirinya. Mereka berdua berpelukan. Sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Nyoto, Pak Raharjo berbisik, " Aku harap kamu tahu, betapa bangganya diriku yang telah mengenalmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun