Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Paradoks

8 Desember 2019   13:30 Diperbarui: 8 Desember 2019   14:02 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber dari wallpaperflare.com diakses 13:28 08-12-2019

Seketika cahaya bulan malam terasa meredup. Udara pengap mendekap erat tubuhnya bersama kelaparan yang menggerogoti lambungnya. Sementara kepalanya masih terus saja memikirkan tentang kesemuan yang tidak pernah dapat disentuhnya.

" Bukankah orang harus berbuat baik? Memberi tanpa meminta balas, mengasihi tanpa meminta cinta? Aku telah melakukan semuanya Pak, seperti yang telah kamu ajarkan." Disandarkan kepalanya pada sebuah batu kecil yang dilapisi kain sarung.

Sebenarnya dia tidak hidup sendiri di bumi ini. Dia memiliki keluarga yang juga menyayanginya. Beberapa kali keluarganya mencari keberadaannya dan terakhir terjadi dua bulan lalu. Kebetulan dia berjumpa dengan pamannya yang sedang menjajakan fotonya ke orang-orang yang lewat depan pasar Induk. Tetapi dengan penampilannya sekarang, siapa yang dapat mengenalinya?

" Pak, Anda pernah lihat orang ini?" Tunjuk pamannya pada sebuah foto berukuran 4 R yang telah dilaminasi.

" Tidak."

" Atau anda pernah mendengar nama ini di daerah sini?" Pamannya menunjukkan tulisan yang dicetak tebal dibalik foto itu. Terlihat tulisan " Sudiro Pramono".

" Aku tidak mengenalnya." Jawab bapak-bapak berbaju batik dengan kaca mata rabun yang cukup tebal.

" Dia terakhir diketahui orang beredar di sini." Pamannya memaksakan penjelasannya.

Dia menyaksikan adegan itu. Memperhatikannya dari samping tempat sampah dengan rambut kumal merah, tubuh yang tinggal tulang belulang, dan tatapan kosong yang tidak memiliki makna. Dia tidak ingin kabur layaknya orang-orang yang tidak ingin ditemukan. Dia tidak pula berharap agar pamannya dapat mengenalinya meskipun jarak keduanya hanya terpisah oleh satu gerobak es dawet yang ramai pembeli. Perasaannya mendorong agar dirinya menyapa Pamannya. Namun kesemuan dalam pikirannya terus saja memaksa agar dirinya tetap memendam keinginannya.

Dia dapat mengingat dengan jelas aksi putus asa pamannya, mata sayu dan muka yang penuh kepedihan. Bagian yang paling nyata adalah langkah gontai pamannya saat meninggalkan Pasar Induk, yang mampu teramati olehnya dari sudut pasar yang terabaikan. Ingatan semacam itulah yang selalu menghiasi malam-malam sebelum dirinya tertidur.

 " Makanlah bersamaku!" seorang lelaki dengan jaket kulit duduk di sampingnya.

" Siapa kamu?" Dia bangkit dari tidurnya.

" Satu-satunya orang yang mengenalimu." Senyuman lelaki itu mengingatkannya pada wawan teman SMPnya.

"Wawan?"

Lelaki itu mengangguk. "Aku santri bapakmu. Kamu pasti ingat saat pengajian dulu, aku selalu datang terlambat."

"Ya" Jawabnya datar. "Aku mengira sudah tidak seorangpun mengenaliku."

" Masih banyak yang mengenalimu di sini. Mereka biasanya sengaja membuang makanannya yang masih bagus ke dekat tempat sampah agar dapat kamu makan."

"selesai makan, aku harus segera meninggalkan tempat ini."

" Sebentar, aku tidak bermaksud mengusirmu. Aku hanya ingin memastikan bahwa kabar tentang kegilaanmu itu tidak benar."

"Untuk apa?"

" Sepeninggal bapakmu, kami semua kehilangan panutan. Kami kehilangan orang yang dapat mengingatkan kami."

" Aku tidak peduli."

Dia pergi meninggalkan Pasar Induk. Berjalan sejauh kakinya mampu bertahan. Ketika kakinya terasa nyeri, dia mencari sebuah pohon besar untuk digunakannya beristirahat. Dia tidak pernah menetap di suatu tempat selama lebih dari satu hari. Saat merasa lapar dan haus, Dia meminum atau memakan sisa makanan yang ditemukannya berserakan di pinggir jalan.

Kota demi kota telah terlewati. Ribuan orang telah dia jumpai. Tetapi kesemuan itu masih menghantuinya. Dia terus mengingat perkataan bapaknya, " Manusia itu orang yang dapat berguna bagi sesamanya." Dia mencoba memikirkannya. Menginginkan sesuatu yang ada dalam dirinya dapat segera terselesaikan. Tentang kematian bapaknya dan pernikahan ibu dengan pamannya.

" Aku ingin menikahi ibumu untuk memastikan agar adik-adikmu tidak terlantar." Ujar pamannya saat baru saja selesai masa iddah ibunya.

Dia merasa cukup dewasa untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya. Dia merasa mampu untuk mengelola segala yang ditinggalkan oleh bapaknya. Tidak terkecuali dengan yayasan yang membawahi beberapa sekolah dan pondok pesantren itu. Pernikahan Ibu dan Pamannya memang bukan sesuatu yang terlarang secara agama. Dengan niatan baik pamannya untuk menjadikan ibu sebagai istri keduanya bisa dianggap mulia. Tetapi Dia masih saja berpikiran negatif. Mungkin itu karena jawaban ibunya atas pinangan pamannya yang terkesan aneh.

" Sebenarnya aku tidak keberatan untuk menjadi istri kedua pamanmu. Lagi pula dia juga seorang yang baik. Tinggal kamu saja sekarang yang harus memutuskan." Jawab ibunya sambil tersenyum bahagia. Bahkan sebelum Dia mengemukakan pandangannya.

Pada akhirnya dia menganggukan kepala yang kemudian diartikan oleh paman dan ibunya sebagai tanda setuju. Itu terbukti dengan acara pernikahan keduanya yang diselenggarakan tepat satu minggu setelahnya atau saat peringatan seratus  hari meninggal bapaknya.

Pernikahan keduanya memang yang terbaik, dan itu pula yang membuatnya ikut merestui. Hanya saja lima hari berikutnya, ibu dan pamannya menyodorkan sebuah surat pernyataan yang berisi tentang penyerahan pengelolaan harta kekayaan dan yayasan bapaknya ke mereka berdua. Sesuatu yang kemudian ditandatanganinya karena teringat oleh pesan bapaknya, "Memberi tanpa meminta balas, mengasihi tanpa meminta cinta."

"Bukan, aku harus menghentikan pikiranku." Teriaknya melawan pikirannya. Tanpa di sadarinya, kini dirinya telah berada di tengah hutan. Di bawah pohon besar dengan Kalong yang bergelantungan pada rantingnya. Dia tidak ingin terlarut kembali dalam pikirannya.

"Apakah aku sekarang telah menjadi Anjing Gila layaknya Diogenes?"

 Pikirannya kembali menampilkan sosok dirinya yang berdiri di depan aula yayasan. Dirinya dengan keras berteriak, " Kalian berdua telah bersekongkol untuk menguasa ini semua." Perkataan itu memang ditunjukkan kepada Ibu dan Pamannya. Dua orang yang tiba-tiba merubah haluan hidupnya.

Usianya saat itu sudah 19 tahun. Usia yang cukup matang untuk mengelola yayasan terbesar di kecamatan. Sebenarnya dirinya telah mengajar sejak berusia 15 tahun. Pada usia semuda itu, dia mengajar tafsir Jalalain, Imriti, Tafrihatul Wildan dan Sulam Taufiq. Kitab-kitab multi disiplin ilmu. Dengan pengalamannya itu, bukanlah sesuatu yang sulit baginya untuk mengajar materi yang biasa diajarkan bapaknya. Tetapi siapa yang dapat berkata tentang takdir?

Setelah ditandatanganinya surat pernyataan itu, kabar mengenai kegilaannya tiba-tiba menjalar cepat ke seluruh desa dan mungkin juga telah sampai pada pelosok-pelosok kecamatan. "Penerus Pak Kyai Hasyim gila. Dia tidak sanggup ditinggal oleh bapaknya." Sebuah isu yang hanya disandarkan pada kebiasaannya menutup diri di kamar. Bukan itu tepatnya yang membuat dirinya datang ke depan aula sambil berteriak. Melainkan sebuah perlakuan dari pamannya yang selalu memintanya untuk tidak mengajar dengan alasan kesehatan.

Sementara itu, Kalong terbang berhamburan di atas kepalanya. Mereka pergi mencari buah-buahan yang mungkin tumbuh di sisi lain hutan. Dia duduk di bawah pohon itu sambil membayang sosok Diogenes. "Perlukah aku menjadi Diogenes?"

Diogenes merupakan orang dengan aliran sinisme. Seseorang yang merasa muak dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan keduniawian. Diogenes mencoba menyuwarakan pandangannya denga lantang dan tidak mengkawatirkan apapun.Tetapi Dia justru memandang dunia sebagai alasan untuk meninggalkannya. Kekecewaan tentang perlakuan orang sekitarnya mendorongnya agar menjauhi tanggung jawab sosialnya sebagai manusia. Dia memilih untuk menutup diri, meninggalkan kehidupannya dan berbaik hati dengan semesta.

" Diro, kamu tidak perlu lagi melanjutkan perjalananmu. Dirikanlah sebuah gubuk dan buatlah padepokanmu di sini!."  Sebuah seruan gaib tiba-tiba terdengar nyata. Sebuah seruan layaknya panggilan spiritual yang mampu menyentuh hatinya. Dia menangis haru, sambil membungkukkan badannya ke semak. Bersujud syukur atas petunjuk yang telah di berikan Tuhan.

Dia membayangkan sebuah padepokan yang sangat terkenal berdiri di tengah hutan. Padepokan yang kelak akan membuat paman dan ibunya iri. Dia percaya diri mampu mencapai semua itu. Dia bayangkan pula ibunya datang ke tempatnya dan kemudian meminta maaf atas semua yang telah terjadi.

Tiba-tiba suara tembakan terdengar keras. Dia membalikkan badan dan tubuhnya terasa nyeri. Dari dadanya terlihat darah yang mengalir deras. Ranting-ranting dan dedaunan yang menghiasi langitpun mulai tampak buram. Dari kejauhan terdengar suara teriakan seorang lelaki.

" Kita salah sasaran. Itu bukan kijang." Teriak lelaki satunya.

" Owh, ini Diro. Anak Kyai Hasyim yang telah membunuh ibunya beberapa bulan lalu. " Teriak lainnya.

" Dia teman SMPku." Lelaki lainnya lagi menangis. " Aku santri bapaknya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun