Mohon tunggu...
Safri Barung
Safri Barung Mohon Tunggu... Guru di SMP NEGERI 3 NDOSO. Guru Penggerak Angkatan 7

Menyanyi, Memasak, Cari Kayu Ap. dll

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Farli, Si Anak Disleksia

1 Oktober 2025   08:15 Diperbarui: 1 Oktober 2025   07:22 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senyum Farli dan Dunia yang Terbalik

Farli itu seperti matahari kecil di kelas 8 SMPN 3 Ndoso. Rambutnya ikal, kulitnya sawo matang khas anak Manggarai, dan senyumnya—ah, senyum Farli itu menular. Bahkan Ibu Guru Minika yang terkenal galak pun kadang tak kuasa menahan senyum saat Farli mengangkat tangan, menjawab dengan semangat yang meletup-letup, walau jawabannya seringkali meleset jauh.

Masalah Farli hanya satu: membaca.

Bagi anak lain, huruf adalah alat. Mereka merangkainya menjadi kata, kata menjadi kalimat, dan kalimat menjadi pengetahuan. Tapi bagi Farli, huruf-huruf di buku paket itu adalah segerombolan semut yang sedang lari-larian. Mereka melompat, berputar, dan bertukar tempat. Huruf 'b' dan 'd' adalah kembar identik yang suka sekali bermain petak umpet. Kata "susu" bisa jadi terbaca "usus" di matanya. Farli didiagnosis disleksia, sebuah kondisi yang membuat otaknya memproses huruf secara berbeda.

Setiap pelajaran Bahasa Indonesia, saat Bu Guru Monika meminta murid maju satu per satu untuk membaca paragraf, jantung Farli seperti sedang main drum di dadanya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

"Farli, giliranmu," kata Bu Monika dengan lembut.

Farli maju. Ia berdiri di depan kelas, memegang buku yang terasa berat sekali, seolah isinya adalah batu-batu. Ia menatap paragraf tentang sejarah lokal, mencoba fokus, tapi yang ia lihat hanya kekacauan.

"A-a-nak... s-s-s... p-p-po... p-p-po..." Farli terdiam. Wajahnya memerah. Ia tahu teman-temannya sedang menahan tawa, atau mungkin menahan rasa kasihan.

Tiba-tiba, teman sebangkunya, Lucky, berbisik, "Pahlawan."

Farli mengangguk cepat. "Anak pahlawan—" ia melanjutkan, suaranya pelan. Sampai di baris berikutnya, ia macet lagi. Ia menyerah. Ia tutup buku itu pelan-pelan.

"Maaf, Bu. Saya... saya lupa kacamata," dalihnya, padahal ia tak pernah pakai kacamata. Ia kembali ke bangku, menunduk. Rasa malu itu tebal dan dingin.

Namun, rasa malu itu tak pernah bertahan lama.

Saat pelajaran berganti ke Pelajaran Seni, Farli kembali menjadi dirinya yang ceria. Ia tak perlu membaca not balok yang rumit. Ia hanya perlu merasa. Ketika Pak Guru Matheus memainkan gitar, Farli adalah yang pertama bersenandung. Saat Pak Guru meminta mereka membuat melodi sederhana, Farli bersiul dengan nada yang unik, ceria, dan sangat mudah diingat.

"Bagus sekali, Farli! Melodimu itu seperti lari di padang rumput!" puji Pak Matheus.

Farli tertawa lebar. "Terima kasih, Pak! Di kepala saya, melodi itu seperti warna kuning!"

Di pelajaran Pendidikan Jasmani, Farli adalah bintangnya. Ia lincah, kakinya seolah tak kenal lelah. Ia adalah kapten tim sepak bolq kelas yang selalu tahu kapan harus mengoper dan kapan harus menendang. Ia tak perlu membaca strategi dari papan tulis; ia hanya perlu membaca pergerakan lapangan, dan itu lebih mudah baginya daripada membaca satu kalimat.

"Kita harus oper pendek, Niko! Mereka terlalu fokus ke kiri!" teriak Farli saat istirahat, memimpin teman-temannya dalam permainan. Strategi yang ia berikan tanpa membaca itu selalu efektif.

Suatu sore, sepulang sekolah, Bu Monika memanggil Farli. Farli kira ia akan dimarahi karena nilai ulangannya yang lagi-lagi jelek di bagian esai.

"Farli, Ibu tahu kamu kesulitan membaca," kata Bu Rina, tatapannya hangat. "Ibu tahu kamu anak yang cerdas. Kamu hanya berbeda."

Farli menggigit bibir. Ia pikir ia harus membela diri. "Saya bodoh, Bu."

Bu Monika menggeleng. Ia mengambil sebuah buku bergambar tebal tentang budaya Manggarai. "Kamu bisa mendengarkan, kan?"

"Sangat bisa, Bu."

"Dan kamu bisa mengingat cerita?"

"Tidak pernah lupa, Bu," jawab Farli bangga.

Bu Rina tersenyum. "Kalau begitu, ayo kita ubah. Kamu tidak perlu membaca. Kamu hanya perlu belajar dengan caramu."

Mulai hari itu, Farli punya tugas khusus. Ketika ada tugas presentasi kelompok, Farli tidak perlu membaca materi dari buku. Teman-temannya yang membaca dan merangkumnya untuk Farli dalam bentuk cerita lisan atau diagram gambar besar. Tugas Farli adalah menceritakan ulang materi itu di depan kelas dengan gaya bicaranya yang penuh semangat dan energi.

Saat presentasi Ilmu Pengetahuan Alam tentang rantai makanan, Farli maju dengan percaya diri. Ia tidak memegang catatan. Ia bercerita:

"Singa itu seperti bos besar! Dia lapar, dia harus makan rusa. Rusa itu seperti 'pegawai' yang makannya rumput, 'kantornya' di hutan. Kalau singa tidak ada, rusa terlalu banyak, rumput habis. Semua harus seimbang. Sama seperti di desa kita!"

Kelas tertawa. Presentasinya adalah yang paling ditunggu. Ia menjelaskan materi yang kompleks menjadi hidup, penuh warna, dan mudah dipahami, tanpa membaca satu kata pun.

Farli sadar. Dunia memang terbalik di matanya. Huruf dan angka berloncatan. Tapi itu tidak menjadikannya pecundang. Itu menjadikannya berbeda. Ia punya kekuatan yang lain: keceriaan yang tak pernah padam, imajinasi yang liar, dan kemampuan bercerita yang luar biasa.

Farli memang tidak bisa membaca. Tapi ia bisa "membaca" hati teman-temannya, "membaca" suasana lapangan, dan "membaca" sebuah melodi.

Di SMPN 3 Ndoso, Farli tetap Farli. Anak yang kesulitan membaca, tapi selalu ceria, karena ia sudah menemukan jalannya untuk tetap bersinar. Ia adalah bukti bahwa kecerdasan tidak selalu harus dieja, kadang cukup dirasakan dan diungkapkan dengan senyum yang menawan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun