"Dan kamu bisa mengingat cerita?"
"Tidak pernah lupa, Bu," jawab Farli bangga.
Bu Rina tersenyum. "Kalau begitu, ayo kita ubah. Kamu tidak perlu membaca. Kamu hanya perlu belajar dengan caramu."
Mulai hari itu, Farli punya tugas khusus. Ketika ada tugas presentasi kelompok, Farli tidak perlu membaca materi dari buku. Teman-temannya yang membaca dan merangkumnya untuk Farli dalam bentuk cerita lisan atau diagram gambar besar. Tugas Farli adalah menceritakan ulang materi itu di depan kelas dengan gaya bicaranya yang penuh semangat dan energi.
Saat presentasi Ilmu Pengetahuan Alam tentang rantai makanan, Farli maju dengan percaya diri. Ia tidak memegang catatan. Ia bercerita:
"Singa itu seperti bos besar! Dia lapar, dia harus makan rusa. Rusa itu seperti 'pegawai' yang makannya rumput, 'kantornya' di hutan. Kalau singa tidak ada, rusa terlalu banyak, rumput habis. Semua harus seimbang. Sama seperti di desa kita!"
Kelas tertawa. Presentasinya adalah yang paling ditunggu. Ia menjelaskan materi yang kompleks menjadi hidup, penuh warna, dan mudah dipahami, tanpa membaca satu kata pun.
Farli sadar. Dunia memang terbalik di matanya. Huruf dan angka berloncatan. Tapi itu tidak menjadikannya pecundang. Itu menjadikannya berbeda. Ia punya kekuatan yang lain: keceriaan yang tak pernah padam, imajinasi yang liar, dan kemampuan bercerita yang luar biasa.
Farli memang tidak bisa membaca. Tapi ia bisa "membaca" hati teman-temannya, "membaca" suasana lapangan, dan "membaca" sebuah melodi.
Di SMPN 3 Ndoso, Farli tetap Farli. Anak yang kesulitan membaca, tapi selalu ceria, karena ia sudah menemukan jalannya untuk tetap bersinar. Ia adalah bukti bahwa kecerdasan tidak selalu harus dieja, kadang cukup dirasakan dan diungkapkan dengan senyum yang menawan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI