Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... Guru - Selamat Datang di Profil Saya

Minat dengan karya tulis seperi Puisi, Cerpen, dan karya fiksi lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Lereping Lintang ing Langit Wulan Desember"

29 Desember 2020   16:10 Diperbarui: 29 Desember 2020   16:25 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar ilustrasi: reviewsteknologiku.tech)

(Natalan yang Hilang)

"Selamat Hari Natal dan Tahun Baru  Semoga Damai di Bumi Damai di Hati"  kukirimkan SMS ucapan Natal kepada temanku sesama guru di SMK swasta, sekolah tempatku mengajar. Begitulah, dan sudah menjadi kebiasaan atau adat masyarakat mengucapkan selamat merayakan pada hari-hari tertentu. Pada hari-hari besar agama seperti Hari Raya Idul Fitri atau Hari Natal yang digandengkan dengan Tahun Baru.

Demikian pula aku juga sering dapat SMS ucapan Natal atau Idul Fitri dari teman-temanku. Yaaah maklum, aku mengajar di SMK swasta perguruan Kristen untuk menambah jam mengajar sebagai syarat mendapatkan sertifikasi dan  aku juga guru tetap di SMP Katolik. Mereka teman-temanku menganggap aku seorang Nasrani padahal aku muslimah tapi  tak pernah memakai hijab.

Theeeerrr .... theeeeerrr .... bunyi suara bergetar. Oooh ... itu hp-ku bergetar ada SMS masuk.  Kuraih hp yang tergeletak di atas bufet, kubuka, "Ooo ... dari Bu Siswati yang tadi kukirimi ucapan Natal"  aku membatin. 

Kubaca, "Nuwun sewu, saya muslimah, njenengan keliru, saya tak bisa menerima ucapan Natal. Pangapunten, nggih," begitulah jawaban temanku sama-sama guru pocokan, guru yang terpaksa nambah jam mengajar karena sertifikasi sepertiku. Aku kecelik, kukira ia Kristen. 

"Ooooh .... nggih ... mohon maaf ... nyuwun gung ing pangapunten, Bu. Maaf ..." kubalas SMS-nya.

Heran aku. Entah kena apa sekarang banyak orang sensitif pada agama. Dulu jarang bahkan tak pernah ada perdebatan apalagi penolakan masalah ucapan-ucapan Natal. Dulu, ucapan-ucapan Natal dan Tahun Baru sudah menjadi kebiasaan sesrawungan masyarakat. Baik saat berjumpa di kumpulan menjelang dan sesudah Natal atau memakai kartu ucapan. 

Dulu belum banyak orang memiliki HP apalagi yang android tapi kebiasaan ucapan-ucapan itu sudah bisa dikatakan tradisi. Seperti halnya di lingkungan RT-ku. Menjelang Natal, ibu-ibu pengurus PKK RT   yang beragama Kristiani membentuk panitia untuk perayaan Natal.

Ada tujuh keluarga Nasrani di RT-ku. Empat Katolik dan dua Kristen Jawa dan satu Pantekosta. Aku sering dijadikan seksi kosumsi karena pinter masak. Entahlah mereka juga sering menyampaikan ucapan Natal padaku baik itu tetangga se-RT ataupun teman-teman sejawat sesama profesi,  sebab suamiku seorang Katolik sama-sama guru dan mengajar di SMA Negeri.

Saat Natal para ibu-ibu pengurus PKK RT itu menyambangi para keluarga Nasrani  untuk bersalaman mengucapkan Selamat Natal dan para keluarga Kristiani sudah mempersiapkan  kue-kue  untuk oleh-oleh bingkisan para ibu yang berkunjung. 

Begitulah kehidupan sesrawungan di lingkungan RT-ku sangat harmonis, saling menghormati, saling mengucapkan selamat saat merayakan hari-hari besar keagamaan mereka. Saat Idul Fitri dan Idul Adha tak perlu saya ceritakan, jelas lebih meriah dan guyub rukun berhalal bihalal, saling bermaaf-maafan.

Tapi kini?  Lha, SMS ucapan Natal yang kukirim pada Bu Siswati dibalas begitu? Saya jadi teringat ketika saya mengirim ucapan Natal pada teman tapi salah alamat. Ucapan Natal itu nyasar ke seorang pemuda. Dia lalu membalasnya dengan memaki-maki. Katanya ia seorang muslim menolak keras menerima ucapan Natal, haram kalau ia membalas ucapan itu. Hati-hati, jangan kirim ucapan Natal sembarangan. Wouu ... mak dheg, aku dheg-dhegan jadinya.

Menjelang akhir tahun ini akupun jadi gamang ragu-ragu, apakah akan ada perayaan Natal yang diselenggarakan para pengurus ibu-ibu PKK RT atau ditiadakan. Biasanya aku didapuk jadi seksi kosumsi, tapi kok masih amleng-amleng saja tak ada info dan rapat pembentukan panitia? Sampai suatu malam pada rapat RT.

"Sedherek-sedherek, assalamulaikuuuummm ...." Pak Joko salah satu warga yang senang main keroncong membuka usulan di hadapan warga yang mengikuti kumpulan RT yang diselenggarakan setiap tanggal sembilan. "Tahun baru yang sering diselenggarakan di kota, di alun-alun atau di tempat strategis di tempat-tempat hiburan kerap membuat anak-anak muda kita jadi hura-hura semalam suntuk di kota."

Pak Joko batuk-batuk sebentar lalu nyruput teh panas di gelas dihadapannya, "Kula gadhah usul. Bagaimana kalau malam tahun baru tahun ini, RT merayakannya?" begitulah usul Pak Joko. 

Para warga hanya diam saja, belum ada yang merespon, mereka lagi asyik makan sroto suguhan tuan rumah. "Mangga dipun wontenaken acara tahun baru di rumah saya. Di halaman rumah saya kayanya cukup, medang-medang sambil berkesenian, main kroncong. Ben bocah-bocah ora klayaban maring kota nganti gagat esuk. Bagaimana, Sedherek-sedherek?"

Warga mulai gemrenggeng. Lalu seorang warga yang duduk di sofa di ruang tamu itu menanggapi,

"Saudara-saudara ... assalamulaikum waromahtulloh wa barokatuuuh .... " Oh .. Pak Muchsin yang kumisnya tebal kaya Muchsin Alatas penyanyi dangdut suaminya Titik Sandhora yang menanggapi. "Wassalamualaikum warohmahtulloh wabarokatuuuhh ..." para hadir membalas salam Pak Muchsin yang mantan ketua RT.

"Begini. Saya kurang sreg bila RT sering mengadakan acara-acara, kegiatan-kegiatan. Apalagi kalau acara ini hanyalah kegiatan hura-hura. Sayang, iuran warga untuk kas RT atau tarikan sumbangan warga kalau digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat," warga masih kasak-kusuk belum ada yang menanggapi. 

Pak Mantan RT lalu melanjutkan, "Kalau mau mengadakan kegiatan ya buatlah kegiatan keagamaan. Agar warga tersiram percikan rohani dan dapat bekal untuk nanti menghadap Allah" Pak Muchsin mengakhiri tausiyaahnya lalu duduk kembali ke sofa.

Aku terhenyak. Aku yang mengikuti kumpulan RT malam itu, mewakili suamiku yang berhalangan hadir karena sedang ke luar kota. Aku juga mewakili pengurus ibu-ibu PKK RT. 

Kuberanikan diri aku berpendapat, "Kulanuwuuuunnnn .... Sedherek-sedherek. Nyuwun pangapunten sederengipun, nggih. Kula sengkuyungn niku, usulan Pak Muchsin. Menurut saya kalau mau mengadakan acara keagamaan di akhir tahun pada bulan Desember ya, Natalan!" Serentak para warga yang hadir ikut kumpulan RT, ndhongak  fokus menatapku. Nekad, kulanjutkan,

"Nuwun sewu. Acara Natalan di lingkungan RT kita ini dari jaman dahulu selalu diadakan dan sudah menjadi kebiasaan," aku berhenti sejenak melihat reaksi warga. Mereka grenengan. "Tapi Desember tahun ini kelihatannya amleng-amleng saja tak ada greget," terus, kuberanikan diri, "Nuwun sewu Pak RT. Niku Bu RT ketua PKK RT, kados pundi kalau di akhir tahun ini diadakan acara keagamaan yaitu Natalan!"

Sampai menjelang kumpulan RT selesai dan ditutup dengan doa oleh Pak Kyai tidak ada yang menanggapi usulanku. Para warga pun pamit, kelilan pulang ke rumah masing-masing. Tak ada tanggapan atau pendapat  mengenai usulan Pak Joko, Pak Muchsin, apalagi usulanku. Masalah acara keagamaan pada bulan Desember di akhir tahun mungkin mengendap di benak warga masing-masing. Beku tak ada reaksi, tak bermakna bagi mereka, sekali pun di benak warga yang dulu selalu ikut merayakan acara Natalan RT yang diselenggarakan keluarga Nasrani, diselenggarakan oleh pengurus PKK RT.

Sampai di rumah, aku tercenung. Mengapa kebiasaan saling bersilaturahmi, saling menghargai dan menghormati pada hari-hari perayaan agama kini tak semeriah dulu? Tak berwarna-warni guyub rukun tak membedakan agama dan kepercayaan. Walau  hanya mengucapkan selamat Natal di medsos menjadi kisruh. Tak ada  lagi penyelenggarakan perayaan Natal di lingkungan warga terkecil, di lingkungan RT. Dahulu, seperti nyadran, suran atau ruwat bumi,  diselenggarakan desa. Sekarang tak ada. Mengapa? Entahlah?

Sampai larut malan aku tak bisa tidur. Kukabarkan pada suami yang tengah berada di luar kota bahwa usulku untuk menghidupkan kembali kebiasaan acara Natalan di RT telah gagal. 

Suamiku menjawab dengan mengirimkan informasi cukup panjang di wa-ku, "Bu, Ini kukutip dari CNN Indonesia - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Selasa (23/12), mengatakan fatwa yang pernah dikeluarkan MUI soal Natal tidak spesifik melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal. Fatwa tersebut hanya mengharamkan umat Islam untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Natal. Ada tiga hal yang diatur dalam fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 1981 itu, yaitu: Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, tetapi Natal  tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak  mengikuti kegiatan-kegiatan Natal"

Bedhug subuh lalu diikuti azan subuh berkumandang. Aku segera ke kamar mandi untuk wudhu mau sholat subuh. Akan kuadukan pada Gusti Allah ingkang Murbeng Dumadi pada dzikir nanti mengapa kegiatan indah penuh warna pada Bulan Desember itu telah hilang?

Mengapa bintang cemlorot di langit penuh kedamaian, keberagaman, saling menghargai, saling menghormati bersama-sama merayakan dan menyambutnya tanpa ada perbedaan makin pudar nyaris musna? Oooo .. sudah terjadi lereping lintang ing langit wulan Desember. Mengapa? Entahlah .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun