Dalam konteks NATO dan Rusia, kedua pihak sama-sama menuduh satu sama lain melanggar prinsip Piagam PBB, tetapi bukti yang dikemukakan sering kali bersifat tidak langsung.
Selain itu, perang hibrida juga mengikis prinsip jus ad bellum (hak untuk berperang) dan jus in bello (etika dalam perang). Perang ini tidak memiliki garis depan yang jelas, tidak selalu melibatkan kombatan berseragam, dan sering kali menargetkan masyarakat sipil melalui manipulasi informasi dan tekanan ekonomi.
Dengan demikian, perang hibrida memperluas definisi korban perang hingga mencakup masyarakat yang terdampak secara psikologis, ekonomi, dan sosial, bahkan tanpa terlibat langsung dalam pertempuran.
Akhir kata, Perang hibrida antara NATO dan Rusia menandai babak baru dalam sejarah konflik global. Ini bukan sekadar perang antara dua kekuatan militer, melainkan pertarungan ideologi, ekonomi, dan teknologi yang memengaruhi tatanan dunia.
Jika perang dingin dahulu ditandai dengan perlombaan nuklir dan ideologi, maka perang hibrida kini ditandai dengan dominasi informasi, kontrol data, dan perang persepsi. Dalam kondisi ini, kekuatan tidak lagi hanya diukur dari jumlah tank atau misil, tetapi juga dari kemampuan memengaruhi opini publik, menguasai ruang siber, dan menundukkan musuh melalui tekanan non-militer.
NATO dan Rusia sama-sama berupaya menyesuaikan strategi mereka dengan era baru ini. NATO memperkuat koordinasi intelijen, meningkatkan kemampuan siber, dan mengembangkan teknologi pertahanan digital. Sementara Rusia terus mengandalkan fleksibilitas taktik, operasi rahasia, dan kemampuan propaganda yang efektif.
Pertarungan ini tampaknya tidak akan segera berakhir, karena keduanya kini terjebak dalam lingkaran saling curiga yang sulit dipecahkan. Dunia berada di ambang paradigma keamanan baru, di mana perang tidak lagi selalu disertai ledakan bom, tetapi dapat dimulai dari satu pesan palsu di media sosial.
Dengan demikian, perang hibrida NATO vs Rusia menjadi cermin dari kompleksitas dunia modern yang saling terhubung namun rentan terhadap manipulasi. Dalam era globalisasi informasi, pertempuran tidak lagi hanya untuk merebut wilayah, melainkan untuk merebut kebenaran dan legitimasi.
Selama strategi hibrida terus digunakan sebagai alat politik, dunia akan tetap hidup dalam bayang-bayang perang yang tidak pernah benar-benar diumumkan, tetapi selalu terasa di setiap layar komputer, pasar global, dan kebijakan internasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI