Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

New World

Perang Hibrida Aliansi NATO vs Rusia

10 Oktober 2025   22:44 Diperbarui: 10 Oktober 2025   22:44 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini menunjukkan bahwa baik NATO maupun Rusia sama-sama menggunakan strategi "perang tanpa perang" yakni perang yang melibatkan semua instrumen kekuasaan kecuali deklarasi perang formal.

Aspek lain dari perang hibrida yang sering luput dari perhatian adalah dimensi diplomatik dan psikologis. Rusia berusaha menggoyahkan solidaritas internal NATO dengan memanfaatkan perbedaan pandangan politik antarnegara anggota.

Misalnya, Rusia mencoba menarik simpati publik di negara-negara Eropa yang memiliki hubungan ekonomi dengan Moskow, seperti Jerman, Slovakia, dan Hungaria. Melalui diplomasi publik, Rusia mengirim pesan bahwa NATO hanyalah perpanjangan tangan Amerika Serikat yang mengorbankan kepentingan nasional Eropa demi kepentingan global Washington.

NATO juga menggunakan diplomasi agresif dalam melawan pengaruh Rusia dengan berhasil mengajak bergabung negara-negara yang sebelumnya non-anggota seperti Swedia dan Finlandia. Serta kunjungan diplomatik ke negara non-anggota seperti Georgia memperkuat pesan bahwa Eropa bersatu menghadapi ancaman Rusia.

Strategi psikologis pun digunakan, misalnya dengan menampilkan kekuatan militer dalam latihan gabungan besar-besaran di dekat perbatasan Rusia untuk menunjukkan kemampuan dan kesiapan aliansi. Kedua belah pihak berusaha memproyeksikan citra kekuatan moral dan psikologis demi menjaga kredibilitas dan dukungan publik.

Perang hibrida antara NATO dan Rusia tidak hanya berdampak pada kawasan Eropa, tetapi juga mengubah paradigma keamanan global. Negara-negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika kini mulai mempelajari dan mengadopsi taktik perang hibrida sebagai model baru konflik.

Misalnya, penggunaan milisi proksi, propaganda digital, dan sanksi ekonomi kini menjadi alat standar dalam kebijakan luar negeri banyak negara. Dunia internasional menghadapi dilema baru: sulitnya membedakan antara tindakan defensif dan ofensif dalam konteks hibrida. Batas antara perang dan damai menjadi semakin kabur, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum internasional.

Konflik ini juga menguji efektivitas lembaga multilateral seperti PBB. Banyak negara menilai bahwa mekanisme hukum internasional tidak mampu menangani bentuk perang non-konvensional seperti ini.

Akibatnya, muncul kebutuhan untuk memperbarui konsep keamanan kolektif yang mampu menjawab ancaman hibrida, termasuk keamanan siber, manipulasi informasi, dan dominasi ekonomi. NATO sendiri tengah beradaptasi dengan membentuk struktur baru yang fokus pada pertahanan siber, inovasi teknologi kecerdasan buatan, dan koordinasi keamanan energi.

Kemudian, Perang hibrida menimbulkan pertanyaan serius tentang legitimasi dan etika dalam hubungan internasional. Karena sebagian besar operasi dilakukan secara terselubung, tanggung jawab hukum menjadi sulit ditetapkan.

Misalnya, bagaimana hukum internasional dapat menindak pelaku serangan siber yang identitasnya disembunyikan melalui jaringan anonim? Atau bagaimana menentukan apakah suatu tindakan propaganda digital merupakan pelanggaran kedaulatan suatu negara?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun