Karena itu, Prabowo menerapkan strategi keenam, yaitu politik keseimbangan (balancing politics). Ia berusaha tidak hanya menindak, tetapi juga menetralkan kekuatan-kekuatan lama dengan memberikan ruang bagi mereka yang mau berubah dan berkomitmen pada agenda reformasi.
Pendekatan ini mirip dengan konsep political compromise yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, bahwa stabilitas politik di negara pasca-otoritarian hanya bisa dicapai dengan kompromi antara kekuatan lama dan kekuatan baru, selama nilai-nilai dasar seperti keadilan dan hukum tetap dijunjung, meskupun hal tersebut akan sulit.
Dalam konteks ini, Prabowo memilih jalur taktis: tidak semua lawan harus diperangi, tetapi harus diarahkan. Ia memanfaatkan kekuatan negara untuk mengisolasi mafia yang menolak reformasi dan memberi insentif bagi pelaku bisnis yang mau menjalankan usaha secara bersih. Strategi ini mencerminkan gaya kepemimpinan realist-nationalist pragmatis dalam politik, namun keras dalam prinsip.
Prabowo juga menempatkan peran militer dan intelijen sebagai instrumen pendukung kebijakan antikorupsi. Dalam sejarahnya, militer Indonesia memiliki kemampuan logistik dan kedisiplinan tinggi yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pengawasan di sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan logistik nasional.
Prabowo tidak bermaksud mengembalikan dominasi militer di ranah sipil, melainkan mengoptimalkan fungsi pengamanan ekonomi nasional agar tidak disusupi mafia. Pendekatan ini menimbulkan pro-kontra, namun dalam kerangka keamanan nasional, strategi ini dapat dianggap sebagai langkah preventif terutama untuk membackup kejaksaan dalam menjalankan tugasnya.
Lebih jauh lagi, Prabowo menyadari pentingnya kerja sama internasional dalam memerangi korupsi dan mafia lintas negara. Di era globalisasi, praktik pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyelundupan tidak bisa ditangani secara nasional semata.
Oleh karena itu, pemerintahannya perlu memperkuat kolaborasi dengan Interpol, Financial Action Task Force (FATF), dan negara-negara mitra ASEAN dalam pelacakan aset koruptor di luar negeri. Prabowo menegaskan bahwa aset negara yang dicuri harus dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Dalam jangka panjang, strategi Prabowo tidak hanya diarahkan untuk menegakkan hukum, tetapi juga membangun fondasi etika pemerintahan yang baru. Ia ingin meninggalkan warisan berupa sistem yang tahan terhadap korupsi, bukan sekadar mengganti aktor korup dengan yang baru.
Prinsip ini sejalan dengan teori institutionalism yang dikemukakan oleh Douglass North (1990), bahwa pembangunan ekonomi dan politik hanya bisa berkelanjutan jika didukung oleh institusi yang kredibel dan tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan individu.
Melihat keseluruhan pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi taktis Presiden Prabowo dalam memberantas mafia dan koruptor bersifat multidimensional dengan menggabungkan pendekatan hukum, ekonomi, sosial, politik, dan moral. Hal ini tidak hanya fokus pada tindakan represif, tetapi juga pada transformasi sistemik.
Pendekatan ini berbeda dari banyak presiden sebelumnya yang cenderung reaktif terhadap kasus per kasus. Prabowo menekankan pentingnya pencegahan melalui perbaikan struktur, bukan sekadar penindakan terhadap pelaku.