Dalam lanskap politik dan ekonomi Indonesia yang kompleks, isu mengenai membersihkan sistem pemerintahan dari jaringan mafia dan praktik korupsi yang sudah akut dan mengakar selama puluhan tahun menjadi tantangan serius. Tidak terkecuali pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hari ini.
Tugas ini bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi juga misi besar untuk membangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan hukum. Oleh karena itu, strategi taktis yang diterapkan Prabowo menjadi penentu arah perubahan, karena tanpa strategi yang matang, semangat antikorupsi hanya akan berhenti pada slogan politik semata dan minim implementasi nyata.
Prabowo memahami bahwa korupsi dan mafia di Indonesia bukan hanya persoalan moral, melainkan juga sistemik. Mafia bekerja bukan di ruang gelap semata, tetapi sering kali bersembunyi di balik institusi legal dan kekuasaan formal. Mereka menempatkan orang-orangnya di titik strategis birokrasi, mempengaruhi kebijakan, bahkan mengendalikan sektor-sektor vital seperti hukum, energi, pangan, dan logistik.
Karena itu, strategi pertama yang dijalankan oleh Prabowo adalah pendekatan "strategic mapping" pemetaan sistemik terhadap jaringan mafia dan koruptor yang tersebar di berbagai lembaga. Ia menekankan pentingnya intelijen ekonomi dan politik dalam menelusuri akar kekuasaan informal yang memengaruhi kebijakan negara.
Pendekatan ini selaras dengan teori "state capture corruption" yang dijelaskan oleh Hellman, Jones, dan Kaufmann, bahwa korupsi di negara berkembang bukan hanya soal suap, tetapi tentang bagaimana elite ekonomi dan politik menguasai proses pembuatan kebijakan.
Pemetaan ini dilakukan melalui kerja lintas lembaga, di mana Badan Intelijen Negara (BIN), Kementerian Keuangan, Polri, dan Kejaksaan Agung diarahkan untuk berbagi data dan analisis. Langkah ini menggambarkan perubahan paradigm, pemberantasan mafia tidak lagi reaktif, melainkan proaktif.
Prabowo ingin meniru keberhasilan pendekatan berbasis intelijen seperti yang diterapkan di negara Singapura dan Korea Selatan, di mana analisis data dan informasi menjadi fondasi utama untuk membongkar praktik korupsi.
Selain itu, strategi kedua yang tak kalah penting adalah reformasi institusi hukum. Prabowo menyadari bahwa perang melawan korupsi tidak akan berhasil bila lembaga penegak hukum justru terjebak dalam praktik yang sama.
Maka, reformasi diperlukan untuk memperkuat institusi penegak hukum dengan fokus pada tiga aspek: integritas personal, transparansi kelembagaan, dan efisiensi penegakan hukum. Dalam berbagai pidato dan kebijakan awal pemerintahannya, Prabowo menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, dan aparat yang terbukti bermain dengan mafia harus dicopot serta diproses hukum tanpa pandang bulu.
Langkah tersebut sejalan dengan pandangan ahli hukum tata negara, Prof. Mahfud MD, yang menyebut bahwa akar korupsi di Indonesia bukan pada lemahnya hukum, tetapi pada lemahnya moral penegak hukum. Menurutnya, "Undang-undang kita sudah cukup baik, tetapi pelaksanaannya sering kali tidak konsisten. Mafia hukum muncul karena integritas diabaikan dan pengawasan internal tidak berjalan."
Selain pembenahan lembaga hukum, strategi ketiga adalah pembersihan birokrasi dari dalam, atau yang sering disebut dengan internal cleansing. Birokrasi selama ini menjadi ladang subur bagi praktik korupsi, terutama karena sistem administrasi yang berbelit, lambat, dan minim transparansi.
Dalam hal ini, Prabowo perlu mendorong digitalisasi sistem pemerintahan melalui program "e-Government Reform", agar setiap transaksi keuangan negara, perizinan, dan proses pengadaan barang dan jasa bisa diawasi publik secara real-time. Langkah ini merujuk pada konsep good governance yang dikemukakan oleh United Nations Development Programme (UNDP, 1997), bahwa pemerintahan yang baik harus menegakkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Prabowo juga perlu mengadopsi strategi "reward and punishment system"Â bagi aparatur sipil negara. ASN yang berprestasi dan berintegritas akan mendapat penghargaan dan promosi cepat, sementara yang terbukti korup akan dikenakan sanksi berat tanpa kompromi.
Dalam pandangan ekonom Emil Salim, kebijakan seperti ini dapat mengubah perilaku birokrasi dari orientasi kekuasaan menuju orientasi pelayanan. Emil menegaskan, "Korupsi di Indonesia sering muncul karena insentif dan sanksi tidak berjalan seimbang. Jika Prabowo mampu menegakkan sistem penghargaan yang adil, hal itu bisa menjadi revolusi kultural dalam birokrasi."
Strategi keempat yang diterapkan Prabowo adalah penguatan ekonomi rakyat untuk memutus mata rantai ketergantungan terhadap mafia ekonomi. Mafia pangan, energi, dan impor kerap memainkan peran penting dalam menentukan harga dan pasokan kebutuhan pokok.
Dengan memperkuat produksi dalam negeri dan memperpendek rantai distribusi, Prabowo berupaya menghentikan dominasi kelompok-kelompok oligarki ekonomi. Ia meluncurkan kebijakan "Ketahanan Pangan Nasional" dan "Swadaya Energi" namun, kebijakan tersebut perlu diiringi dengan pengawasan ketat agar tidak disusupi kepentingan mafia dagang dan hanya berganti ke pemain baru.
Ketika negara mandiri secara pangan dan energi, ruang gerak mafia otomatis menyempit. Dalam konteks ini, Prabowo tidak sekadar memerangi gejala, melainkan menghapus akar struktural dari ketergantungan yang menciptakan peluang bagi praktik mafia.
Selanjutnya, strategi kelima Prabowo adalah pembangunan narasi nasional tentang integritas dan nasionalisme. Ia memahami bahwa korupsi dan mafia tidak hanya bisa diberantas dengan regulasi, tetapi juga dengan perubahan budaya politik. Prabowo harus menekankan pentingnya pendidikan karakter, kesadaran moral, dan rasa cinta tanah air sebagai benteng melawan perilaku menyimpang.
Dalam pidatonya di awal masa pemerintahan, Prabowo menegaskan bahwa, "Perang melawan korupsi bukan sekadar soal hukum, tapi soal moral bangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang malu mencuri dari rakyatnya sendiri."
Narasi ini harus diperkuat dengan program-program pendidikan antikorupsi di sekolah dan universitas, serta pembentukan Integrity Corps gerakan moral yang melibatkan mahasiswa, LSM, dan tokoh masyarakat untuk menjadi mitra pemerintah dalam mengawasi kebijakan publik. Pendekatan ini juga menggambarkan bahwa perang melawan korupsi tidak hanya berhenti di tangan elit, tetapi menjadi gerakan sosial yang melibatkan seluruh elemen bangsa.
Namun, strategi tersebut tentu tidak berjalan tanpa hambatan. Resistensi dari kelompok kepentingan lama menjadi tantangan serius. Banyak mafia yang memiliki jaringan kuat di lembaga-lembaga penting, bahkan di lingkaran pemerintahan itu sendiri.
Karena itu, Prabowo menerapkan strategi keenam, yaitu politik keseimbangan (balancing politics). Ia berusaha tidak hanya menindak, tetapi juga menetralkan kekuatan-kekuatan lama dengan memberikan ruang bagi mereka yang mau berubah dan berkomitmen pada agenda reformasi.
Pendekatan ini mirip dengan konsep political compromise yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, bahwa stabilitas politik di negara pasca-otoritarian hanya bisa dicapai dengan kompromi antara kekuatan lama dan kekuatan baru, selama nilai-nilai dasar seperti keadilan dan hukum tetap dijunjung, meskupun hal tersebut akan sulit.
Dalam konteks ini, Prabowo memilih jalur taktis: tidak semua lawan harus diperangi, tetapi harus diarahkan. Ia memanfaatkan kekuatan negara untuk mengisolasi mafia yang menolak reformasi dan memberi insentif bagi pelaku bisnis yang mau menjalankan usaha secara bersih. Strategi ini mencerminkan gaya kepemimpinan realist-nationalist pragmatis dalam politik, namun keras dalam prinsip.
Prabowo juga menempatkan peran militer dan intelijen sebagai instrumen pendukung kebijakan antikorupsi. Dalam sejarahnya, militer Indonesia memiliki kemampuan logistik dan kedisiplinan tinggi yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat pengawasan di sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan logistik nasional.
Prabowo tidak bermaksud mengembalikan dominasi militer di ranah sipil, melainkan mengoptimalkan fungsi pengamanan ekonomi nasional agar tidak disusupi mafia. Pendekatan ini menimbulkan pro-kontra, namun dalam kerangka keamanan nasional, strategi ini dapat dianggap sebagai langkah preventif terutama untuk membackup kejaksaan dalam menjalankan tugasnya.
Lebih jauh lagi, Prabowo menyadari pentingnya kerja sama internasional dalam memerangi korupsi dan mafia lintas negara. Di era globalisasi, praktik pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyelundupan tidak bisa ditangani secara nasional semata.
Oleh karena itu, pemerintahannya perlu memperkuat kolaborasi dengan Interpol, Financial Action Task Force (FATF), dan negara-negara mitra ASEAN dalam pelacakan aset koruptor di luar negeri. Prabowo menegaskan bahwa aset negara yang dicuri harus dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Dalam jangka panjang, strategi Prabowo tidak hanya diarahkan untuk menegakkan hukum, tetapi juga membangun fondasi etika pemerintahan yang baru. Ia ingin meninggalkan warisan berupa sistem yang tahan terhadap korupsi, bukan sekadar mengganti aktor korup dengan yang baru.
Prinsip ini sejalan dengan teori institutionalism yang dikemukakan oleh Douglass North (1990), bahwa pembangunan ekonomi dan politik hanya bisa berkelanjutan jika didukung oleh institusi yang kredibel dan tidak mudah dimanipulasi oleh kepentingan individu.
Melihat keseluruhan pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi taktis Presiden Prabowo dalam memberantas mafia dan koruptor bersifat multidimensional dengan menggabungkan pendekatan hukum, ekonomi, sosial, politik, dan moral. Hal ini tidak hanya fokus pada tindakan represif, tetapi juga pada transformasi sistemik.
Pendekatan ini berbeda dari banyak presiden sebelumnya yang cenderung reaktif terhadap kasus per kasus. Prabowo menekankan pentingnya pencegahan melalui perbaikan struktur, bukan sekadar penindakan terhadap pelaku.
Namun, keberhasilan strategi ini bergantung pada konsistensi pelaksanaannya. Jika reformasi hanya berhenti pada level kebijakan tanpa pengawasan publik yang kuat, maka mafia akan menemukan cara baru untuk beradaptasi.
Karena itu, partisipasi masyarakat menjadi kunci keberlanjutan kebijakan ini. Seperti dikatakan oleh pakar hukum korupsi Indonesia, Prof. Romli Atmasasmita "Pemberantasan korupsi adalah urusan bangsa, bukan urusan presiden semata. Presiden bisa menjadi simbol, tetapi rakyat harus menjadi penggerak."
Dalam perspektif jangka panjang, strategi taktis Prabowo dapat menciptakan efek ganda: memperkuat kepercayaan rakyat terhadap negara dan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara yang berani melawan kejahatan terorganisir.
Dunia akan menilai sejauh mana komitmen Indonesia dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Jika strategi ini berhasil, Prabowo akan dikenang bukan hanya sebagai presiden yang kuat secara politik, tetapi juga sebagai pemimpin yang mampu menegakkan moralitas negara di tengah godaan kekuasaan dan oligarki.
Dengan demikian, strategi taktis Presiden Prabowo memberantas mafia dan koruptor bukanlah sekadar rangkaian kebijakan administratif, melainkan perjuangan ideologis untuk mengembalikan kehormatan negara. Ia berusaha mengubah wajah kekuasaan dari sarana memperkaya diri menjadi instrumen pengabdian.
Dalam konteks inilah, perang melawan korupsi bukan hanya pertarungan hukum, tetapi pertarungan nilai antara keserakahan dan pengabdian, antara mafia dan negara. Jika Prabowo mampu memenangkan pertarungan ini, maka Indonesia akan memasuki babak baru sejarah: negara yang tidak lagi tunduk pada kekuatan bayangan, melainkan berdiri tegak atas dasar keadilan dan integritas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI