Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kala Sastra Tak Mampu Mengungkap Realita, Rempang Jadi Tak Terbaca

22 September 2023   14:33 Diperbarui: 22 September 2023   14:36 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi jika melihat realita baru-baru ini, yaitu konflik warga Pulau Rempang dengan aparat, mengingatkan akan satu cerita di dalam 'Anak Semua Bangsa' tentang sosok Trunodongso.

Di sini saya bukannya akan menghubungkan jalan cerita, antara warga Pulau Rempang dengan warga Perkebunan Tebu di dalam Karya Pram itu, tetapi saya hendak menangkap cara pandang Pram melihat realita jika dihubungkan dengan apa yang dialami warga Pulau Rempang.

Yaitu posisi kekuasaan, posisi rakyat di sisi sebaliknya, dan posisi tulisan mengungkap realita di sisi yang lain pula. Namun sebelum itu, di tubuh kekuasaan kini rupanya terdapat suatu kesamaan dengan era yang diceritakan Pram.

Antara penguasa kolonial dan penguasa lokal di era Pram, serta antara investor asing dan pejabat negara di era kini, seakan tidak berbeda jauh.

Si Trunodongso dan warga di desanya melawan pabrik-pabrik gula yang mulai mengambil lahan sebahu demi sebahu. Tanah yang dimiliki turun temurun tanpa sertifikat.

Lalu penguasa lokal, adalah senjata kolonial untuk membujuk masyarakat dengan iming-iming relokasi, ganti rugi, dan aneka bonus jaminan lainnya asalkan tinggalkan tanah yang tak bersertifikat itu, sebab investasi akan masuk, negara akan untung.


Jika tak mau, maka penguasa lokal boleh tempuh jalan lain, yaitu dengan ancaman bakal dihukum, karyawan pabrik gula bakal dipecat, serta aneka upaya pengucilan lainnya.

Inilah realita yang diungkapkan Pram dalam kisahnya mengenai si Trunodongso di 'Anak Semua Bangsa'. Realita yang seakan mirip dengan realita kini, Warga Pulau Rempang yang mesti angkat kaki demi masuknya investasi.

Warga Pulau Rempang yang mendiami tanah tanpa kepemilikan sertifikat, dianggap tak punya hak menghalangi investasi untuk masuk, hanya menghambat negara memperoleh keuntungan.

Realita semacam inilah yang tidak diungkapkan oleh sastra kini, sastra sebagaimana anggapan para penulis karya pop, yang pembacanya gagal menangkap logika dari realita semacam kasus Pulau Rempang.

By the way, dari kasus Pulau Rempang ini, seakan terawangan Pram kuat ke masa kini, sewaktu dirinya menyelesaikan karya kedua Tetralogi Pulau Buru: Anak Semua Bangsa.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun