Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Masih Perlukah Percaya terhadap Humanisme?

19 Maret 2023   14:09 Diperbarui: 19 Maret 2023   14:11 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: ebook.gramedia.com

Tiga contoh di atas adalah anomali humanisme. Mereka ingin mewujudkan kemanusiaan yang agung namun memperlakukan manusia yang tidak sama dengan mereka seolah bukan manusia. Mereka mencabut rasa manusiawi atas manusia yang mereka hadapi. Kalau begitu, humanisme tak ubahnya ajaran terorisme yang eksklusif, hanya saja terbalut dalam jubah yang berbeda dari kelompok agamis.

Mari kita berkaca pada dunia politik dewasa ini, seolah pihak yang memerangi politik identitas berjubah agama mengesankan diri sebagai kelompok humanis. Mereka memosisikan diri sebagai antitesa kelompok agama yang intoleran, karena mereka sendiri humanis, toleran, nasionalis, namun humanisme dijalankan dengan cara melontar pelbagai olok-olokan, serta memberi julukan anti-pancasila kepada lawan politiknya.

Mereka memang lebih menyebut diri nasionalis ketimbang humanis, dan memuja tokoh-tokoh yang dipandang nasionalis juga. Namun cara-cara mereka yang menganggap diri menjadi pelindung kaum minoritas, toleran, serta cara berpikirnya moderat (maju), serta memandang manusia berdasarkan kemanusiaannya, mengklaim diri lebih manusiawi. Hal itu sudah dengan sendirinya menerangkan bahwa mereka sebenarnya pengusung humanisme, walau bukan humanis yang ateis.

Sikap kelompok humanis ini rupanya sama saja dengan mereka yang ekstremis agama, yang melontarkan eksklusivisme dalam bentuk pembid'ahan (yang terburuk dari itu adalah pengkafiran), yang merupakan musuh utama mereka. Mereka juga punya kosakata "kadrun" untuk melabeli lawan mereka, yang juga mencela dengan julukan "cebong"; keduanya sama saja.

Jadi, kalau begitu apakah humanisme adalah gagasan usang yang harus ditinggalkan? Hardiman memandang bahwa humanisme adalah gagasan yang bagus bagi kemanusiaan. Hanya saja perlu dilepaskan dari klaim keabsolutannya. Yaitu anggapan bahwa manusia adalah pusat kenyataan perlu diubah menjadi manusia merupakan bagian dari lingkungan, di mana manusia terhubung secara interaktif, bukan secara hierarkis antara manusia yang manusiawi dengan manusia yang tertutup.

Caranya adalah (1) menyadari apa yang dikatakan oleh Richard Rorty bahwa humanisme secara pragmatis berupaya mewujudkan solidaritas sosial. Namun solidaritas itu tidak dapat tercapai jika humanisme diposisikan sebagai metafisika kemanusiaan. Yaitu Manusia dengan M besar dibedakan dengan m kecil. M besar dipandang sebagai manusia yang humanis dan m kecil tidak humanis.

(2) pemikiran seperti ini merupakan  konsekuensi dari dekonstruksi Derrida yang mengandaikan metafisika kemanusiaan dalam antinomi biner. Humanisme menjadi kutub superior dan yang lainnya menjadi inferior, di mana humanisme akan selalu memandang dirinya yang paling benar, dan kebenaran itu akan dijadikan acuan kemanusiaan universal.

(3) oleh sebab itu, seperti yang diandaikan oleh Jurgen Habermas, humanisme memerlukan tindakan reflektif, yaitu melihat kembali ke belakang bagaimana jalannya humanisme selama ini. Dari hasil reflektif itu akan ditemukan lubang-lubang atau ketidaksesuaian visi humanisme itu sendiri yang perlu diperbaiki.

Walhasil, F. Budi Hardiman menawarkan konsep humanisme lentur. Yaitu humanisme yang tidak mengabaikan nilai-nilai agama, dan tidak anti terhadap agama. Sebab bagaimanapun, manusia di samping makhluk biologis, juga adalah makhluk spiritual. Manusia mendapatkan inspirasi dalam menjalani hidup bukan hanya dari proses intelektual semata, tetapi juga spiritualitas, ketentraman batin dalam memilih jalannya terasah dalam praktik-praktik ritual keagamaan.

Juga (humanisme) tidak memosisikan manusia sebagai pusat kenyataan, di mana Manusia dengan M besar merasa mereka adalah penentu kemanusiaan manusia. Melainkan manusia harus disadari sebagai makhluk yang saling mengisi, interaktif, di mana kemanusiaan terbangun lewat satu sistem bahasa yang sama, yang nyambung lewat interaksi.

Begitupula dalam konteks politik kita. Kelompok humanis seharusnya bukan hanya mereka yang memerangi praktik manipulasi agama, atau politik identitas. Tetapi humanisme terbentuk dari interaksi antar manusia secara sehat, melampaui sekat-sekat agama, suku, dan antar golongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun