Mari kita mulai pagi ini dengan seteguk kopi hitam kapal tengker. Seruputannya dalam, pahitnya menampar lidah, getirnya merembes ke seluruh syaraf, membangunkan semangat yang mungkin masih tertinggal di ranjang.Â
Kopi ini bukan sekadar minuman, ia seperti mesin penggerak awal, semacam ritual kecil untuk mempersiapkan tubuh dan pikiran sebelum menatap kerasnya pekerjaan yang menanti. Di Batam, kopi kapal tengker adalah teman setia para pekerja, kawan ngobrol yang tak pernah protes, hanya diam dan menghangatkan. Sudah teguk kopimu, mari kita berselancar lagi di laut kata.
***
Udara Batam pagi ini, 15 Juli, terasa berbeda, meski tetap menyimpan dingin yang halus seperti sentuhan kabut tipis. Awan menggantung, berat, seolah enggan pergi, menutupi sinar matahari yang biasanya menerobos tegas di sela gedung dan rumah. Langit mendung, gelapnya seperti tirai tebal yang menunda waktu. Di tengah suasana ini, anak-anak Ko Alo dari Madio Teralis Batam yang kami sebut MTB 188 datang tanpa ragu. Mereka seperti cahaya kecil yang menembus kabut malas cuaca.
Bang Man, salah satu anggota MTB 188, datang lebih dulu. Jam belum lagi tepat pukul 08.00 wib, tapi dia sudah berdiri tegak di depan pagar dorong lama yang hari ini akan diubah menjadi pagar lipat. Dia bukan pekerja lama, belum genap setahun bersama MTB 188, tapi kecepatannya bekerja seperti orang yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia ini.Â
Seni, ketekunan, tertib, tepat waktu, empat sifat yang menempel padanya seolah bawaan lahir. Tangannya cekatan, matanya teliti, dengan kacamata bening, langkahnya ringan tapi penuh hitungan presisi.
Biasanya, saya sudah menyiapkan kopi panas sebelum mereka memulai. Ada semacam kebiasaan tak tertulis, bahwa seteguk kopi adalah salam pembuka sebelum suara mesin las meraung dan mesin gerinda mulai menyanyikan irama kesniannya.Â
Tapi pagi ini, entah mengapa, kopi saya terlambat terhidang. Bang Mat tak menunggu. Dia segera membuka tas peralatannya, mengeluarkan grinder untuk membersihkan bekas las yang kemarin masih tersisa. Suara gesekan besi melawan besi terdengar ritmis, seperti denting kecil yang menandai awal hari.
Pekerjaan mereka hari ini adalah finishing, tahap akhir yang menuntut ketelitian lebih. Pagar dorong lama akan diubah menjadi pagar lipat, lebih praktis, lebih estetis, dan tentu saja lebih efisien. Prosesnya tidak sesederhana melepas dan memasang.Â
Ada tahap mengukur, pemotongan, merakit engsel, las kembali dan pembersihan sisa percikan las, kemudian mendempul permukaan yang kasar agar halus merata, menyesuaikan engsel agar lipatannya presisi, dan akhirnya memberikan sentuhan cat yang melindungi sekaligus memperindah. Setiap tahap seperti alur cerita yang menyelipkan makna tapi sangat transparan, karena satu kesalahan kecil bisa merusak kesempurnaan keseluruhan.