Mohon tunggu...
Wahyuni Susilowati
Wahyuni Susilowati Mohon Tunggu... Penulis, Jurnalis Independen

pengembaraan raga, penjelajahan jiwa, perjuangan menggali makna melalui rangkaian kata .... https://www.youtube.com/c/WahyuniSusilowatiPro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saung Buni Agung: Suaka Kearifan Urang Sunda

16 Juni 2013   12:17 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 2014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_268200" align="aligncenter" width="546" caption="Wawan Marjana dan impian kultural-nya (dok WS)"][/caption]

Leila S Chudori, seorang penulis perempuan terkemuka negeri ini, pernah dibuat malu pada sebuah pertemuan penulis internasional yang digelar di manca negara. Apa pasal? Saat itu panitia meminta para peserta untuk mengisi daftar tamu dengan menuliskan nama masing-masing memakai huruf asli khas negeri asal mereka. Penulis Jepang menulis dengan huruf Kanji,penulis Thailand dengan akson thai-nya yang menginduk pada tulisan Khmer lama, penulis India dengan huruf Devanagari-nya,dan seterusnya. Leila tentu saja kebingungan mesti menulis memakai huruf apa...(sepertinya sih dengan terpaksa dia harus menggunakan huruf Latin, -pen.).

Cerita di atas saya peroleh saat gunem catur (berbincang, -pen. ) dengan Mbah Wawan Marjana, Kang Wawan Akil, dan Kang Boy Rangga di kawasan Saung Buni Agung, Soreang,Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu. Terus terang saat mendapat undangan untuk menyaksikan ritual panen padi yang dibudidayakan dengan sistem tegalan/huma itu, saya sama sekali tak membayangkan akan menemukan sebuah oase budaya pribumi Parahyangan yang tertata sedemikian menyatu dengan kontur lahan setempat plus aura Kesundaan yang sangat kental mewarnai interaksi sosial dan aktifitas yang berlangsung di sana.

[caption id="attachment_268206" align="aligncenter" width="505" caption="Kearifan arsitektur ... (dok WS)"]

13713585031560612507
13713585031560612507
[/caption]

Begitu sampai di lokasi yang terletak di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut itu, gaya arsitektur kompleks saungnya langsung menambat mata untuk terus beredar melepas pandang ke area seluas 1, 2 hektar itu. Berdiri di antara hamparan ladang jagung yang tengah berbunga, tegalan padi yang menguning bernas siap dipanen, dan kebun jeruk yang membaur dengan jambu klutuk serta alpukat (“Sudah menunggu lama sekitar 7 tahunan, begitu berbuah ternyata kualitasnya jelek.” Tutur Mbah Wawan sambil tersenyum simpul,”Itu bibit pemberian pemerintah yang saat penyerahannya diliput banyak media dengan woro-woro yang sangat meriah tapi begitulah hasilnya.” Kapok dengan pengalaman pertama itu, kini Mbah Wawan dan timnya berswadaya dalam pengadaan bibit maupun benih tanaman yang akan dibudidayakan, termasuk bekerja sama dengan para peneliti muda pertanian dari berbagai perguruan tinggi).

Kompleks saung yang ditata dengan arsitektur tematik etnik Kampung Sunda itu pembangunannya menyesuaikan dengan kontur perbukitan lahan yang ada. Artinya, sebisa mungkin tidak ‘memaksakan’ topografi untuk berkompromi dengan desain kompleks, jadi bangunanlah yang menyesuaikan diri dengan kondisi asli tanah tempatnya didirikan. Keseluruhan saung menggunakan bambu sebagai material utama, selain merupakan bagian dari inspirasi yang diperoleh Mbah Wawan dari penjelajahannya ke Kampung Urang Baduy ( salah satu suku bangsa asli Sunda yang tinggal mengisolasi diri di Kabupaten Lebak, Banten, -pen.) puluhan tahun silam, juga cermin dari keprihatinannya,”Bangunan pemerintahan di Jawa Barat ini tidak memiliki ciri khas yang merujuk pada kultur etniknya, lihat saja gedung-gedung pemerintah tak ada bedanya secara arsitektur dengan mal atau hotel.” Papar Mbah Wawan dengan mimik prihatin,”Bangunan Puskesmas di desa-desa juga kalah pamor dengan rumah-rumah penduduk sekitarnya.”

‘Pamor’ yang dimaksud Mbah Wawan bukan dalam artian bangunan permanen dengan tembok kokoh,”Paradigma yang mengidentikkan rumah mewah dengan tembok dan marmer itu seyogyanya diluruskan kembali, para leluhur kita membangun rumah panggung dengan materi utama bambu beratap jerami sebenarnya dimaksudkan agar tahan gempa dan bila memang harus roboh juga karena itu, setidaknya bahan bangunan yang berjatuhan takkan menimbulkan cedera seberat runtuhan tembok.”

Dia benar, saat berkeliling menjelajahi Kompleks Saung Buni Agung, kesan modern dan eksklusif mencuat di ruang coffe shop-nya. Saung tempat penginapan tamu yang terdiri atas Saung Awewe (Saung Perempuan, -pen) dan Saung Lalaki berkapasitas masing-masing duapuluh orang ditata dengan desain elegan yang homy,”Tamu perempuan dan lelaki tidur terpisah, nanti bisa berinteraksi di Bale Sawargi, semacam balai pertemuan atau juga di ruang tamu yang berada di lantai bawah Saung Awewe.” Papar Mbah Wawan. Intinya sih sesuai adat istiadat Sunda, lelakilah yang mendatangi pihak perempuan untuk berinteraksi dan bukan sebaliknya.

Petikan kecapi dan tembang Sunda mengiringi langkah-langkah kami menyusuri area saung. Mbah juga memperlihatkan saung leuit (lumbung padi, -pen) yang tak seberapa jauh darinya berdiri tajug (mushola kecil, -pen) dan keduanya berada di tengah-tengah area huma (ladang,-pen.). Mahasiswa-mahasiswa, bahkan para dosen, dari berbagai perguruan tinggi yang memiliki ketertarikan dan hasrat untuk melestarikan budaya Sunda memang rutin bertandang ke Saung Buni Agung untuk mempraktekkan ritual-ritual khas Pasundan yang teorinya telah mereka pelajari sebelumnya di komunitas. Minat itu juga mereka perlihatkan dengan mengenakan stelan pangsi, celana gombrang dipadu  kemeja tak berkancing warna hitam-hitam a la jawara silat tempo dulu, untuk lelaki dan padanan kebaya untuk perempuan.

13713588892044269409
13713588892044269409

“Kita sering mendengar pepatah ‘belajarlah sampai ke negeri Cina’ tapi sejarah pangsi ini bermula saat leluhur Urang Sunda, Abah Khaer, mengajari berbagai filosofi Sunda pada seorang Tionghoa bernama Phang Sie...” Tutur Kang Wawan Akil, seorang dosen ITB, dalam bahasa Sunda yang halus. Justru bangsa Cina-lah yang terlebih dahulu belajar ke Tatar Pasundan.

Pemakaian pangsi juga merupakan tanda syukur kepada Sanghyang Widhi (Tuhan yang Maha Esa, -pen) karena telah dilahirkan sebagai manusia di negeri yang sangat kaya raya potensi alam maupun budayanya. Selain itu, kehadiran mereka dalam momen panen padi, papalaku huma, untuk ngadeuheus (menyambangi, -pen.) Dewi Sri yang menurut legenda merupakan indung (ibu, -pen.) tanaman padi serta tanaman-tanaman pangan lainnya dan sudah sepantasnya, tamu berbusana sesuai kode etik untuk menghormati tuan rumah.

Pangsi di mata Kang Boy Rangga, sastrawan sekaligus mantan bankir yang kecewa karena uang hibah Bank Dunia untuk masyarakat miskin malah dikucurkan sebagai kredit oleh bank-bank penyalurnya di Indonesia hingga memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya dan bergabung dengan Mbah Wawan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat Soreang, juga merupakan simbolisasi rasa percaya sendiri,” Kita bisa berbangga diri dengan celana jins atau GI Style seperti yang teteh pakai sekarang...” Dia menunjuk kostum santai yang saya kenakan,”Tapi kenapa harus berpikir ribuan kali untuk mengenakan pangsi saat jalan-jalan ke mal atau kondangan, misalnya.”

Pada tahun 2013, Kang Boy pernah menjabani uji nyali dari seorang seniornya yang akan memberinya duit sejuta asal dirinya mau jalan ke sebuah mal terkemuka di Bandung dengan mengenakan pangsi. Perang batin antara rasa tak mau kalah dan kekuatiran ditertawakan para pengunjung mal pun menyergap benak. Lantas dia mulai berpikir tentang jatidirinya sebagai Urang Sunda yang notabene lahir dan ‘dihidupi’oleh tanah kelahirannya. Tentang bagaimana rekan-rekannya di Belanda mau bersusah payah datang ke Jawa Barat untuk belajar adat istiadat Sunda. Lantas kenapa sebagai putra asli Sunda dia malah tak pede dengan budayanya sendiri? Kang Boy akhirnya menang.

Jatidiri etnik pada skala kecil dan identitas kebangsaan dalam skala yang lebih luas adalah faktor yang sangat signifikan untuk membuat kita tampil beda serta spesial dalam percaturan global antar bangsa. Tanpa itu kita sama sekali takkan terlihat apalagi mampu memberikan pengaruh dalam perguliran kebijakan politik universal, paling-paling hanya dijadikan pasar potensial bagi produk-produk negara lain. Mirip kasus Leila S Chudori di atas, pada akhirnya kita akan merasa malu sendiri.

[caption id="attachment_268213" align="aligncenter" width="505" caption="Kearifan pertanian ... (dok WS)"]

1371359215954407368
1371359215954407368
[/caption]

Pemilihan budidaya padi dengan sistem tegalan tadah hujan adalah cerminan impian seorang Wawan Marjana yang ingin melihat lingkungan dieksploitasi dalam porsi yang wajar,”Pengalihan fungsi lahan yang cenderung kian tak terkontrol berpotensi membuat rakyat kelaparan karena area untuk bertanam padi jadi kian menyempit, sementara para petani sendiri juga punya andil merusak lahan dengan pemakaian berbagai pupuk kimia karena dikejar target harus panen beberapa kali dalam setahun.” Padahal sebagaimana makhluk lainnya, tanah pun butuh masa rehat untuk mengembalikan kesuburan dirinya. Sistem tegal tadah hujan memang hanya bisa menghasilkan satu kali panen, namun dengan benih yang tepat dan konsistensi pola organik penuh, kualitas beras yang dihasilkan termasuk kategori premium. Bahkan beberapa permintaan dari mancanegara, seperti Jepang dan Belanda, sudah berdatangan. Apalagi uji laboratorium pangan menunjukkan bahwa kandungan nutrisi padi huma Saung Buni Agung berpotensi menurunkan resiko penyakit berat seperti diabetes mellitus.

Mbah Wawan dengan tegas menyatakan bahwa Saung Buni Agung merupakan proyek swasembada masyarakat Soreang,”Tujuan keberadaan Saung dengan budidaya padi huma adalah meringankan beban pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras, khususnya bagi warga Soreang dan sekitarnya, jadi sebisa mungkin tidak merepotkan pemerintah-lah...” Dia tersenyum.

Salah satu bentuk pendapatan yang kini dilakoni adalah dengan membuka kesempatan bagi para tamu untuk menikmati fasilitas plus keramahan khas Sunda di Saung Buni Agung. Anda bisa bermalam, menikmati sajian hidangan yang lezat, menyesap kesegaran air terjun, dan berbagai hal yang mungkin tak bakalan dapat dijumpai di tempat lain dalam kesejukan alami Tanah Pasundan. Silahkan berkunjung ke Kampung Legok Jampang, Desa Sukanagara, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung. Rekreasi sambil berkontribusi melestarikan salah satu budaya anak negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun