Mohon tunggu...
Qoshdus Sabil al Usama
Qoshdus Sabil al Usama Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa ingin memberikan algoritma mengenai terapan ilmu psikologi bagaimana cara dunia bekerja

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Dari story ke start line FOMO yang mendorong budaya lari massal

11 Oktober 2025   06:51 Diperbarui: 11 Oktober 2025   06:51 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Beberapa tahun terakhir, pemandangan ribuan orang berlari di jalanan kota bukan lagi sesuatu yang aneh. Setiap akhir pekan, linimasa media sosial kita dipenuhi oleh pemandangan yang sama foto-foto para pelari dengan nomor dada, pose bangga di depan garis finis, video reels slow motion saat berlari, hingga sertifikat virtual yang dibagikan di Instagram Story. Kegiatan lari yang dahulu identik dengan latihan atletik atau olahraga individu sederhana kini menjelma menjadi fenomena sosial yang masif. Banyak orang berbondong-bondong ikut event lari bukan semata karena kebutuhan olahraga, melainkan karena takut ketinggalan momen. Inilah fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang perlahan membentuk budaya lari massal di Indonesia.

FOMO atau Fear of Missing Out adalah rasa takut tertinggal dari pengalaman sosial yang sedang tren. FOMO muncul ketika seseorang melihat unggahan teman-temannya di media sosial tentang partisipasi mereka dalam suatu acara lari, foto-foto di garis start dengan outfit olahraga kekinian, atau medali finisher yang dibanggakan di Instagram Story.

 Fenomena ini bukanlah sekadar tren musiman. Dalam satu dekade terakhir, jumlah event lari di Indonesia meningkat signifikan. Berdasarkan data dari komunitas IndoRunners, sebelum pandemi terdapat lebih dari 300 event lari yang digelar setiap tahun di berbagai kota besar, mulai dari fun run 5K, charity run, hingga maraton berskala internasional. 

Pasca-pandemi, tren ini justru melonjak. Banyak masyarakat menjadikan olahraga lari sebagai cara untuk "kembali aktif" sekaligus bagian dari identitas sosial mereka. Di balik geliat positif ini, ada dinamika psikologis menarik yang mendorong banyak orang berlari bukan semata demi kesehatan, melainkan karena dorongan sosial pengaruh norma sosial (Normative Social Influence).

Dalam psikologi sosial, Normative Social Influence (Deutsch & Gerard, 1955) menjelaskan bahwa individu cenderung mengikuti perilaku orang lain untuk mendapatkan penerimaan sosial dan menghindari penolakan. Artinya, seseorang bisa ikut terlibat dalam suatu aktivitas bukan karena benar-benar menginginkannya secara personal, melainkan karena "semua orang melakukannya." Tekanan halus dari lingkungan sosial membuat individu merasa perlu menyesuaikan diri agar tidak dianggap "aneh", "terlambat", atau "tidak gaul".

FOMO sendiri adalah fenomena emosional yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal terhadap pengalaman yang sedang atau telah dialami orang lain. Dalam substansi lari, ini tampak jelas di dunia digital. Saat seseorang membuka Instagram pada Sabtu pagi atau Minggu pagi dan melihat teman-temannya sudah post story di garis finis acara fun run tertentu, ia bisa merasakan campuran antara kekaguman, rasa iri halus, dan ketakutan "tidak ikut dalam momen itu". Lama-lama, tekanan sosial ini mendorongnya untuk ikut mendaftar pada event berikutnya bukan semata karena ingin olahraga, tapi agar tidak "ketinggalan perayaan".

Psikolog olahraga, Dr. Rima Widyaningsih, dalam sebuah wawancara untuk Kompas Health (2024) menjelaskan, "Media sosial mengubah dinamika motivasi olahraga. Dulu, orang berlari untuk diri sendiri. Sekarang, banyak yang berlari untuk dilihat orang lain. FOMO membuat orang takut menjadi satu-satunya yang tidak ikut dalam euforia lari massal."

Contoh Nyata FOMO dalam Budaya Lari

Contoh paling jelas dapat dilihat pada event Jakarta Marathon. Setiap tahunnya, pendaftaran selalu membludak. Banyak peserta pemula yang bahkan tidak memiliki kebiasaan olahraga rutin, tetapi tetap ikut mendaftar. Salah satu alasan yang sering terdengar "Semua teman kantor ikut, masa aku enggak?" atau "Pengen punya foto di garis finish kayak yang lain." Tak sedikit dari mereka yang akhirnya berlatih terburu-buru menjelang lomba, bahkan ada yang mengalami cedera ringan karena memaksakan diri demi tampil "keren" di hari-H.

Fenomena ini juga muncul dalam komunitas lari kampus atau perkantoran. Misalnya, seorang mahasiswa awalnya tidak tertarik ikut fun run. Namun setelah melihat semua temannya mengunggah foto latihan bersama dan mendaftar lomba kampus 10K, ia akhirnya ikut tak ingin jadi satu-satunya yang "tidak punya story keren" minggu itu. Padahal, ia belum terbiasa berlari jarak jauh. Hasilnya, ia kelelahan dan kurang menikmati pengalaman tersebut.

Contoh lainnya datang dari dunia digital. Banyak aplikasi lari kini memiliki fitur leaderboard dan sharing otomatis ke media sosial. Hal ini menciptakan atmosfer kompetitif dan norma sosial tersendiri. Jika seseorang melihat teman-temannya sudah mencatat jarak tempuh 50 km dalam sebulan, ia merasa "terpanggil" untuk tidak kalah, meski awalnya tidak punya target seperti itu. Fitur ini, yang secara desain memanfaatkan norma sosial, mendorong keterlibatan tetapi juga memperkuat tekanan FOMO.

FOMO dalam subtansi lari tidak selalu buruk. Pengaruh norma sosial bisa menjadi pendorong motivasi eksternal yang efektif, terutama bagi pemula. Banyak orang mengaku mulai berlari karena "terinspirasi" teman-temannya, lalu akhirnya menjadikan lari sebagai kebiasaan jangka panjang. Data dari Global Running Survey 2023 menunjukkan bahwa 41% pelari pemula memulai rutinitas lari karena "ingin ikut serta dalam tren sosial atau event komunitas".

Di Indonesia sendiri, komunitas seperti IndoRunners atau Run for Indonesia berhasil menciptakan budaya olahraga yang inklusif. Kegiatan lari massal menjadi ruang pertemuan lintas profesi, usia, dan latar belakang sosial. Orang yang sebelumnya tidak aktif berolahraga menjadi terdorong untuk mulai bergerak, menjaga kesehatan, dan menjalin koneksi sosial yang positif.

Dalam kerangka Normative Social Influence, ini bisa dipahami sebagai bentuk internalisasi norma kelompok. Ketika norma komunitas adalah "semua anggota berlari minimal seminggu sekali", maka individu terdorong untuk melakukannya agar diterima dan diakui. Jika proses ini berjalan sehat, tekanan sosial tersebut bisa berubah menjadi rutinitas positif.

Akan tetapi, di sisi lain, FOMO juga membawa dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Tekanan untuk selalu "ikut" bisa menyebabkan individu berolahraga dengan motivasi dangkal. Mereka berlari bukan karena menikmati prosesnya, tetapi demi tampil di media sosial atau tidak dianggap "tidak gaul". Akibatnya, pengalaman olahraga menjadi permukaan semata, tanpa kedalaman personal.

Tekanan sosial ini dapat memicu perilaku tidak sehat. Misalnya, seseorang yang kurang persiapan memaksakan diri ikut lomba lari jarak jauh hanya karena teman-temannya ikut. Hal ini dapat meningkatkan risiko cedera, dehidrasi, atau kelelahan akut. Selain itu, ada tekanan citra tubuh orang merasa harus terlihat "fit" atau "atletik" agar pantas bergabung dalam komunitas lari, sehingga muncul kecemasan performa atau bahkan body image issue.

Penelitian dari Universitas Indonesia (2023) mencatat bahwa 32% peserta event lari di Jakarta mengalami stres ringan hingga sedang sebelum lomba, bukan karena kompetisi, melainkan karena tekanan sosial untuk "tidak tampil buruk" atau "tidak menjadi satu-satunya yang tidak ikut".

Berlari untuk Siapa?

Pada titik ini, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk merefleksikan fenomena ini secara jernih. Lari adalah aktivitas fisik yang sederhana dan menyehatkan. Namun dalam pusaran FOMO dan norma sosial digital, maknanya bisa bergeser dari "olahraga untuk kesehatan" menjadi "olahraga untuk pengakuan".

Kita perlu bertanya: Apakah kita berlari untuk diri sendiri, atau untuk dilihat orang lain?

Jika jawaban jujur kita lebih condong ke yang kedua, maka penting untuk menata ulang motivasi. Tekanan sosial dapat menjadi pendorong awal, tetapi untuk menjadikan olahraga sebagai gaya hidup jangka panjang, dibutuhkan motivasi intrinsik kesenangan, kenyamanan, dan makna personal.

Para penyelenggara event dan komunitas juga memiliki peran penting. Mereka dapat mendesain kegiatan yang lebih inklusif, menekankan proses daripada sekadar pencapaian. Misalnya, memberikan ruang apresiasi untuk pelari pemula, mengadakan sesi edukasi tentang kesehatan fisik sebelum lomba, atau mengurangi tekanan kompetitif berlebihan.

Media sosial pun dapat digunakan secara sehat. Alih-alih membandingkan, kita dapat menggunakannya untuk saling mendukung, menginspirasi, dan berbagi pengalaman nyata---termasuk tantangan dan proses, bukan hanya hasil akhir.

Budaya lari massal yang lahir dari FOMO adalah cermin dari masyarakat digital kita hari ini: cepat terhubung, mudah terpengaruh, namun juga memiliki potensi besar untuk membangun kebiasaan sehat bersama. Pengaruh norma sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk menciptakan perubahan perilaku, asal disertai kesadaran reflektif.

Lari seharusnya bukan sekadar tentang siapa yang tercepat atau siapa yang paling sering tampil di feed Instagram. Lari adalah perjalanan personal, bentuk perawatan diri, sekaligus ruang perjumpaan dengan sesama. Maka, saat kita melihat Story teman yang sedang berlari minggu ini, boleh saja kita terinspirasi. Tapi sebelum mendaftar lomba berikutnya, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah aku benar-benar ingin berlari, atau hanya takut tertinggal?"

Refrensi

Deutsch, M., & Gerard, H. B. (1955). A study of normative and informational social influences upon individual judgment. Journal of Abnormal and Social Psychology, 51(3), 629--636.

Kompas Health. (2024). FOMO dan Media Sosial dalam Dunia Olahraga. [Wawancara dengan Psikolog Olahraga]

Global Running Survey. (2023). Trends and Motivation in Running Activities. Global Running Foundation.

Universitas Indonesia. (2023). Studi Stres Sosial Peserta Event Lari Jakarta. Fakultas Psikologi.

IndoRunners. (2019--2024). Event Data and Running Community Reports

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun