SabarIndependent-Kalteng. Di Era yang semakin maju, Identitas suku bangsa dianggap sebagai bagian dari masa lalu. Bahkan tidak jarang Suku Bangsa hanya diidentifikasi sebagai pameran tata busana. Suku dan budayanya hanya dipertontonkan dalam festival dan karnaval tahunan. Kesukuan dan kebudayaan dianggap sesuatu yang telah ditinggalkan oleh jaman. Seolah, pembicaraan suku dan budaya adalah perlawanan terhadap modernisasi dan kemajuan.
Pandangan semacam ini banyak dipakai oleh kalangan yang menganggap diri sebagai masyarakat yang telah maju. Terutama dalam pergaulan masyarakat kota, berbicara suku dan budaya seperti membicarakan cerita-cerita yang dongeng atau legenda dari masalalu. Masyarakat perkotaan perlahan meninggalkan identitas lama lalu merasa telah masuk ke identitas baru yang lebih maju, yaitu manusia modern.Â
Padahal kalau mau jujur, penghapusan identitas suku bangsa yang banyak dialami Masyarakat perkotaan adalah fenomena kehilangan jati diri. Bukti paling nyata, Masyarakat Perkotaan hidup dalam kungkungan materialisme dan kapitalisme yang akut. Hidupnya dikejar oleh keinginan dan keinginan yang tak pernah tuntas.
Entah argumentasi apa yang dapat dipakai untuk menjelaskan betapa kemunduran paling fatal dalam sejarah peradaban manusia ketika sekelompok masyarakat hidup hanya dengan mengejar ambisi materialisme. Bangun pagi, seolah diburu waktu setiap saat, untuk bekerja, bekerja dan bekerja, demi memenuhi keinginan yang sungguh makin tak terbatas.
Situasi Masyarakat perkotaan yang diklaim sebagai kemajuan sangatlah kontras dengan nilai-nilai kehidupan universal. Manusia kota berubah menjadi mesin pencari uang yang tidak memiliki hak untuk menentukan diri sendiri. Demi imbalan yang bernama hidup layak, manusia atas nama kemajuan berlari mengejar waktu yang dia tak akan pernah mampu menyalipnya.
Jika demikian, Lalu dimanakah perbedaan kualitatif antara hidup sebagai masyarakat maju dengan masyatakat yang katanya belum maju?Â
Pertanyaan ini menggugah kita untuk mengingat kembali akan Identitas suku dan budaya yang pernah kita campakkan. Suku adalah proses sosiolgis sekaligus proses antropologis yang tercipta dari interaksi setiap orang didalamnya. Interaks itu yang melahirkan nilai-nilai yang kemudian menjadi kebudayaan manusia.Â
Dari latar ini mudah kita pahami bahwa kesukuan adalah proses terciptanya nilai yang disepakati antara setiap orang dalam komunitasnya. Artinya, terciptanya suku adalah proses pertarungan nilai yang organik dalam hidup manusia. Lalu apa alasannya kesukuan itu harus ditnggalkan
.Â
Dayak: Nilai Universal
Dari latar berpikir diatas, menjadi sangat urgen untuk kembali mendudukkan jati diri dalam bingkai kebudayaan. Manusia harus kembali sebagai Makhluk yang menentukan dirinya sendiri. Manusia harus menjari makhluk yang mengatur dirinya dan mengatur hubungannya dengan alam, habitus dimana dia tinggal.
Bukti otentik tentang pentingnya masyarakat modern untuk kembali pada nilai-nilai kebudayaan adalah: tidak ada satupun yang bisa membantah bahwa masyarakat yang telah hidup dalam hiruk pikul perkotaan membutuhkan pengalihan pikiran dengan meninggalkan segala rutinitasnya, yaitu libur. Berbeda dengan itu, Masyarakat yang masih hidup dalam suasana kebudayaan tidak membutuhkan pengalihan suasana.Â
Nilai tradisi yang terus dijaga dalam hidup masyarakat yang teridentifikasi sebagai Masyarakat Dayak terbukti menjadi pilihan alkhir dari setiap orang. Harmoni dengan alam yang dulu sempat dianggap sebagai ketinggalan jaman ternyata justru menjadi issue dan perbincangan global. Perbincangan itu dinamai enviorenmental ethic, yang saat ini dirayakan sebagai diskursus baru dunia.
Padahal jauh sebelum perbincangan soal etika lingkungan dibahas oleh para cendekia, Masyarakat Dayak telah menjadikan Nilai harmoni dengan alam lingkungan hidupnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari jati diri manusia. Sesuatu yang dulu dianggap sebagai pandangan yang kolot dan ketinggalan jaman, justru menjadi pandangan mutakhir yang sekarang manusia yang merasa sudah modern terseok-seok untuk mempelajarinya. Masyarakat Dayak hanya akan tertawa ketika mendengar dan melihat para cerdik sedang mengkampanyekan pentingnya keserasian dengan alam. Karena bahkan sebelum modernitas itu hadir, Masyarakat Dayak telah menjadikan harmoni kelestarian lingkungan hidup sebagai nilai yang tak boleh dilepaskan. Dan kini nilai itu dikampanyekan sebagai nilai universal.
Dayak: Abadi Sebagai Nilai
Penutup tulisan ini, Masyarakat harus kembali menjadi Dayak. Tidak ada pilihan lain, selain mengatur ulang harmoni hidup berdampingan dengan alam tanpa eksploitasi. Masa depan peradaban manusia sedang berada dititik nadhir, atau sekurang-kuranya berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Bukan untuk menyebar ketakutan, tapi sudah terlalu banyak bukti dimana pemujaan manusia atas nama modernitas ternyata menjadi penyebab kerusakan yang destruktif bagi manusia itu sendiri. Penyebabnya, Manusia Modern meninggalkan nilai dan identitas budayanya.
Cukup rasanya Manusia diperbudak oleh ilusi kemajuan. Ilusi yang membawa manusia pada perbudakan atas dan untuk dirinya sendiri. Cukuplah sudah manusia secara tidak sadar menjadi zombie-zombie yang berbaris setiap hari, saling cakar dan membunuh untuk dan atas nama memenuhi syarat kemajuan. Itu sebuah kesesatan yang nyata namun manusia abai memikirkannya.
Tidak banyak bantahan yang dapat diajukan bahwa pada akhirnya, nilai-nilai yang teguh dipegang oleh Masyarakat yang diidentifikasi sebagai Dayak adalah nilai universal yang akan Abdi bersama kehidupan itu sendiri. Manusia hanya satu bagian dalam susunan kosmologi kehidupan. Nilai, alam dan harmoni atas keduanya menjadi kebutuhan paling agung bagi manusia dan kehidupannya.Â
Katingan, 21 September 2
025
SPN Independent
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI