Mohon tunggu...
S Bonde
S Bonde Mohon Tunggu... Petani - Orang Muda - lorong merdeka

Tempat meluapkan segenap genit dan gelisah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nada Pelan Rakyat

26 Oktober 2020   14:00 Diperbarui: 27 Mei 2022   13:12 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari dinding kamar terdengar suara gemuru ocehan rakyat, pro-kontra masyarakat dan sebagainya itu. Kadang sambil mata tertutup, saya membayangkan kondisi kamar. Iyah kamar. Sebab jika membayangkan Negara itu butuh perenungan yang mendalam. Hehe

Jadi, sore tadi saya semacam melihat gaya masyarakat hari ini tidak sedikit yang meneladani sopan santun ala Rakyat Orba, tidak bermaksud mengatakan bahwa rakyat itu salah, tidak. tapi yang mereka adopsi adalah etika melihat pemimpin dan komunikasi dengan sosok pemimpin. Bahwa melihat pemimpin adalah paling benar. Pemimpin tidak salah dan rakyat wajib diam. Atau mungkin energi positif ini lahir secara alamia? Biasa jadi, bisa juga tidak.

Orde Baru memperlihatkan situasi politik-ekonomi yang cukup membangun. Membangunkan kekuasaan Luar. Memperdagangkan Tanah, dan rakyat yang cukup diam. Saya kira ini cukup menjadi gambaran dimasa itu. Saksi hidup masi berjalan dimana-mana. di buku-buku dan di kedai kopi yang ada.

Keruntahan Rezim Orba bisa kita baca di bukunya "Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia" yg ditulis Oleh Wahid Hasyim (Gus Im). Disitu memperlihatkan lemahnya setiap pemimpin negeri kita. Hingga sampai lah pada pertanyaan yg paling mendasar : Mengapa kita butuh sosok seorang pemimpin? Dan mengapa harus ada orang yang kita percayakan sebagai bapak Pembagunan, dan bapak-bapak lainnya ?

Lantas kenapa setelah itu kita salahkah ?

Idealnya rakyat hari ini adalah meyakini, mengharapakan serta mengikhlaskan. Tak jarang ini kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan itu akan terlihat jelas dalam mometum Lima Tahunan Pilkada dan bla-bla itu, yang pada akhirnya akan sampai mengerucut pada apa yang biasa kita sebut Pilpahit. hanya saja itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Tapi apakah kita akan terus-terusan seperti ini? Entahlah. Kata rakyat dengan nada pelan, Toh tidak ada gunanya juga, kritik pun jarang kesampain, ketika sampaipun akan di tutup, begitulah hidup. Tutupnya.

Bersambung! Saya masi serius dan akan lanjut mendengarkan ocehan ibu-bapak dilorong Jln, Merdeka depan jendela kamar.

Cepat sehat indonesia.

Cat: Pemimpin disini bersifat general, bisa siapa saja. Ayah saya bisa dikatakan demikian jika bermental serupa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun