Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Sugeng Tindhak", Didi Kempot, Lelaki yang Menggenggam Patah Hati

8 Mei 2020   01:18 Diperbarui: 8 Mei 2020   01:57 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.republika.co.id

"Kamu itu lho, kalo nyetel musik itu ya ini" Kata bapak di sebelah saya sambil cekatan menekan menu winamp di komputer kantor. 

Beberapa detik kemudian berputarlah sebuah tembang jawa yang familiar di telinga saya, suara unik nan ngelanut Didi Kempot mengudara mengisi kesepian dimana kami berdua kebagian kerja shift malam.

Lanut ganyeng Stasiun Balapan membuat rekan saya merem melek sambil meliuk-liukan lehernya, meresapi liriknya sambil kadang tersenyum sendiri.

"Bapak fans Didi Kempot tho?"

"Lho, ya jelas, liriknya itu lho, kisah ku biianget"

"Kisah piye pak?"

"Yo kisah yang sama, sama-sama ditinggal di Stasiun yang sama, Balapan, nganti saiki aku gak tau meneh ketemu karo calonku, padahal wis tak lamar, terakhir kabare dekne wis nikah karo pejabat Pemda"

"Janji Lungo Mung Sedelo
Lali Opo Pancen Nglali, Yen Eling Mbok Enggal Bali .."

Sambungnya.

Mak tratap.

Ingin saya mengucap turut prihatin, tapi beliau kembali berucap.

"Tapi lupakan, kata Kang Didi, ra sah sedih terus-terusan, pria boleh menangis, tapi hidup harus tetap kuat, bahkan saat kita sudah tidak kuat, ya harus tetap kuat" Ujar pria yang saat kami berbincang di tahun 2007 , berusia sekitar 43 tahun dan masih menjomblo.

Disitu saya terhenyak, sebuah musik yang biasanya hanya menginspirasi kulit luarnya saja, kali ini beda, Didi Kempot telah mencetak filosofi hidup. 

Rekan saya seakan punya ikatan batin dengan musisi gondrong kriting itu, padahal boro-boro kenal, lihat saja belum pernah. Disitu saya mulai paham, Didi Kempot bukanlah musisi tembang jawa biasa. 

Di lain hal, saya setuju tulisan sobat ambyar bahwa dialah satu-satunya musisi yang sanggup menggabungkan rasa patah hati dengan kemiskinan. Bagaimana tidak, lirik Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Tresnamu Ketinggalan Kreto, Tanjung Mas Ninggal Janji, semua bercerita tentang patah hati kelas proletar. 

Setting lirik ada di stasiun, pelabuhan bahkan terminal. Tiga tempat yang (dulu) erat dengan kemelaratan.

Coba jika judulnya menjadi Adi Soemarmo Ninggal Janji, jelas tidak akan meresap ke sanubari, karena jika naik pesawat hitungan satu-dua jam pun cinta bisa dikejar. Ini bukanlah cerita noob versi Rangga dan Cinta, yang hari ini ketemu di bandara Jakarta, esoknya angkringan di Jogja dan lusa main salju di New York.

Frasa cinta versi Didi Kempot adalah semesta cinta yang sebenarnya. Bagaimana hati dikoyak perasaan rindu yang tak pasti, hanya bisa menatap kekasih yang pergi namun tak tahu kapan bisa bertemu kembali. 

Cinta yang melarat, putus asa namun semangat dan kaya akan rasa.

Seperti kisah heroik ayah saya, bagaimana beliau menunggu Ibu saya yang pulang ke Solo, menunggu hingga dua tahun, beliau rajin bolak-balik ke Terminal Lodoyo, Blitar. Hanya untuk satu jawaban, ya atau tidak.

Jika ayah saya saat itu punya duit, pastilah Ibu disusul ke Solo, entah naik mobil, bus atau naik Kereta Api sekalian. Tapi karena melarat, Ayah memilih untuk menunggu cintanya kembali. Sebuah kegalauan yang amat paripurna.

"Bapak banget le". Ujarnya dramatis suatu hari. Dirumahnya, Didi Kempot secara khidmat beliau letakkan satu frame bersama John Coltrane, Jonah Jones dan The Beattles.

Dititik itulah Didi Kempot mudah untuk diterima semua golongan, jejak di awal karirnya yang dirintis dari nol membuat dirinya paham perasaan di lapis bawah. Ditambah soal lirik yang secara geografis menempatkan Didi Kempot layak untuk menjadi duta pariwisata.

Saya pun sebagai buruh proyek seringkali mak jleb ketika mendengar lirik lagu Ora Iso Mulih.

Mak bapak aku ora biso mulih..

Bakdo iki atiku sedih..

Mak bapak aku ora teko

Neng kene aku isih kerjo

Mung donga lan pujimu

Sing tak suwun jroning uripku ..

Disitulah titik bagaimana rasanya tidak bisa mudik lebaran karena sebuah pekerjaan, tidak bisa sungkem orangtua yang sangat kita cintai, hanya mrimbik-mrimbik tangan keatas mengharap ridho. 

Jelas Didi Kempot telah berpikir jauh soal pekerja yang gagal mudik, Didi Kempot telah menjelma menjadi ikon Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Yup, sebait lirik sederhana yang diuntai dengan hati menghasilkan karya yang memiliki daya magis. Percayalah, saat itu saya hanya mampu memasang earphone, memutar musiknya, menghisap kretek sambil mata berair menggenang rindu. Sempurna.

Namun, tidak sampai disitu..Didi Kempot rupanya bukan hanya soal cinta, patah hati dan kemiskinan, tapi juga politik.

Ketika Iwan Fals menggebu dengan Surat Buat Wakil Rakyat, Efek Rumah Kaca melahirkan Jalang dan Di Udara, begitupula dengan Slank, Navicula hingga Koil dengan besutan grunge berlirik keras dan kritis. Didi Kempot justru jauh membumi.

Tapi lihatlah apa yang terjadi di jalanan ketika gerakan "Gejayan Memanggil" di Jogja? Mahasiswa tampak lebih santuy sambil mengibarkan spanduk bertuliskan lirik lagu Didi Kempot. Mulai dari Rezim "Cidro", "Ojo mblenjani janji" atau "Trimo mundur timbang loro ati".

Kalimat tidak lagi sangar, kritik satir cenderung patah hati. Didi Kempot adalah representatif tidak langsung dari Civil Society.

Ya, Didi Kempot adalah satu-satunya musisi yang terlibat di politik tanpa politik itu sendiri.

Baru saja kita disuguhkan kembali era romantisme ala Oliver Goldsmith versi patah hati lengkap dengan gaya heroic couplet atau William Wordsworth (The Solitarity Reaper) bergaung dengan semangat revolusi Perancisnya. Dan hingga kini saya masih tercenung di pojokan sambil memutar Layang Kangen. 

Aaarrggghhh!!....

Kini, beliau telah tiada, beliau telah bergabung dengan pendahulunya, Ranto Gudel sang Ayah dan Mamiek Prakoso sang kakak.

Dan kini kita hanya bisa bercerita bagaimana dia mengumpulkan donasi 7,6 milyar rupiah dari konser amal, amal jariyah fantastis yang dia sempat lakukan di akhir hayatnya. Suatu hal yang mungkin dia ceritakan di alam sana.

Sebelum akhirnya dia berjalan menemui Glen Fredly sambil menyiapkan suatu ide konser bersama.

"Mas Glenn, mari kita hibur para Malaikat, sepertinya mereka jenuh dengan tingkah manusia..". 

Glenn tersenyum. Dan kemudian mereka berangkulan mesra.

Daah...dadah sayang..

Daah..slamat jalan..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun