Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Sugeng Tindhak", Didi Kempot, Lelaki yang Menggenggam Patah Hati

8 Mei 2020   01:18 Diperbarui: 8 Mei 2020   01:57 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.republika.co.id

Ingin saya mengucap turut prihatin, tapi beliau kembali berucap.

"Tapi lupakan, kata Kang Didi, ra sah sedih terus-terusan, pria boleh menangis, tapi hidup harus tetap kuat, bahkan saat kita sudah tidak kuat, ya harus tetap kuat" Ujar pria yang saat kami berbincang di tahun 2007 , berusia sekitar 43 tahun dan masih menjomblo.

Disitu saya terhenyak, sebuah musik yang biasanya hanya menginspirasi kulit luarnya saja, kali ini beda, Didi Kempot telah mencetak filosofi hidup. 

Rekan saya seakan punya ikatan batin dengan musisi gondrong kriting itu, padahal boro-boro kenal, lihat saja belum pernah. Disitu saya mulai paham, Didi Kempot bukanlah musisi tembang jawa biasa. 

Di lain hal, saya setuju tulisan sobat ambyar bahwa dialah satu-satunya musisi yang sanggup menggabungkan rasa patah hati dengan kemiskinan. Bagaimana tidak, lirik Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Tresnamu Ketinggalan Kreto, Tanjung Mas Ninggal Janji, semua bercerita tentang patah hati kelas proletar. 

Setting lirik ada di stasiun, pelabuhan bahkan terminal. Tiga tempat yang (dulu) erat dengan kemelaratan.

Coba jika judulnya menjadi Adi Soemarmo Ninggal Janji, jelas tidak akan meresap ke sanubari, karena jika naik pesawat hitungan satu-dua jam pun cinta bisa dikejar. Ini bukanlah cerita noob versi Rangga dan Cinta, yang hari ini ketemu di bandara Jakarta, esoknya angkringan di Jogja dan lusa main salju di New York.

Frasa cinta versi Didi Kempot adalah semesta cinta yang sebenarnya. Bagaimana hati dikoyak perasaan rindu yang tak pasti, hanya bisa menatap kekasih yang pergi namun tak tahu kapan bisa bertemu kembali. 

Cinta yang melarat, putus asa namun semangat dan kaya akan rasa.

Seperti kisah heroik ayah saya, bagaimana beliau menunggu Ibu saya yang pulang ke Solo, menunggu hingga dua tahun, beliau rajin bolak-balik ke Terminal Lodoyo, Blitar. Hanya untuk satu jawaban, ya atau tidak.

Jika ayah saya saat itu punya duit, pastilah Ibu disusul ke Solo, entah naik mobil, bus atau naik Kereta Api sekalian. Tapi karena melarat, Ayah memilih untuk menunggu cintanya kembali. Sebuah kegalauan yang amat paripurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun