(Tirai merah panggung terbuka perlahan)
Sihir dan ilmu pengetahuan, keduanya berjalan beriringan di sebuah dunia bernama Tanah Solhaven. Manusia hidup beriringan dengan berbagai makhluk yang dianggap hanya mitologi semata di Bumi, seperti Elf, Fairy, Dwarf, Naga, Putri Duyung, Ras Kucing, dan sebagainya yang telah menetapkan batas wilayah pusat masing-masing. Meski begitu, kalian dapat menemukan mereka yang sedang berbaur dengan para manusia yang lain karena seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka mulai sedikit tergeser karena pencampuran antara manusia, dan berbagai makhluk tadi. Meski begitu, mereka tetap menjalin hubungan dengan manusia yang jumlahnya lebih banyak daripada mereka. Seiring berjalannya waktu yang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia yang semakin maju. Satu persatu bermunculan manusia yang berumur panjang akibat rekayasa genetika yang diturunkan melalui anak-cucu mereka, baik yang mempunyai kekuatan maupun tidak.
Para makhluk mitologi tadi yang awalnya merasa terancam, kini perlahan mulai membuka diri kepada manusia lagi setelah sempat terjadi konflik berkepanjangan di antara mereka semua. Terutama bagi bangsa Elf, Fairy, dan Naga yang terkenal akan panjangnya umur ketiga bangsa tersebut yang dapat hidup hingga ratusan ribu tahun lamanya, kecuali mereka dibunuh. Berumur panjang, bukan berarti kekal dengan kematian. Hal itu juga yang dirasakan oleh sebuah keluarga kecil yang terletak di Kota Teras, di sebuah negara yang terkenal dengan kemajuan teknologi dan sihirnya yang berjalan berdampingan secara seimbang, yakni Xeriya. Urutannya, si anak berumur 118 tahun, ayahnya berumur 235 tahun, dan ibunya berumur 227 tahun.
Mari kita mulai kisahnya!
~~~~~~
Di sebuah kota kecil di negara Xeriya, bernama Kota Teras. Bulan purnama menggantung indah yang berhiaskan konstelasi bintang yang sedang percaya diri menampakkan pesonanya, dengan sayup-sayup jangkrik serta kicauan burung hantu yang menemani malam yang tenang itu. Tapi, di salah satu rumah dengan halaman yang ditanami aneka tanaman hias yang membuat nuansa sejuk nan nyaman. Di bawah pencahayaan lampu kamar yang nyaman di mata, seorang anak laki-laki yang duduk di depan meja belajarnya dengan tumpukan buku-buku dan beberapa kertas ujian yang berserakan di kasurnya, tertera nilai berkisar 90-100. Lampu belajar yang menempel pada salah satu sisi meja belajarnya, menyoroti wajah laki-laki berkulit sawo matang tersebut yang nampak letih.
"Hadeh, capeknya," keluhnya. "Tapi... kalau aku berhenti, kesempatan kuliah di perguruan tinggi ternama bisa gagal! Aku tidak mau mengecewakan ayah dan ibu, aku harus bisa membalas kebaikan mereka sebisa mungkin!" lanjutnya yang mulai memantik bara api semangatnya yang sempat meredup.
TOK! TOK!
"Masuk aja! Nggak dikunci kok," serunya tanpa mengalihkan pandangan terhadap lembaran materi.
Pintu perlahan dibuka, dan secangkir teh hangat beserta sepiring kue coklat kesukaan tersaji di tepi meja makan. "Istirahat dulu, Rian. Ibu khawatir kalau kamu demam lagi." Sebuah suara yang lembut, mengena di hatinya.
Remaja laki-laki yang dipanggil dengan nama Rian tersebut mendongak. "Terima kasih, Ibu. Sebentar lagi aku istirahat kok," katanya dengan cengiran.
Ibunya menghela napas panjang sebelum tersenyum, mengelus kepala putranya dengan lembut. "Baiklah, jangan memaksakan dirimu ya? Ibu yakin kamu bisa masuk PTN yang kamu mau," ujarnya sebelum mencubit pelan pipi putranya itu.
Rian tertawa renyah, sebelum suara ketukan pintu pelan mengalihkan perhatian mereka berdua. "Sepertinya ada yang sedang asyik berduaan ya?"
"Kenapa? Ayah cemburu ya?" tantang Rian dengan senyum jahil kepada sesosok pria yang tengah bersandar santai di bibir pintu dengan tangan yang bersedekap.
Ayahnya hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, sebelum menghampiri Rian dan mengacak-acak rambutnya dengan lembut yang membuat Rian tertawa kecil. "Kamu ini, santai sedikit kenapa? Dengan kemampuan dan nilaimu yang sekarang, PTN mana yang mau menolak calon mahasiswa hebat seperti kamu, eh?"
Rian hanya terkekeh sebelum menepis tangan ayahnya dengan lembut. "Ayah bisa saja memujiku. Jangan terlalu banyak memuji, nanti aku bisa besar kepala lho?" kata Rian dengan senyum menggoda.
"Biarkan saja. Biar seluruh negeri tahu kalau Ayah punya anak yang hebat seperti kamu, Rian," kata ayahnya dengan senyum hangat.
Si Ibu hanya tersenyum melihat kelakuan keduanya. Kemudian dia memperingatkan suaminya untuk jangan mengajak Rian bermain game dulu karena sebentar lagi dia akan mengikuti persiapan tes masuk ujian perguruan tinggi, dengan tujuan supaya lebih fokus dalam mengerjakan dan tidak teringat segala cemoohan yang dilontarkan kepada Rian karena payah bermain di beberapa game.
"Yah, aku nggak ada teman mabar buat sementara waktu deh," ucap Ayah dengan pura-pura merajuk.
"Hmm, jadi game lebih menarik daripada aku ya, Caleb Sayang?" Ibu melukiskan senyuman menahan kesal kepada pria tampan yang ada di hadapannya itu.
Caleb, nama si Ayah yang punya mata ungu lembut dengan rambut hitam pendek yang ditata rapi itu, sedang gelagapan sembari mengangkat kedua tangannya, mencoba membela diri. "Bukan, bukan begitu! Game memang menarik, tapi mereka tidak bisa mengalahkan pesonamu, Alisa! Percayalah padaku," katanya dengan keringat dingin yang mengalir di pelipis dahinya.
Alisa, wanita berambut perak panjang dengan mata biru terang yang menatap tajam suaminya itu berusaha menahan dirinya untukk tidak melayangkan bogem mentah pada Caleb, memandangnya dengan sorot mata, Kamu serius?
Bukannya melerai, jutsru Rian menikmati drama yang sedang terjadi sembari melahap kue coklat buatan ibunya yang lezat. "Drama hari-hari. Klise, tapi aku suka," katanya dengan sebelum memasukkan suapan yang kedua. Meski begitu, Rian tidak bisa menyembunyikan sudut bibirnya yang sedikit terangkat melihat keakraban kedua orang tuanya.
>>>>
Sinar mentari pagi menyelinap di kisi-kisi jendela dan ventilasi udara kamar Rian. Sepertinya kali ini alarm otomatisnya Rian kalah cepat karena dirinya sudah memakai seragam sekolah. Kemeja putih pendek dengan beberapa identitas diri yang dibalut dengan sweater berwarna biru tua, serta celana bahan berwarna abu-abu. Turun ke lantai bawah dengan kedua orang tuanya yang sudah berada di dapur lebih awal darinya. "Selamat pagi, Ayahanda dan Ibunda tercinta!" sapa Rian dengan dramatis.
Alisa yang sedang memasak sarapan hanya terkekeh sebelum menyahuti salamnya, sedangkan Caleb yang sedang membaca koran hologram di meja makan hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. "Pagi. Kamu bangun karena ingin rajin atau nggak bisa tidur karena antusias buat daftar nih?" tanya Caleb dengan nada menggoda.
Bagai teman karib, Rian menepuk bahu ayahnya santai sebelum duduk berhadapan dengannya. "Hehe, lebih yang kedua. Hari ini lho, Ayah! Deg-degan banget, sumpah," aku Rian dengan antusias.
"Santai saja. Datang, kerjakan, lupakan, dan tahu-tahu kamu lulus ujian seleksi PTN-nya," kata Caleb yang mencoba menyemangati putranya itu. "Lagipula, kalaupun gagal masuk PTN, bukan berarti mimpi-mimpimu selesai di situ. Masih banyak perguruan tinggi swasta yang bisa kamu masuki. Jangan memikirkan biayanya, dan serahkan urusan itu kepada ayah dan ibu. Mengerti?"
Rian terdiam, tapi perlahan ada perasaan hangat di dadanya yang membuncah. Sepertinya dia terlalu berpikir berlebihan tadi. Rian mengangguk dan berkata, "Terima kasih, Ayah," sambil tersenyum hangat.
Alisa yang sedari tadi hanya mendengar sembari memasak, diam-diam tersenyum mendengar percakapan keduanya. Pagi yang cerah nan hangat itu diakhiri dengan percakapan di meja makan sembari menyantap sarapan buatan Alisa yang mengenyangkan.
>>>>>>
"Hadeh, kelar juga akhirnya."
Yap, Rian baru saja mendaftar dan mengikuti seleksi ujian masuk kampus impiannya, bersama ketiga temannya yang sedari kelas satu hingga tiga SMA selalu sekelas dengannya. Ada si gembul Faris, si cungkring Gilang, dan si tampan Samuel. Mereka sedang berjalan keluar dari gedung tempat ujian, dan menuju ke kafe langganan mereka.
"Yah, semoga kita berempat bisa masuk di sana, di jurusan masing-masing," ucap Gilang dengan wajah masam karena baru saja menghadapi kumpulan soal paling mematikan seumur hidupnya, yang langsung diangguki serempak oleh ketiganya.
Beberapa menit kemudian, mereka berempat sudah berada di salah satu spot duduk langganan mereka, yakni di sudut ruangan dengan jendela besar yang langsung menghadap pemandangan luar kafe yang dipenuhi oleh manusia yang berlalu-lalang. "Jangan lupa, kita masih harus menghadapi ujian akhir sekolah. Jadi, jangan santai-santai dulu."
Peringatan dari Faris berhasil membuat ketiganya mengaduh pelan dan menyandarkan kepala di atas meja. "Stop, jangan diingetin dulu, Ris. Otakku masih ngebul," ujar Gilang dengan lesu.
"Bener tuh, kata Gilang. Tujuan kita ke kafe juga buat kabur sebentar dari kenyataan, dan tumben banget kamu bisa serius kayak gitu. Biasanya kamu yang paling semangat bahas makanan viral saat ini, Ris," timpal Samuel dengan nada datar tapi tersirat godaan di dalamnya.
"Haha, itu tandanya Faris sedang berusaha berada di jalan yang lurus, tahu," ujar Rian sambil terkekeh hambar.
"Tumben kamu bisa bijak juga, Rian," komentar Faris sambil menyeringai, yang hanya direspon Rian dengan mengibaskan tangan ke udara. Terlalu lelah untuk membalas komentar Faris.
Tidak lama kemudian, pesanan mereka semua telah datang dan mereka berbincang topik yang lebih santai yang diselingi lelucon, sampai-sampai Gilang dan Samuel terpingkal-pingkal hingga hampir jatuh dari kursi. Beberapa pengunjung ada yang melirik mereka sekilas, atau geleng-geleng kepala pelan melihat kelakuan meja di empat sekawan itu.
Usai makan enak di kafe, mereka semua berpisah menuju kediaman masing-masing. Tetapi, sebelum pulang, Rian menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah toko roti langganannya, yang tidak jauh dari kafe tadi. Begitu masuk, semerbak harum aroma aneka roti yang baru saja diangkat dari panggangan langsung menggelitik hidung Rian untuk segera dibeli. Ada varian original, hingga kreasi rasa-rasa unik seperti nanas-coklat, durian-vanilla, dan masih banyak varian lainnya.
"Halo, Bibi Ruby! Apa kabar?" sapa Rian sembari menutup pintu, dan agak terkejut karena banyak pelanggan hari ini yang membeli roti. Tidak terlalu ramai, tapi cukup untuk membuat antrian sebanyak tujuh orang.
Seorang wanita berambut merah ruby-seperti namanya-yang dikuncir ikat dua di kepalanya, pemilik toko roti bernama Ruby's Delight yang sudah terkenal seantero Xeriya itu, menyapa balik Rian dengan senyuman hangat. "Wah, halo juga Rian! Baik seperti biasanya. Oh iya, Bibi dengar dari Pak Caleb kalau kamu baru saja ikut ujian masuk PTN. Gimana, lancar?"
Sembari mengajak ngobrol, Bibi Ruby dengan tangannya yang cekatan langsung mengemasi roti yang dibeli oleh Rian.
Rian mengangguk sambil tersenyum kecut. "Lumayan, Bi. Buat otak ngebul dan pengin BAB di tengah ujian," gurau Rian yang benar adanya, membuat Bibi Ruby tertawa kecil mendengarnya.
"Kalau begitu, roti coklat dan kue tiramisu yang kamu beli ini cocok untuk mendinginkan kepala sehabis ujian," katanya sambil tersenyum hangat.
Rian berterima kasih usai mendapatkan kembalian, dan melambaikan tangan sebelum beranjak pergi dari toko. Bibi Ruby yang awalnya tersenyum sembari melambaikan tangan, wajahnya lansung berubah, menjadi lebih sendu. "Anak itu, sudah tahu yang sebenarnya belum ya?"
Bersambung>>>
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI