Sampai saat ini aku masih mengingatnya dengan jelas.
Bunyi itu.
Bunyi tubuh yang beradu dengan aspal, bunyi tulang-tulang yang berderak patah, juga bunyi tengkorak yang pecah dan menghamburkan isinya.
Aku juga masih bisa mengingat baunya.
Bau itu.
Bau darah kental berwarna merah kehitaman yang menggenang dan menyembur tak putus dari setiap urat yang terkoyak.
Aku masih mengingatnya.
Aku bahkan merasakannya.
Aku seharusnya sudah mati.
Tapi—
Beberapa jam yang lalu seharusnya menjadi akhir hidupku setelah aku tak kuat menanggung segala beban hidup. Perusahaanku bangkrut, utangku menggunung, ditambah lagi istri keduaku malah meninggalkanku dan lari dengan laki-laki lain yang seusia dengannya.
Pandanganku tertutup berlembar-lembar kertas koran.
Maka aku pasti sudah masti.
Jatuh dengan kecepatan 10 meter per detik dari lantai 10 apartemen tempatku tinggal – yang sudah disita pengelola – seharusnya aku sudah mati dalam waktu lima detik setelah aku melompat.
Tapi kenapa aku masih bisa melihat dan mendengar semuanya?
Aaah!! Sakiit!
Aku bahkan masih merasakan sakit yang merayapi setiap milimeter bagian tubuhku. Rasa sakit yang tak terperikan, rasa sakit yang tiada tara.
Aku meraung.
Tapi tak ada yang mempedulikanku.
Jadi, inikah mati?
Aku masih bisa melihat, masih bisa mendengar, masih bisa merasa, namun tak bisa bergerak?
Jika aku tahu akan seperti ini—
“Itu karena kau mati bunuh diri dan jasadmu belum dipindahkan dari sini,” tiba-tiba terdengar satu suara.
“Siapa? Apa kau bicara denganku?” tanyaku sembari menahan sakit yang mengiris tubuhku.
“Memangnya dengan siapa lagi aku bicara?” balasnya. “Kau akan terus begitu sampai tubuhmu dipindahkan dari sini. Kau bisa melihat, mendengar, dan merasakan sakit, namun kau tak bisa bergerak. Melihat kondisi tubuhmu saat ini, seharusnya rasa sakit yang kau rasakan lebih besar dari ini, tapi kau beruntung.”
“Beruntung bagaimana?” tanyaku.
“Sepertinya selama ini ada yang selalu mendoakan kebaikan untukmu. Siapa? Keluargamu, mungkin? Kurasa pasti anak-anakmu.”
Aku tercekat.