Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pusaran Takdir

27 Februari 2017   12:37 Diperbarui: 27 Februari 2017   22:00 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: ceramicfutures.com

Kini ia menemuiku.

“Dik,” sapanya.  “Apa kabar?”  Senyumnya masih lembut, sama seperti dulu.

“Baik, Mbak,” jawabku.  “Mbak sendiri apa kabar?”

Setelah beberapa menit pembicaraan ringan, akhirnya aku tahu maksud kedatangan Mbak Titi.  Ia bermaksud memohon bantuan keuangan padaku.

“Mas Toro sudah lama sakit.  Hampir semua usahanya hancur karena anak buahnya banyak yang menyalahgunakan kepercayaan yang ia berikan.  Dalam kondisi seperti ini, Mas Toro tidak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan kehancuran usaha yang sudah bertahun-tahun ia bangun dengan susah payah.”

Aku hanya mendengarkan cerita Mbak Titi.

Aku teringat segala kebaikan yang pernah kudapat dari mereka berdua.

Dan kini mereka memohon pertolongan padaku.

“Untuk kesembuhan Mas Toro, kali ini Mbak mohon kamu mau meminjamkan sejumlah uang pada kami.  Sertifikat rumah ini sebagai jaminannya,” pungkas Mbak Titi sembari menyerahkan sebuah dokumen yang tertutup rapi di amplopnya.  “Jika nanti kami tidak bisa mengembalikan pinjaman, kamu boleh ambil rumah itu.”

Aku membaca sertifikat yang Mbak Titi serahkan, sekilas membaca isinya, lalu tersenyum dan mengembalikan sertifikat tersebut pada kakakku.

“Lebih baik Mbak pulang saja,” kataku sambil tetap tersenyum.

“Maksudnya?” Mbak Titi tampak bingung.

“Jaminan yang Mbak serahkan nilainya terlalu kecil, tidak sebanding dengan pinjaman yang Mbak minta.”

“Tapi...  Kamu…,” Mbak Titi terkesiap.  Ia kemudian menghela napas, “Kalau begitu Mbak pinjam sejumlah nilai jaminan saja," ujarnya pelan.

Aku menggeleng.

“Maaf, Mbak.  Aku tidak bisa.”

“Kamu tidak mau meminjami kami uang?”

"Rumah dan tanah Mbak tidak strategis, butuh waktu lama supaya bisa laku dijual."

Mbak Titi tampak terpukul mendengar ucapanku barusan.

Suasana berubah dingin dan sunyi mencekam.  Sayup aku mendengar isakan Nia.  Aku tahu ia sangat kecewa dengan keputusanku barusan.

Mbak Titi masih menatapku tak percaya sebelum kemudian ia menghela napas berat.

“Baiklah.  Tak apa-apa.  Mbak paham.  Maafkan Mbak yang sudah mengganggu kamu dan keluargamu.  Mbak pamit, salam buat Nia dan anak-anak, ya.”

“Mbak,” panggilku saat kakakku sudah di depan pintu.  Aku mengambil beberapa lembar uang dari dompetku dan memberikannya pada Mbak Titi.  “Untuk ongkos pulang,” kataku.

Mbak Titi menggeleng pelan.

“Simpan saja uangmu,” katanya lirih namun terdengar bagai penghinaan yang teramat dahsyat di telingaku.

“Kalau begitu aku titip salam buat Mas Toro, semoga lekas sembuh,” ujarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun