Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Borobudur, Marathon, dan Kita

22 November 2023   10:02 Diperbarui: 26 November 2023   17:29 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi foto Borobudur Marathon.

Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Ketiganya adalah komponen yang membentuk suatu negara. Namun, mencari titik temu antara ketiganya adalah perkara yang susah luar biasa. 

Setidaknya hal itu yang saya rasakan kala mengabdi kepada masyarakat lebih dari setengah dasawarsa lamanya sebagai pengurus RT/RW. Pemerintah acap kali gagal menerjemahkan kebutuhan masyarakat, sehingga program-programnya lebih sering tidak berjalan efektif. 

Sementara, pengusaha hanya membutuhkan masyarakat dalam konteks mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga relasi yang terbentuk bersifat dingin dan pragmatis. Namun ada kalanya sinergi di antara ketiganya terjalin dengan begitu baik sehingga menciptakan simbiosis mutualisme yang sempurna. Satu dari fenomena yang teramat langka tersebut dapat kita temukan dalam gelaran Borobudur Marathon.

Tema "voice of unity" yang diangkat dalam agenda tahunan kali ini rupanya benar-benar sukses terwujud. Semangat persatuan sangat terasa sepanjang jalannya hajat, mulai dari sebelum, ketika, dan sesudah acara. Terutama pada hari lomba, ketika ribuan peserta berbondong-bondong datang melakukan perjalanan yang hampir bisa disebut bersifat spiritual ke candi terbesar di dunia sejak pagi buta. Melayani puluhan ribu khalayak tanpa meninggalkan keluhan berarti adalah tugas yang tidak mudah, namun penyelenggara dapat melakukannya dengan sangat baik di sini.

Munculnya pelari-pelari dari kalangan masyarakat biasa alias bukan atlet -- baik mereka yang berlari secara rekreasional maupun yang agak serius -- adalah fenomena baru di Indonesia yang sangat layak untuk kita pertahankan selama mungkin. Mereka yang terdiri dari para pekerja muda, anak sekolah maupun mahasiswa, hingga orang-orang paruh baya yang berjuang menemukan kembali gairah hidup rela menukar kesenangan-kesenangan duniawi untuk memenuhi target lari personal mereka. 

Demi mempersiapkan diri dari satu ajang lari ke ajang yang lain termasuk Borobudur Marathon, mereka rela berlatih sepanjang tahun, menjaga pola makan, berhenti merokok, dan menerapkan gaya hidup sehat. Semua ini tidak mudah, namun orang-orang ini mau melakukannya atas kemauan sendiri tanpa pemerintah mengeluarkan upaya sedikit pun untuk mengkampanyekannya. Luar biasa, bukan?


Sinergi antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat dalam gelaran Borobudur Marathon terlihat dengan begitu gamblang sepanjang rute lari mulai dari garis start hingga finish. 

Suasana Candi Borobudur yang terawat menunjukkan kesiapan pengelola candi dan pemerintah setempat dalam menyambut ribuan tamu yang datang sekaligus. Disediakannya toilet portabel dalam jumlah banyak serta dibukanya kantong-kantong parkir dadakan di dalam area candi memastikan seluruh tamu dapat terlayani dengan baik.

Rute lari yang indah dan bersih melalui jalan-jalan umum dan pemukiman-pemukiman warga menunjukkan besarnya antusiasme masyarakat dalam menyambut gelaran ini. Dua-tiga kilometer sekali rombongan anak-anak sekolah menyambut dan memberi semangat para pelari dengan berbagai pertunjukan lengkap mulai dari marching band hingga tari-tarian tradisional. 

Tidak ketinggalan, warga desa setempat menyiapkan pertunjukan Dayakan khas Borobudur atau sekedar menyapa dengan ramah walaupun tidak diorganisir oleh penyelenggara. 

Di luar venue, tidak terhitung masyarakat yang kebagian rezeki dengan penuhnya homestay maupun penginapan kelas melati, serta rumah makan dan toko kelontong yang dilarisi oleh keluarga-keluarga pelari yang menginap. Rasanya tidak mungkin jika para pelari yang berpartisipasi dalam Borobudur Marathon tidak membawa pulang oleh-oleh tambahan berupa pengalaman yang sangat mendalam dan berkesan.

Setelah lomba, penyelenggara memberikan akses seluas-luasnya bagi para peserta untuk mengunduh dan membagikan kembali foto-foto perlarian mereka. Kita tahu bagi para pelari rekreasional, faktor eksis dan faktor kesehatan atau prestasi bernilai sama pentingnya. Saya saja mendapatkan tidak kurang dari lima belas foto lari atau cukup untuk menjadi konten selama hampir sebulan ke depan! 

Bagi mereka yang agak serius dengan target personalnya, penyelenggara juga menyediakan data-data waktu secara lengkap dan akurat sehingga pelari dadakan seperti saya juga bisa memahami dan menikmati analisanya.

Dokumentasi foto Borobudur Marathon.
Dokumentasi foto Borobudur Marathon.

Sejak dahulu saya sendiri memiliki ikatan personal dengan wilayah Borobudur dan masyarakatnya. Ketika mahasiswa saya menghabiskan dua bulan di sini untuk mengikuti kegiatan KKN (kuliah kerja nyata, bukan KKN yang satunya) dan masih bersahabat dengan warganya hingga hari ini. Namun, pengalaman di Borobudur Marathon mengangkat kesan tersebut hingga ke level yang berbeda. Pasalnya, ini bukan hanya pertama kali saya mengikuti ajang marathon, namun juga pertama kali saya berlari. Titik.

Saya tidak termasuk di antara fenomena para pelari yang muncul di masyarakat belakangan ini. Saya adalah pembenci lari karena menurut saya kegiatan tersebut melelahkan dan menghabiskan terlalu banyak waktu. 

Pengalaman saya mengikuti nomor full marathon kemarin hanya membuktikan kecurigaan tersebut. Sampai dengan dua hari setelah lari, kaki dan seluruh badan saya masih terasa pegal sehingga belum dapat digunakan secara normal. Padahal saya hanya berhasil menyelesaikan separuh jalan hingga 21 kilometer sebelum terkena cut off time tipis dan dipaksa oleh panitia masuk ke mobil pengantar.

Partisipasi saya di Borobudur Marathon juga lebih banyak disebabkan faktor kecelakaan karena menggantikan orang lain yang tiba-tiba berhalangan hadir -- dan baru diputuskan semalam sebelumnya atau kurang dari sembilan jam sebelum waktu start. 

Jadi lupakan waktu latihan berminggu-minggu atau berbulan-bulan, karena satu-satunya indikasi menyerupai persiapan yang saya lakukan sebelum mengikuti marathon adalah doa dan pemanasan yang saya lakukan selama lima menit sebelum mulai berlari. Untungnya paling tidak saya masih bisa menyelesaikan separuh marathon -- walaupun saya juga sadar sepenuhnya bahwa nasib saya bisa berakhir jauh lebih buruk dari sekedar tidak menyelesaikan lomba.

Lantas, untuk apa saya repot-repot berlari dan mengambil risiko? Sedikit latar belakang, saya sendiri termasuk di antara mungkin banyak sekali orang yang merasa dirinya sehat dan bugar walaupun tidak pernah melakukan olah raga secara rutin. 

Alasan dari keyakinan tersebut adalah karena saya masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan kaki menyambangi rumah-rumah tetangga atau menemani anak-anak ke tempat wisata selama seharian penuh. Hipotesisnya, berjalan kaki seharian seharusnya menawarkan situasi yang tidak jauh berbeda dengan berlari sejauh sekian puluh kilometer. Kenyataan yang ada di lapangan sebagian benar, namun lebih banyak salahnya. 

Saya memang masih bisa melahap jarak separuh marathon, namun dalam cukup banyak kesempatan jam pintar saya mengingatkan bahwa detak jantung saya sudah berpacu dalam kategori yang berbahaya sehingga saya harus memelankan laju. Ketimbang kaki yang pegal atau pikiran yang letih, inilah risiko terbesar yang saya hadapi selama berlari.

Dokumentasi foto Borobudur Marathon.
Dokumentasi foto Borobudur Marathon.

Lantas, pelajaran apa yang saya dapatkan dari pengalaman berharga ini? Yang pasti saya jadi lebih menghargai komitmen orang-orang biasa yang mau repot berolahraga dan berlari secara rutin hampir setiap hari. Bukannya saya tidak menghargai mereka sebelumnya, namun setelah ini saya jadi lebih memahami beratnya perjuangan mereka. 

Di sisi lain, karena tanpa melakukan latihan saya terbukti juga masih bisa menyelesaikan separuh marathon (walaupun saya benar-benar tidak merekomendasikan kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama), artinya aktivitas sehari-hari yang dilakukan seperti menemani anak jalan-jalan ke mall masih cukup setidaknya untuk menjaga kebugaran dalam level yang minimal.

Jadi, kesimpulannya setelah ini saya sepertinya tetap tidak akan menjadi pelari dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu senggang yang saya punya bersama dengan anak-anak saja seperti sekarang. 

Tahun depan saya pasti akan tetap kembali ke Borobudur Marathon dengan situasi yang mungkin kurang lebih sama dengan sekarang dan mengikuti half marathon untuk mendapatkan setidaknya medali finisher. Ya setidaknya mungkin atau dua minggu sebelum hari H saya akan mulai rutin jogging atau naik sepeda agar otot-otot di badan saya tidak terlalu kaget ketika berlari nantinya.

Borobudur, sampai jumpa tahun depan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun