Sejarah Bakar Tongkang
Sejarah bakar tongkang di Bagansiapiapi diyakini bermula sejak tahun 1826. Pelaksanaan ritual saat itu masih terbatas pada komunitas tertentu dan belum mendapatkan pengembangan untuk menarik wisatawan. Ritual ini dianggap sebagai simbol kedatangan penduduk dari China yang bermigrasi ke Pulau Sumatera, tepatnya di Bagansiapiapi, Rokan Hilir. Menurut keterangan, mereka bukan berasal langsung dari Tiongkok, melainkan dari masyarakat Tiongkok Selatan yang telah bermigrasi ke Thailand. Menurut sejumlah sumber dan kisah, etnis Tionghoa pindah ke Sumatera karena mereka terusir akibat masalah politik dan konflik yang berlangsung di Thailand. Akan tetapi, sumber dan cerita lain menyatakan bahwa mereka datang untuk mencari rezeki dan kehidupan yang lebih layak akibat kehidupan mereka yang sangat sulit di tanah kelahiran.
Pada awalnya, mereka datang menggunakan tiga kapal tongkang, meskipun tujuan daerahnya belum diketahui secara pasti. Namun, kejelasan mengenai dua kapal lainnya masih belum diketahui. Menurut sumber lain, kedua kapal berlabuh di daratan pulau yang berbeda. Namun, beberapa orang berpendapat bahwa kedua kapal itu tenggelam. Jumlah warga China yang pertama kali tiba di Bagansiapiapi adalah sebanyak 18 orang. Rombongan tersebut dipimpin oleh individu Bernama Ang Mie Kui atau juga dikenal sebagai Ang Nie Kie. Penumpang kapal tersebut semuanya berasal dari keluarga marga Ang. Data dari Museum Tionghoa Rokan Hilir menunjukkan bahwa ada tujuh belas nama lain yang juga berada di kapal, yaitu Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, dan Ang Tjie Tui.
Dalam pelayaran tradisional, kapal sering mengalami guncangan akibat hempasan ombak laut. Kapal tongkang yang mereka naiki bergoyang-goyang di laut lepas tanpa tujuan yang jelas. Selama berhari-hari di laut berombak tinggi di Selat Malaka tanpa kepastian, rombongan yang dipimpin Ang Mie Kui akhirnya mendapatkan petunjuk jalan. Dalam pandangan mereka yang jauh, mereka melihat adanya percik-percik cahaya yang berkedip-kedip. Sumber cahaya kecil tersebut kemungkinan besar berasal dari hewan kunang-kunang yang berperan sebagai penunjuk arah. Setelah itu, kemudi kapal tongkang diarahkan menuju sumber cahaya. Pada akhirnya, Ang Mie Kui dan 17 penumpang kapal berlabuh di sebuah daratan yang kemudian disebut sebagai Bagansiapiapi. Tentu saja, kedatangan warga Tionghoa yang pertama kali ini disertai dengan kebiasaan dan budaya mereka, termasuk kepercayaan tradisional mereka. Mereka meyakini bahwa keberhasilan mereka mencapai daratan Pulau Sumatera berkat restu dan peranan dari dua patung dewa yang mereka bawa di kapal.
Mereka menaruh Dewa Tai Sun Ong Ya di bagian haluan kapal. Sementara itu, Dewa Kie Ong Ya ditempatkan di dalam kapal. Mereka mempercayai kedua dewa sebagai penuntun dan pelindung rombongan, sekaligus sebagai penentu arah hidup mereka di pulau yang baru. Saat mereka sampai di daerah yang baru, kegembiraan pun langsung terpancar. Mereka sepakat untuk tidak kembali ke daerah asal mereka lagi. Mereka akhirnya membakar kapal tongkang yang mereka tumpangi, sebagai lambang tekad dan sumpah mereka untuk memulai babak baru dalam hidup.
Pembakaran kapal tongkang yang mereka tumpangi diyakini sebagai tradisi yang dilakukan secara berulang-ulang. Â Â
Pembakaran tongkang itu sendiri telah menjadi sebuah ritus tahunan yang dilakukan pada tanggal tertentu sesuai penanggalan Tiongkok. Pada awalnya, ritual bakar tongkang ditujukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun Ong Ya, tetapi kini tampaknya bergeser menjadi penghormatan terhadap jasa leluhur pertama yang membuat etnis Tionghoa di Bagansiapi-api berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.
Folisofi serta Makna Dari Tradisi Bakar Tongkang
Makna dan filosofi yang terkandung dalam Tradisi Bakar Tongkang ini sangat signifikan. Praktik ritual yang satu ini mengandung setidaknya lima makna dan nilai-nilai filosofi yang penting di Indonesia. Melalui Bakar Tongkang, sejumlah pesan moral yang mendasari karakter dan pemahaman etnis Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari disampaikan.
a. Lambang atau Simbol Permulaan Kehidupan Baru  Â
Â
Pada awalnya, tradisi Bakar Tongkang memiliki makna sebagai tanda dimulainya kehidupan baru bagi etnis Tionghoa yang telah berlabuh di muara Sungai Rokan, Bagansiapi-api. Ini menandai awal kehidupan baru mereka, yang berasal dari tanah Fujian di Tiongkok Selatan dan singgah di Thailand, sebelum akhirnya 18 orang dari rombongan kapal tongkang mendarat di Bagansiapi-api ratusan tahun yang lalu. Tentunya, mereka perlu melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang berbeda dari daerah asal mereka untuk menjalani kehidupan baru ini. Mereka menyesuaikan cara hidup mereka dengan kondisi alam yang baru mereka temui. Hidup baru ini menunjukkan bahwa mereka telah meninggalkan masa lalu dan akan menjalani kehidupan yang penuh dengan perubahan. Kehidupan yang baru harus lebih baik dan membawa manfaat bagi generasi mendatang. Pengalaman hidup yang penuh tantangan di daerah asal menjadi pendorong semangat untuk melakukan transformasi dalam perilaku dan pola pikir. Selain itu, memulai kehidupan yang baru selalu berlandaskan pada ungkapan syukur atas karunia hidup dari Sang Pencipta. Hidup baru juga berarti melakukan introspeksi terhadap perilaku dan tindakan buruk lama yang telah dibuang jauh, agar tidak terulang kembali. Maka dari itu, babak baru dalam kehidupan dimulai dengan membuka lembaran yang bersih dan menulis sesuatu yang positif bagi kehidupan.
b. Penghormatan Kepada Para leluhur dan Dewa Â
Â
Dalam masyarakat Tionghoa, ritual Bakar Tongkang menjadi simbol kekuatan kepercayaan dan identitas budaya mereka. Â Â
Percaya sepenuhnya kepada dewa yang telah membimbing mereka dapat memastikan perjalanan mereka ke negeri baru Bagansiapiapi berakhir dengan selamat. Kepercayaan yang bersifat abstrak secara batiniah diyakini telah membantu mereka mencapai keselamatan hidup di dunia. Kepercayaan akan tuntutan para dewa yang membawa keberuntungan ini terus dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kepercayaan terhadap Dewa Kie Ong Ya secara khusus menegaskan bahwa beliau telah membimbing perjalanan hidup mereka selama ratusan tahun dan tetap dihormati hingga saat ini. Generasi berikutnya dari etnis Tionghoa di Bagansiapiapi secara konsisten melaksanakan ritus Bakar Tongkang sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Masyarakat Tionghoa menyadari bahwa kehidupan mereka sekarang merupakan warisan dari nenek moyang yang harus dihormati secara terus-menerus. Jika bukan karena keberhasilan 18 leluhur yang mendarat di Sumatera dan menamai daerah itu Bagansiapiapi, etnis Tionghoa tidak akan mampu berkembang dan berkembang biak sampai saat ini. Mereka meyakini bahwa penghormatan kepada para leluhur berperan penting dalam menentukan keberhasilan di masa yang akan datang.