c.  Sikap Optimisme dan Kerja Keras   Â
Â
Prinsip hidup yang diwariskan oleh leluhur etnis Tionghoa yang datang ke Bagansiapiapi adalah berjuang dan berkeyakinan. Mereka datang ke Bagansiapiapi untuk pertama kalinya semata-mata karena optimisme bahwa mereka mampu bertahan hidup di atas kapal tongkang setelah melakukan pelayaran tanpa tujuan, hingga akhirnya mereka berlabuh di sana. Dengan tanpa optimisme dan kerja keras, mereka sebagai nenek moyang tidak akan mampu melanjutkan kehidupan di tempat yang baru. Bukti konkret dari usaha mereka bertahan hidup dengan mengelola alam dan sumber daya muncul sejak mereka pertama kali tiba di Bagansiapiapi.
d. Upaya Menjaga dan Melindungi Alam Serta Lingkungan Â
Â
Semangat pelestarian lingkungan turut diwariskan melalui tradisi Bakar Tongkang. Sebagai wilayah yang baru dikembangkan, Bagansiapiapi awalnya mampu menyediakan bahan kebutuhan hidup yang cukup berlimpah. Dahulu, Bagansiapiapi merupakan penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Namun, julukan tersebut sudah tidak ada lagi saat ini. Sumber kehidupan yang berasal dari persediaan alam tersebut masih terus ada hingga saat ini. Dengan demikian, Bakar Tongkang menjadi simbol pengingat kedatangan leluhur etnis Tionghoa dan juga sebagai langkah untuk menjaga dan melestarikan alam semesta.
e. Perasaan Cinta Terhadap Daerah Rantau  Â
Â
Leluhur etnis Tionghoa secara alami dan tanpa perencanaan datang ke daratan Sumatera dan menamai daerah tersebut Bagansiapiapi. Para leluhur Tionghoa yang tiba telah menjadikan Bagansiapiapi sebagai tanah air kedua mereka. Mereka mengubah kehidupan mereka agar menjadi lebih baru dalam mengelola alam yang tersedia. Kesadaran ini kemudian menuntut mereka untuk mencintai daerah 'rantau' sebagai tempat tinggal yang baru. Tempat rantau tidak semata-mata sebagai tempat berhenti, melainkan sebagai rumah sendiri yang perlu dirawat dan dijaga. Kecintaan terhadap tanah rantau merupakan hal yang esensial agar leluhur etnis Tionghoa dapat bertahan hidup.
Pelaksanaan Ritual Bakar Tongkang
Ritual Bakar Tongkang dilaksanakan dengan melewati sejumlah tahapan perencanaan yang tertata dengan baik. yakni dimulai dari sebagai berikut.
a. Pembuatan Kapal Tongkang
Proses pembuatan kapal tongkang ini memerlukan perencanaan dan pengerjaan yang matang. Pembuatan replika kapal tongkang dilakukan jauh sebelum puncak ritual dilaksanakan. Bahan utama kapal ini adalah kayu, dan bentuknya mirip dengan kapal tongkang yang asli. Panjang kapal mencapai 8,5 meter dan lebarnya 1,7 meter. Sementara bobot kapal mendekati 400 kilogram. Biaya untuk membuat kapal tongkang ini diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah. Proses perakitan kapal memakan waktu antara 20 hingga 30 hari. Pembuatan kapal tongkang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh individu-individu tertentu yang memiliki sikap dan keterampilan yang baik. Adapun etika yang diterapkan, pembangunan kapal tongkang dimulai dengan melakukan sembahyang khusus kepada Dewa Kie Ong Ya. Tujuannya adalah untuk meminta arahan dan memastikan kelancaran selama proses perakitan kapal hingga puncak acara bakar tongkang. Kelenteng Ing Hok Kiong menjadi tempat pembuatan kapal atau tongkang tersebut. Dari sekian banyak kelenteng di Bagansiapiapi, kelenteng ini adalah yang terbesar dan tertua. Patung asli Dewa Kie Ong Ya yang dibawa saat pendaratan pertama leluhur etnis Tionghoa ke Bagansiapiapi pada abad ke-18 masih tersimpan di dalam kelenteng ini. Pada malam sebelum puncak acara, kesakralan kapal tongkang tersebut semakin dipertahankan. Di bagian depan kapal, terdapat gambar kepala naga yang tertutup kain merah. Simbol kepala naga menunjukkan kedudukan tertinggi dari dewa.Â
b. Pengarakan Kapal TongkangÂ
Â
Setelah proses pembangunan kapal selesai, prosesi pengarakannya akan dilaksanakan menuju tempat khusus di halaman Kelenteng Ing Hok Kiong. Dalam menempatkan kapal tongkang, perlu juga meminta arahan dari dewa. Sebelumnya, replika kapal tongkang telah diarak mengelilingi pusat kota Bagansiapiapi, menarik perhatian banyak pengunjung dan wisatawan. Pada tanggal 16 bulan kelima Imlek, berdasarkan penanggalan lunar, proses pengarakan kapal tongkang menjadi puncak dari acara bakar tongkang. Pengarakan kapal harus dilakukan dengan prosedur yang benar. Kapal tongkang harus tetap terjaga. Orang yang memimpin prosesi ini dikenal sebagai Tang Ki, yang dipercaya telah dirasuki oleh roh dewa. Selama acara berlangsung, Tang Ki sering memperlihatkan aksi menusuk diri yang menyerupai debus. Aksi tersebut melibatkan menusuk mulut atau bagian tubuh lain menggunakan benda tajam dan pedang, tetapi tidak menimbulkan luka pada bagian tubuh yang disasar. Ribuan manusia menyaksikan arak-arakan kapal tongkang yang diangkut oleh puluhan lelaki dewasa. Replika kapal yang bergoyang-goyang di tengah kerumunan orang yang mengikuti upacara membuat tongkang itu tampak seperti sedang mengarungi lautan manusia. Dengan mengikuti arahan dari Tang Ki, posisi penempatan haluan kapal tongkang menjadi jelas. Selama pengarakan kapal berlangsung, biasanya juga diisi dengan pertunjukan barongsai dan berbagai aksi khas oriental, termasuk bunyi-bunyian yang beragam. Pada waktu yang bersamaan, upacara sembahyang kepada dewa di Kelenteng Ing Hok Kiong terus dilaksanakan. Setelah diarak, kapal tongkang pun sampai di titik peletakan yang akan dijadikan lokasi pembakaran. Menurut kepercayaan, titik awal kedatangan kapal leluhur etnis Tionghoa di Bagansiapiapi adalah di tempat peletakan kapal dan lokasi pembakaran. Selanjutnya, bagian samping lambung kapal diisi dengan Kimcoa, kertas berwarna emas yang sering dipakai dalam upacara sembahyang. Kimcoa memenuhi seluruh halaman tempat peletakan kapal tongkang. Kapal tongkang akhirnya berada dalam posisi yang siap untuk dilakukan ritual pembakaran.
Ribuan manusia menyaksikan arak-arakan kapal tongkang yang diangkut oleh puluhan lelaki dewasa. Replika kapal yang bergoyang-goyang di tengah kerumunan orang yang mengikuti upacara membuat tongkang itu tampak seperti sedang mengarungi lautan manusia. Dengan mengikuti arahan dari Tang Ki, posisi penempatan haluan kapal tongkang menjadi jelas. Selama pengarakan kapal berlangsung, biasanya juga diisi dengan pertunjukan barongsai dan berbagai aksi khas oriental, termasuk bunyi-bunyian yang beragam. Pada waktu yang bersamaan, upacara sembahyang kepada dewa di Kelenteng Ing Hok Kiong terus dilaksanakan. Setelah diarak, kapal tongkang pun sampai di titik peletakan yang akan dijadikan lokasi pembakaran. Menurut kepercayaan, titik awal kedatangan kapal leluhur etnis Tionghoa di Bagansiapiapi adalah di tempat peletakan kapal dan lokasi pembakaran. Selanjutnya, bagian samping lambung kapal diisi dengan Kimcoa, kertas berwarna emas yang sering dipakai dalam upacara sembahyang. Kimcoa memenuhi seluruh halaman tempat peletakan kapal tongkang. Kapal tongkang akhirnya berada dalam posisi yang siap untuk dilakukan ritual pembakaran.
c. Proses Pembakaran Kapal Tongkang
Â
Ketika kapal tongkang sudah ditempatkan di pusat halaman Kelenteng Ing Hok Kiong, ritual pembakaran kapal tongkang pun segera dilaksanakan. Momen Go Cap Lak, yang merujuk pada waktu pelaksanaan ritual Bakar Tongkang, juga dikenal sebagai pelaksanaan Bakar Tongkang. Go menunjukkan bulan lima dan Cap Lak merujuk pada tanggal enam belas. Setiap tahun, perayaan Go Cap Lak berlangsung pada tanggal 16 bulan kelima lunar. Waktu pelaksanaan ritual Bakar Tongkang umumnya pada pukul 16.00 WIB atau jam empat sore.
d. Posisi Jatuhnya Tiang Kapal Tongkang Â
Â
Ketika prosesi pembakaran kapal tongkang dilakukan, itu menjadi momen yang selalu ditunggu oleh para pengunjung dan wisatawan. Banyak orang, mencapai ratusan ribu pasang mata, menyaksikan tiang utama kapal tongkang yang dibakar dan akan tumbang. Dalam tradisi yang berkembang, posisi arah jatuh kapal tongkang diyakini sebagai indikator sumber rezeki dan keberuntungan. Jatuhnya tiang ke permukaan bumi diyakini sebagai pertanda bahwa keberuntungan tahun berikutnya akan berfokus pada kegiatan di darat. Sebaliknya, jika menuju ke arah laut, usaha-usaha di bidang perikanan dan kelautan akan mendapatkan keberuntungan. Sejauh ini, sejumlah warga dari etnis Tionghoa masih berpegang teguh pada arah jatuh tiang utama kapal tongkang yang terbakar tersebut. Bahkan, turis mancanegara pun turut hadir menyaksikan acara ini, salah satunya karena ingin melihat ke mana arah jatuhnya tiang kapal tongkang. Mereka menganggap itu sebagai petunjuk dari dewa agar mereka mempersiapkan dan memperkuat usaha yang mereka jalani untuk tahun yang akan datang.