Mohon tunggu...
Ruth Margaretha
Ruth Margaretha Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia

Saya adalah seorang mahasiswa Ilmu Politik yang memiliki ketertarikan mendalam dalam diskusi dan analisis isu-isu terkini. Selain fokus pada studi, saya juga menyukai seni. Melalui karya-karya saya, saya berharap dapat menginspirasi dan memberikan perspektif baru kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wakil Rakyat Zaman Sekarang Terpilih karena Ide atau Followers?

15 April 2025   10:11 Diperbarui: 15 April 2025   10:15 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam demokrasi yang ideal, kita membayangkan wakil rakyat itu adalah mereka yang benar-benar mengerti persoalan rakyat dan punya pijakan ideologis yang kuat. Tapi kalau kita lihat praktik politik hari ini, apalagi pascareformasi dan di era media sosial yang makin masif, orientasi itu pelan-pelan digeser. Sekarang, jadi anggota dewan bukan soal gagasan, tapi seberapa terkenal kamu di Instagram, seberapa viral kamu di TikTok, dan seberapa "marketable" kamu saat kampanye. Demokrasi akhirnya mirip audisi selebritas, siapa yang punya panggung, dia yang menang.

Kita bisa lihat jelas bagaimana partai politik hari ini lebih sibuk cari "kandidat terkenal" ketimbang kader militan yang dibentuk lewat proses panjang. Banyak artis, influencer, atau tokoh publik yang langsung loncat ke politik tanpa pernah berjuang di akar rumput. Bahkan, tidak sedikit yang baru masuk partai langsung dapat nomor urut atas. Kaderisasi? Cuma formalitas. Padahal, sistem perwakilan seharusnya jadi cerminan suara rakyat yang kompleks, bukan sekadar konten untuk feed medsos.

Menurut data Badan Keahlian DPR, hanya 26% dari total Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019 yang berhasil disahkan. Artinya, sekitar 74% target legislasi gagal tercapai. Ini bukan sekadar masalah administratif, tapi menjadi cermin bagaimana parlemen gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga pembuat undang-undang. Gagalnya fungsi legislatif ini memperkuat argumen bahwa banyak anggota dewan tidak punya kapasitas memadai dalam hal substansi kebijakan. Dalam banyak kasus, yang penting adalah tampil di media, bukan memahami isu yang dihadapi rakyat.

Situasi ini makin parah karena partai politik sendiri tidak serius membangun sistem kaderisasi. Banyak yang lebih sibuk buka pintu bagi siapa aja yang bisa bawa suara, duit, atau popularitas. Kalau kamu artis terkenal, langsung dilirik. Tapi kalau kamu aktivis desa yang sudah berjuang puluhan tahun, belum tentu dilihat. Ini bikin politik jadi makin transaksional, makin pragmatis. Yang terpinggirkan? Tentu saja rakyat, karena suaranya hanya dicari waktu kampanye, tapi dilupakan setelah pemilu selesai.

Nah, salah satu langkah konkret yang bisa memperbaiki kondisi ini adalah dengan mendorong hadirnya regulasi nasional yang mengikat semua partai terkait sistem keanggotaan dan kaderisasi. Regulasi ini harus mensyaratkan bahwa seluruh partai memiliki basis keanggotaan aktif yang terdokumentasi dengan baik, termasuk kewajiban untuk menjalankan program kaderisasi ideologis dan politik sebelum mencalonkan seseorang sebagai wakil rakyat. Seorang caleg seharusnya hanya dapat diusung jika telah menjadi anggota aktif minimal lima tahun dan menunjukkan rekam jejak keterlibatan dalam kerja politik dan advokasi masyarakat. Hal ini penting untuk mengembalikan marwah partai sebagai institusi demokrasi, bukan sebagai kendaraan populer jangka pendek. Seperti ditekankan oleh Daniel Ziblatt, "Democracy survives where conservative parties are well institutionalized," maka demokrasi Indonesia pun membutuhkan partai yang taat prosedur dan kuat secara organisasi.

Ketika rakyat kehilangan koneksi dengan wakilnya, maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan. Dan ketika kepercayaan itu runtuh, demokrasi tinggal nama. Banyak keputusan parlemen tidak mewakili kebutuhan masyarakat, karena mereka yang duduk di kursi kekuasaan tidak pernah benar-benar hidup bersama rakyat. Ini yang bikin demokrasi kita rawan jadi semacam showbiz, ada naskah, ada panggung, ada aktor, tapi substansinya kosong. Publik jadi penonton pasif. Padahal, demokrasi itu mestinya partisipatif. Pemilih bukan cuma fans, tapi warga negara yang berhak bersuara. Sayangnya, media sosial justru makin memperkuat logika konsumsi politik. Kampanye jadi soal visual, bukan visi. Kandidat jadi produk, bukan pemimpin. Pierre Bourdieu pernah bilang, "Politik kehilangan nilainya saat hanya jadi ajang promosi diri"---dan itu yang sekarang terjadi.

Jadi, kalau kita mau sistem perwakilan ini beneran mewakili rakyat, perubahan harus dimulai dari hulunya: partai politik. Harus ada pembenahan serius dari dalam. Sistem kaderisasi harus ditegakkan, regulasi keanggotaan harus diperketat, dan rakyat juga harus dikasih ruang buat belajar politik dengan benar. Jangan cuma disuruh milih, tapi juga dilibatkan. Kalau tidak, lima tahun ke depan kita cuma akan nonton panggung yang sama, bedanya aktornya aja yang ganti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun