Mohon tunggu...
Rusti Lisnawati
Rusti Lisnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia yang senang dengan sesuatu yang berbau fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak ada Karangan Bunga untuk Ayah

21 Maret 2025   17:15 Diperbarui: 21 Maret 2025   17:15 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu sore, sepulang bermain ukulele di jalan raya kota, Ibu memberiku sepiring pepaya yang sudah dipotong-potong kecil, dan satu buah koran. Aku menerimanya dengan senang hati. Barangkali Ibu tahu kalau anak laki-lakinya yang sudah bisa membaca di usia delapan tahun ini sedang kehabisan bahan bacaan. Ukulele dari Ayah segera kusampirkan ke belakang. Mataku menangkap anak-anak kata di halaman pertama koran. Tidak ada yang menarik. Di halaman kedua, aku menangkap sesuatu yang sangat menarik perhatianku. Berita kematian seorang laki-laki berusia lima puluh sembilan tahun. Laki-laki itu meninggal akibat penyakit jantung yang sudah lama menggerogoti tubuhnya. Tapi, kurasa berita kematiannya tak perlu dimuat di koran.

"Bu, kenapa kematian laki-laki ini muncul di koran?"

Ibu sempat melirik sekilas ke bagian koran yang kubaca. Ibu bilang itu hal yang wajar dan memang beritanya penting. Bagian mananya yang penting? Bukankah kematian itu hal yang biasa. Rupanya, laki-laki itu bukan orang biasa. Ia adalah pemilik perusahaan besar di kota kami. Kematiannya menjadi penting, sebab kita tidak tahu siapa yang akan menggantikan posisinya memimpin perusahaan.

"Tapi, Bu, minggu lalu tetangga kita meninggal dunia dan tidak ada satu pun koran yang memuat berita kematiannya?"

Tanganku gatal ingin menunjukkan foto karangan bunga berbagai bentuk yang memenuhi halaman rumah duka. Di samping foto hitam putih itu, terdapat jejeran ucapan duka cita dan doa-doa keselamatan yang ditujukan kepada keluarga yang ditinggalkan. "Aku tidak mendengar orang membicarakan kebaikan tetangga yang meninggal kemarin. Jangankan untuk melantunkan doa-doa keselamatan, mereka malah menceritakan keburukan yang dilakukan oleh tetangga kita itu, Bu."

"Tetangga kita bukan orang yang punya perusahaan atau jasa besar di masyarakat, Sayang. Tentang perkataan buruk itu, Ibu rasa kemarin kamu salah mengambil tempat duduk. Orang-orang itu membenci tetangga kita. Mereka tidak akan segan berbicara buruk di rumah duka, karena mereka menginginkan kematian orang itu, Nak." Ibu mengusap rambutku yang bau matahari. Kemudian, Ibu mengambil piring kosong dan membawanya ke dapur.

Penjelasan Ibu masih belum bisa kuterima. Tidak peduli orang itu punya perusahaan atau tidak, seharusnya koran hanya memuat berita terkini, komik, puisi, dan cerpen saja. "Kurasa berita tanggul yang dijebol warga jauh lebih penting daripada kematian seseorang yang bahkan namanya saja tidak kukenali," gumamku sembari terus membaca hingga halaman akhir.

Matahari terus bergulir hingga nyaris tergelincir di tepi barat. Langit sudah ternodai oleh lembayung. Mungkin tidak akan lama lagi langit didekap gelap. Tapi, Ayah belum juga menampakkan batang hidungnya, padahal seharusnya sekarang ia sudah mandi dan duduk bersamaku di dekat jendela sembari membaca Iqra.

Ayah tidak bilang akan pulang terlambat.
Apakah Ayah terjebak macet? Atau apakah becak Ayah mengalami kerusakan di tengah jalan? Bagaimana jika Ayah kena begal?

Aku mengusir pikiran buruk itu dengan beranggapan tidak akan ada orang yang mau membegal seorang pengendara becak tua. Ketika kakiku dilanda pegal, aku memilih duduk di kursi plastik dekat pintu. Suara azan Magrib mengalun tepat ketika bokongku mendarat dengan sempurna di atas permukaan kursi. Ibu memanggilku untuk segera mengambil wudu lalu salat berjamaah di rumah. Aku masih ingin menunggu Ayah, tapi Ibu tidak mau perintahnya diabaikan. Jadi, untuk menghindari amukan Ibu, mau tak mau aku bangkit dan menuruti permintaannya.

Selepas salat, aku kembali menunggu Ayah di dekat pintu. Ada hal yang ingin kudiskusikan bersamanya. Sudah hampir tiga puluh menit aku menanti kedatangan Ayah sembari mengerjakan tugas sekolah. Akan tetapi, sepertinya Ayah masih belum mau menunjukkan tanda-tanda akan cepat pulang.
"Aduh, ke mana sih Ayah?"

Masih mengenakan mukenanya, Ibu menghampiriku. Tak perlu mencemaskan Ayah, tidak akan lama lagi ia pulang. Mungkin hari ini Ayah sedang banyak pekerjaan. Pulang nanti Ayah pasti bawa banyak uang. Kamu bisa meminta Ayah untuk membelikanmu buku cerita yang baru. Tapi, aku tak bisa tenang. Aku ingat, Ayah pergi dalam kondisi kurang sehat. Kalau sekarang Ayah mendapat banyak pekerjaan, itu buruk untuk kesehatannya, Bu. Aku berniat menyusul Ayah ke pangkalan becak. Akan tetapi, urung dilakukan sebab Ayah tiba-tiba muncul dengan baju basah oleh keringat. Duh, Ayah.

Ibu gegas memberi Ayah handuk. Sebagai istri yang berbakti, ia lantas pergi membuat minuman untuk Ayah. Aku mendekati laki-laki yang tua yang sudah menemaniku selama ini. Tanganku terulur memijat kakinya. Ayah menyebutku anak pintar.
"Kenapa Ayah terlambat pulang?" Nada bicaraku sedikit meninggi. Aku marah pada Ayah karena kami batal membaca Iqra bersama. Kemudian bibir Ayah yang merah keunguan akibat keseringan merokok itu mengalirkan cerita tentang hari ini.

Hari ini, Ayah mendapat pekerjaan membawa banyak makanan ke perumahan. Jarak dari tempat makan ke perumahan itu lumayan jauh. Setidaknya Ayah harus bolak-balik beberapa kali untuk menyelesaikan pekerjaannya. Seharusnya itu selesai di jam empat atau sore tadi seandainya becak Ayah tidak diserempet mobil yang melaju kencang. Aku melihat salah satu tangan Ayah memiliki luka terbuka. Itu harus segera diobati. Sayang sekali, di rumah kami tidak ada obat-obatan yang memadai. Kami hanya memiliki obat merah dan obat sakit kepala.

Luka di tangan Ayah sudah kuberi obat merah. Ayah lalu merebahkan tubuhnya di amben. Aku baru saja mengambil satu langkah ketika telingaku menangkap teriakan Ayah. Aku berbalik dan mendapati Ayah meringkuk sembari memegangi perutnya dengan erat. Sesekali tangan Ayah terulur untuk memeriksa kakinya. Aku tidak tahu Ayah kenapa, tapi yang jelas Ayah tidak baik-baik saja.

Kehadiran Ibu yang langsung membantu Ayah bangun, membangunkan diriku dari lamunan. Kami segera membawa Ayah ke klinik terdekat. Hari sudah malam, tidak ada kendaraan umum yang lewat, tidak ada kendaraan tetangga yang bisa dipinjam, terpaksa kami harus jalan kaki. Mulut Ayah terus merintih kesakitan. "Kita harus cepat, Bu!" seruku panik lantaran tubuh Ayah mulai basah kembali oleh keringat dingin.

Kami berjalan dengan tergesa-gesa. Ayah mengaku sudah tidak kuat lagi berjalan. Paru-parunya sesak. Belum lagi rasa sakit di sekujur perut dan kakinya yang menambah penderitaan Ayah. Di saat napas Ayah terdengar putus-putus dan berat, mataku menangkap tulisan klinik yang silau oleh lampu. Aku gegas lari meminta pertolongan. Aku kembali pada Ibu bersama dua orang perawat yang membawa tandu. Ayah dibaringkan di sana. Perawat membawa Ayah ke ruang rawat inap. Ayah diperiksa di sana. Ibu memintaku untuk mendoakan keselamatan Ayah.

"Minta supaya Sang Maut enggan untuk mencabut nyawa Ayahmu," pinta Ibu dengan suara bergetar.

"Siapa Sang Maut, Bu?" Adakah ia seorang perempuan penyelamat? Atau laki-laki yang bisa menyembuhkan orang sakit? Usiaku baru delapan tahun dan aku belum mengerti banyak hal. Tapi, aku tetap melakukan apa yang Ibu minta.

Selang beberapa menit, dokter yang memeriksa Ayah keluar dengan wajah yang sendu. Ibu bertanya bagaimana kondisi Ayah. Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, dokter malah memperhatikanku dan bilang kalau aku harus kuat. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Jadi, aku meminta agar dokter mau berterus terang setelah kubilang, aku adalah anak yang kuat.

"Ayahmu mengalami kebocoran di lambung. Penyakit paru-paru akibat kegiatan rokok turut memperburuk kondisi tubuhnya." Dokter melihatku sekali lagi sebelum berkata, "Ayahmu telah meninggal dunia."

Tubuh Ibu merosot ke lantai. Satu persatu air mata membasahi pipinya. Ibu meraung-raung memanggil nama Ayah. Sementara itu, aku masih menyambungkan teka-teki antara Sang Maut, mencabut nyawa Ayah, lambung yang bocor, penyakit paru-paru, dan kematian.

Sebetulnya, mati itu apa? Dokter bilang, mati itu artinya kita tidak bisa lagi beraktivitas seperti hari-hari biasa. Kata dokter, Ayahku tidak lagi bisa menarik becak, dan akan terus tidur sepanjang hari. Ayah tidak boleh tidur di rumah lagi. Ayah harus segera dibuatkan tempat tidur yang baru. "Di mana?" Di dalam tanah, kata dokter.

Hatiku memanas bahwa Ayah akan terus tidur sepanjang hari di dalam tanah. Aku cemburu pada ulat cacing yang menemani Ayah tidur nanti. Kenapa Ayah tidak tidur bersamaku saja?

"Dokter,"

"Apakah berita kematian Ayahku akan dimuat di koran?" Aku berharap dokter menjawab iya. Aku ingin orang-orang membaca berita kematian Ayah. Lalu, mereka berbondong-bondong mengirimkan ucapan duka cita dan doa-doa keselamatan untuk Ayah. Barangkali mereka juga mau mengirimkan banyak karangan bunga.
Dokter mengelus punggungku, "Tidak. Berita ini hanya akan disampaikan oleh rumah sakit dan toa musala di sekitar rumahmu, Nak."

Itu artinya, tak ada ucapan duka cita dan doa-doa untuk Ayah. Tak ada karangan bunga yang mengantar kepergian Ayah.

Air mataku segera menyusul air mata Ibu yang menderas. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun