Ternyata bahwa raksasa bermata sipit itu telah kehabisan tenaganya. Meskipun ia berusaha, namun ia tidak lagi mampu berdiri tegak. Sentuhan pada ujung rambutnya, telah dapat melemparkannya terjerembab di atas pasir basah.
Sri Aji berdiri tegak seperti patung. Ia memandang pamannya yang perlahan-lahan mendekatinya.
"Lihatlah orang dungu," berkata Ki Palang Sisir kepada orahg bertubuh besar itu, "apa yang sebenarnya telah terjadi. Jika aku tidak mencegahnya, maka jari-jari keponakanku telah menghunjam di kepalamu dan memecahkan kepalamu itu."
Orang itu terengah-engah. Sesaat ia memandang mata Sri Aji yang bagaikan menyala. Bagaikan mata seekor harimau hitam yang bertengger di dahan-dahan pepohonan. Mengerikan sekali.
"Aku menyerah," suara raksasa itu dalam sekali, seolah-olah berputar di dalam perutnya.
Sri Aji menggigit bibirnya. Ia bukannya seorang pemaaf. Jika sekiranya ia tidak memerlukan tenaganya, maka orang itu tentu sudah diremasnya, dan kepalanya sudah dilubanginya dengan kuku-kukunya yang setajam pedang.
Orang bertubuh besar itu menundukkan kepalanya. Ternyata ia baru mengenal Sri Aji yang sebenarnya. Ganas, liar, dan bahkan buas seperti binatang hutan.
Sejenak Sri Aji masih termenung. Namun kemudian tiba-tiba saja kakinya terayun ke kepala orang bertubuh besar itu sambil menggeram, "Kau aku hidupi kali ini. Tetapi jika sekali lagi kau menyakiti hatiku, aku akan mencincangmu dan melemparkan kepalamu yang botak itu."
Kaki Sri Aji terayun dengan kuatnya kearah pemuda raksasa yang duduk tak berdaya itu. Namun semua orang yang ada di tempat itu bagaikan terpaku oleh kejadian yang tak disangka-sangka. Kaki Sri Aji yang menendang keras itu seperti dihempas oleh kekuatan dasyat yang membuat pemuda itu justru jatuh terpelanting sambil mengaduh.
"Auh ..!"
Sesaat semua orang terkejut atas kejadian itu. Tidak terkecuali pemuda raksasa yang kini masih duduk mematung. Sedang Sri Aji masih meringkuk di tanah merasakan kesakitan yang luar biasa pada kaki kanannya.
- Â ** ruSMan **